GEMURUH tepuk tangan yang terdengar dan televisi dan radio
seusai pelantikan Soeharto sebagai presiden RI belum sirap,
tatkala dari rumah-rumah penduduk suara keplok ramai terdengar
menyusul. Anak-anak berhamburan keluar rumah sambil
berteriak-teriak. Spontan, tanpa komando, bendera merah putih
dikibarkan di depan semua rumah. Hari itu, 11 Maret 1983,
suasana cerah dan gembira memayungi Dukuh Kemusuk, Kelurahan
Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Kegirangan itu bisa dimaklumi. Hari itu Soeharto, putra
kelahiran Kemusuk, dilantik untuk keempat kalinya menjadi
presiden RI. "Begitu acara selesai, kami beramai-ramai mengirim
ucapan selamat kepada Bapak Presiden langsung ke Istana," kata
Soekardi, anggota LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa)
Argomulyo. "Biasanya kami menerima balasan ucapan terima kasih,"
tambahnya.
Presiden Soeharto tampaknya dijadikan teladan di desa
kelahirannya itu. "Di sini semua orangtua menasihati anaknya
agar rajin bersekolah supaya bisa menjadi 'priyayi agung'
seperti Pak Harto dan Pak Probosutedjo," kata seorang penduduk.
Sarana pendidikan memang bukan suatu masalah buat Argomulyo yang
mempunyai penduduk 10.034 orang. Argomulyo, yang dipimpin Lurah
Noto Suwito (adik seibu Pak Harto), bisa membanggakan diri
dengan 8 Taman Kanak-kanak, 7 SD, 2 SMP, sebuah SMA Negeri, satu
STM Negeri, SPMA persiapan negeri dan satu Sekolah Luar Biasa
(SLB).
Ada juga Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dengan jurusan
Perikanan, Peternakan dan Pertanian. Gedung STM Negeri Argomulyo
yang tahun lalu diresmikan Wakil Ketua Kadin Probosutedjo
berlantai dua dengan peralatan lengkap dan modern. Banyak
penduduk Argomulyo menyewakan kamar buat para perajar dan
mahasiswa pendatang.
Suasana Argomulyoterasa cukup nyaman. Memasuki daerah ini,
terletak 13 km sebelah barat Yogyakarta, berbagai gapura bercat
kuning menyambut para pengunung. Pagar tembok dengan roster
seragam yang mengelilingi desa ini, dan pohonpohon rindang
menaungi jalan-jalan aspal yang mulus.
Pagar desa yang seragam itu dibangun atas perintah Lurah Suwito.
Penduduk membangun dengan bersemangat, sebab semen dan roster
disediakan pihak Kelurahan dengan cuma-cuma, hasil bantuan
Probosutedjo, kakak kandung Pak Lurah.
Argomulyo dengan 14 dukuh itu juga memiliki sebuah kantor pos.
Akibatnya semua jalan di sini diberi nama, dan rumah-rumah
penduduk memakai nomor seperti di kota. Listrik masuk Argomulyo
menjelang Pemilu 1982, ongkos pemasangannya diangsur tiap bulan
lewat Kelurahan. Balai Desa Argomulyo berdekatan dengan sebuah
gedung serba guna.
Masih di desa ini, di pinggir jalan Wates Yogyakarta, nampak
tumpukan batu dan pasir teronggok di beberapa tempat. "Di sini
akan dibangun rumah sakit," ujar Soekardi yang juga bertanggung
jawab atas pengadaan dan pengamanan material buat RS ini.
Delapan peti kemas berisi perlengkapan RS teronggok di depan
ruman Lurah Suwito. Menurut suatu sumber, Probosutedjo
disebut-sebut sebagai penyumbang pembangunan RS di atas tanah
3,5 hektar tersebut.
Argomulyo memang desa yang sumnngah. Sawah menghijau subur,
rumah penduduk rapi, kembang bermekaran sedang perkebunan nanas
mulai berbuah. Keberhasilan pertanian di desa ini memang antara
lain berkat irigasi dari Sungai Progo yang baik. "Pengairan di
sini sudah teratur sejak zaman Pak Kertosudiro, ayah Pak Harto,
menjabat ulu-ulu (pejabat pengairan, Red)," ujar Paijo
Parmohandoyo, kepala Dukuh Kemusuk Lor.
Menurut Paijo, 63 tahun, kawan sepermainan Soeharto di Kemusuk,
waktu kecil Pak Harto pendiam, tapi rajin bekerja. "Ia tidak
nakal dan selalu mengalah bila ada pertengkaran," katanya. Ia
juga mengenang, sewaktu kecil dalam permainan seperti gobang dan
gobag sodor Pak Hartosering memimpin teman-temannya.
Mereka berpisah sejak Soeharto pindah ke Wuryantoro, Wonogiri,
sewaktu berusia sekitar 9 tahun.
Itu terjadi pada 1929. Pak Kerto, ayah kandung Soeharto, merasa
kecewa dengan cara anaknya dibesarkan di Kemusuk. Ia memutuskan
untuk menitipkan Soeharto pada adiknya, Ny. Prawirowihardjo,
istri Mantri Pertanian di Wuryantoro, orangtua pengusaha
terkenal Sudwikatmono. Di sinilah Soeharto menamatkan SD-nya. Di
sekolah yang sama belajar juga Siti Hartinah, putri Wedana
Wuryantoro Sumoharyomo yang kelak dikenal sebagai Ny. Tien
Soeharto.
Banyak warga Wuryantoro yang ingat masa 4 tahun Soeharto tinggal
di daerah ini. "Pernah kakinya saya obati dengan bubukan
belerang. Akibatnya Mas Harto mengeluh karena badan dan
pakaiannya bau belerang," kata Mbah Djosentiko. Sebagai pembantu
Ny. Prawirowihardjo, ia ikut mengasuh Soeharto.
Karena pembangunan waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, tanah Mbah
Djo yang mengatakan usianya lebih 100 tahun tertelan waduk.
Tatkala Mbah Djo mengadu pada Pak Harto di Jakarta, Presiden
memintanya sabar dan tawakal karena pembangunan waduk itu
rencana pemerintah yang tak bisa ditolak. "Mas Harto memberi
ganti. Saya dibelikan tanah dan rumah di Yogya," cerita Mbah
Djo. Tatkala mengunjungi Wuryantoro pada awal 1983, Pak Harto
dan keluarga sempat mampir ke rumah Mbah Djo. Pada masyarakat
setempat Presiden bercerita tentang manfaat waduk Gajah Mungkur.
Setamat SD, Soeharto pindah ke Wonogiri. Di sini ia
menyelesaikan sekolah lanjutan pertama. Setelah sebentar bekerja
sebagai pembantu klerek di bank desa Wuryantoro, Soeharto
diterima masuk Sekolah Militer di Gombong, Jawa Tengah, Juni
1940. Sejak itulah karir militer Soeharto mulai, dan menanjak
terus, sampai pada jabatan tertinggi di negeri ini: presiden RI.
Dan dalam sejarah Indonesia merdeka, dialah contoh pertama
bagaimana seorang anak desa bisa mencapai posisi puncak dalam
Republik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini