KAMIS 30 Desember 1976 sekitar jam 12 tengah hari, colt Sri
Intan (AA 1062-D) meluncur dari arah barat di jalan pasar
Gombong. Sampai depan bioskop jalan Yos Sudarso, sopirnya --
Wahyu Hudaya (21 tahun) menginjak rem karena berpapasan dengan
truk sementara di depannya ada pula becak. Mendadak sebuah
sepeda motor nyelonong dari belakang truk. Tentu saja Wahyu
kaget, lantas dengan serta-merta meludahi pengendara motor itu:
Hendrawan (18 tahun) dan Agus Setiawan (20 tahun), keduanya
keturunan Tionghoa. "Ketika itu saya betul-betul emosionil",
ucap Wahyu, yang tampaknya menyesali perbuatannya.
Sore harinya sekitar jam 14.30, Wahyu bersiap-siap mengantar
penumpang ke Purwokerto. Ia memparkir colt depan rumah
majikannya, Ali Subiantoro jalan Puring 3 (desa Wonokriyo)
Gombong. Tiba-tiba 4 sepeda motor berhenti di depannya,
masing-masing dikendarai 2 orang pemuda. Salah seorang di antara
mereka, Agus Setiawan, langsung meludahi sang sopir. Sempat
meludahi namun Wahyu terpaksa harus pingsan karena dikeroyok.
"Seingat saya ada 4 orang yang memukuli saya waktu itu", kata
Wahyu, yang mukanya bengkak dan mulut mengucurkan darah. Dalam
pemeriksaan kemudian, selain Hendrawan dan Agus Setiawan, 2
pengeroyok lainnya adalah Sancoho (23 tahun) dan Tari Setiawan
(19 tahun). "Untung ada polisi yang lagi preman lewat, hingga
Wahyu terhindar dari luka yang lebih parah", kata Ali Subiantoro
(Tjiu Wie Liong), majikan Wahyu.
Sebagai Penonton
Maka desas-desus pun tersebarlah ke segenap penjuru kecamatan
Gombong. Dan seperti biasanya, ada-ada saja tambahannya: tangan
Wahyu patah. Usaha mendamaikannya bukannya tak ada tapi tak
membuahkan hasil yang bisa diterima kedua belah fihak. "Mungkin
karena suasana masih panas dan Wahyu masih sakit", ujar seorang
pejabat setempat yang tak mau disebut namanya. Dan dalam waktu
yang tak terlalu lama, suasana pun menjadi panas.
Menurut pejabat itu, hal ini bisa dimaklum. Sebab di Gombong,
penduduk yang keturunan Tionghoa mel1lang tam pak lebih
menonjol. "Pemuda-pemudanya suka kebut-kebutan di jalan raya.
Yang main bola sodok pun kebanyakan mereka. Pemuda pribumi lebih
banyak sebagai penonton", tambahnya.
Maka situasi pun berubah menjadi permusuhan rasial. Dan malam
Tahun Baru kemarin itu, beberapa pemuda bergerombol-gerombol di
Combong. "Ada sekitar ribuan", kata itu pejabat. "Tapi tak jelas
mau balas dendam atau hanya ingin memeriahkan malam Tahun Baru".
Melihat gelagat itu, para pejabat berkumpul, bicara serius.
Keputusan: 1 Januari 1977 keempat pemuda keturunan Tionghoa yang
mengeroyok Wahyu digiring ke Komres 974 Kebumen.
Malam Tahun Baru itu memang tak ada kerusakan yang berarti.
Hanya satu dua toko saja yang papan reklame dan lampunya pecah.
Malam berikutnya, 1 Januari, boleh dikata malah tenang. Tapi 2
Januari malam harinya, "anak-anak nakal mulai
memancing-mancing", kata pejabat itu. "Berkendaraan sepeda motor
mereka melempari toko dan rumah-rumah orang Tionghoa". Tak
kurang dari 7 rumah yang remuk kaca jendela dan pintunya. Juga
Woody Billiard dan toko Ampera yang justru jauh dari tempat
kediaman ke empat pelaku pengeroyokan.
Suasana pun menjadi tegang. Seorang pemuda keturunan Tionghoa
dikeroyok sewaktu mengayuh sepeda malam hari. Malam-malam
berikutnya tersebar sas-sus, banyak pemuda daerah lain yang
datang ke Gombong. Maka para petugas pun mencegat di perbatasan.
Sementara itu, 3 Januari malam meski harus kucing-kucingan
dengan para petugas keamanan, masih ada saja pemuda yang sempat
melempari beberapa rumah. Yang paling besar kerugiannya,
ditaksir sekitar Rp 1 juta, adalah toko bahan bangunan
Langgeng. Tegel-tegel dan eternit dagangannya hancur.
Ketoprak Istirahat
Pengrusakan itu hanya terjadi malam hari. Untuk menghindari dari
lemparan-lemparan, ada rumah yang sengaja memasang identitas
tertentu: rumah milik proyek Sempor, dan sebagainya. Toko-toko
di pasar Gombong pun lepas maghrib sudah mengunci pintu. Bioskop
dan ketoprak pun buru-buru istirahat. "Jadi yang susah akhirnya
kan masyarakat sendiri", ujar Mayor Polisi Sahoedi, Wadanres 974
Kebumen kepada Syahril Chili dari TEMPO.
Seperti peristiwa rasialisme di mana-mana, yang tak bersalah pun
terkena getahnya. Rumah HS Mulyanto, keturunan Tionghoa di jalan
Yos Sudarso 22 - nyaris pula hancur. "Kami, orang-orang
keturunan Tionghoa, juga menyalahkan pemuda-pemuda yang
mengeroyok Wahyu itu. Tindakan mereka itu tidak normal.
Akibatnya hubungan kami dengan masyarakat yang selama ini baik,
menjadi renggang", ujar Mulyanto tukang potret itu.
Meski Garnizun setempat, dengan bantuan Brimob Magelang,
berhasil mengendalikan situasi, toh masyarakat Tionghoa di sana
belum tenang juga. Soalnya masih terdengar isyu-isyu, misalnya:
akan ada demonstrasi besar-besaran, akan ada
pembakaran-pembakaran lantaran pemuda-pemuda Tionghoa masih
menantang, dan bahwa peristiwa itu sudah menjalar pula ke
Kebumen. Ada beberapa orang dari masyarakat keturunan Tionghoa
yang mengungsi ke Yogya, Magelang atau Semarang. Dan seperti
biasanya, muncullah pernyataan. Kali ini dari KNPI, Unit Kader
Kecamatan Gombong.
Isinya: mengutuk perbuatan para pengeroyok dapat mengerti
spontanitas masyarakat sebagai tanggapan tindakan liar tersebut
tak membenarkan tindakan balasan yang berlarut-larut. Dan
situasi pun lalu berangsur pulih. Yang tinggal tentu saja
jendela dan pintu-pintu beberapa rumah yang sudah ditutup dengan
papan, seng atau asbes - karena kacanya pecah. Masyarakat
Tionghoa di sana pun sudah dipanggil oleh Pemda. agar tetap
rukun kembali dengan lingkungannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini