Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cerita dari tanah kelahiran

Desa itu sumringah: sawah menghijau, kembang bermekaran, kebun nenas mulai berbuah. di sanalah presiden soeharto dilahirkan dan kini menjadi tauladan penduduk. orang-orang tua menasehati anak-anaknya agar kelak menjadi 'priyayi agung' seperti pak harto

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMURUH tepuk tangan yang terdengar dan televisi dan radio seusai pelantikan Soeharto sebagai presiden RI belum sirap, tatkala dari rumah-rumah penduduk suara keplok ramai terdengar menyusul. Anak-anak berhamburan keluar rumah sambil berteriak-teriak. Spontan, tanpa komando, bendera merah putih dikibarkan di depan semua rumah. Hari itu, 11 Maret 1983, suasana cerah dan gembira memayungi Dukuh Kemusuk, Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kegirangan itu bisa dimaklumi. Hari itu Soeharto, putra kelahiran Kemusuk, dilantik untuk keempat kalinya menjadi presiden RI. "Begitu acara selesai, kami beramai-ramai mengirim ucapan selamat kepada Bapak Presiden langsung ke Istana," kata Soekardi, anggota LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Argomulyo. "Biasanya kami menerima balasan ucapan terima kasih," tambahnya. Presiden Soeharto tampaknya dijadikan teladan di desa kelahirannya itu. "Di sini semua orangtua menasihati anaknya agar rajin bersekolah supaya bisa menjadi 'priyayi agung' seperti Pak Harto dan Pak Probosutedjo," kata seorang penduduk. Sarana pendidikan memang bukan suatu masalah buat Argomulyo yang mempunyai penduduk 10.034 orang. Argomulyo, yang dipimpin Lurah Noto Suwito (adik seibu Pak Harto), bisa membanggakan diri dengan 8 Taman Kanak-kanak, 7 SD, 2 SMP, sebuah SMA Negeri, satu STM Negeri, SPMA persiapan negeri dan satu Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada juga Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dengan jurusan Perikanan, Peternakan dan Pertanian. Gedung STM Negeri Argomulyo yang tahun lalu diresmikan Wakil Ketua Kadin Probosutedjo berlantai dua dengan peralatan lengkap dan modern. Banyak penduduk Argomulyo menyewakan kamar buat para perajar dan mahasiswa pendatang. Suasana Argomulyoterasa cukup nyaman. Memasuki daerah ini, terletak 13 km sebelah barat Yogyakarta, berbagai gapura bercat kuning menyambut para pengunung. Pagar tembok dengan roster seragam yang mengelilingi desa ini, dan pohonpohon rindang menaungi jalan-jalan aspal yang mulus. Pagar desa yang seragam itu dibangun atas perintah Lurah Suwito. Penduduk membangun dengan bersemangat, sebab semen dan roster disediakan pihak Kelurahan dengan cuma-cuma, hasil bantuan Probosutedjo, kakak kandung Pak Lurah. Argomulyo dengan 14 dukuh itu juga memiliki sebuah kantor pos. Akibatnya semua jalan di sini diberi nama, dan rumah-rumah penduduk memakai nomor seperti di kota. Listrik masuk Argomulyo menjelang Pemilu 1982, ongkos pemasangannya diangsur tiap bulan lewat Kelurahan. Balai Desa Argomulyo berdekatan dengan sebuah gedung serba guna. Masih di desa ini, di pinggir jalan Wates Yogyakarta, nampak tumpukan batu dan pasir teronggok di beberapa tempat. "Di sini akan dibangun rumah sakit," ujar Soekardi yang juga bertanggung jawab atas pengadaan dan pengamanan material buat RS ini. Delapan peti kemas berisi perlengkapan RS teronggok di depan ruman Lurah Suwito. Menurut suatu sumber, Probosutedjo disebut-sebut sebagai penyumbang pembangunan RS di atas tanah 3,5 hektar tersebut. Argomulyo memang desa yang sumnngah. Sawah menghijau subur, rumah penduduk rapi, kembang bermekaran sedang perkebunan nanas mulai berbuah. Keberhasilan pertanian di desa ini memang antara lain berkat irigasi dari Sungai Progo yang baik. "Pengairan di sini sudah teratur sejak zaman Pak Kertosudiro, ayah Pak Harto, menjabat ulu-ulu (pejabat pengairan, Red)," ujar Paijo Parmohandoyo, kepala Dukuh Kemusuk Lor. Menurut Paijo, 63 tahun, kawan sepermainan Soeharto di Kemusuk, waktu kecil Pak Harto pendiam, tapi rajin bekerja. "Ia tidak nakal dan selalu mengalah bila ada pertengkaran," katanya. Ia juga mengenang, sewaktu kecil dalam permainan seperti gobang dan gobag sodor Pak Hartosering memimpin teman-temannya. Mereka berpisah sejak Soeharto pindah ke Wuryantoro, Wonogiri, sewaktu berusia sekitar 9 tahun. Itu terjadi pada 1929. Pak Kerto, ayah kandung Soeharto, merasa kecewa dengan cara anaknya dibesarkan di Kemusuk. Ia memutuskan untuk menitipkan Soeharto pada adiknya, Ny. Prawirowihardjo, istri Mantri Pertanian di Wuryantoro, orangtua pengusaha terkenal Sudwikatmono. Di sinilah Soeharto menamatkan SD-nya. Di sekolah yang sama belajar juga Siti Hartinah, putri Wedana Wuryantoro Sumoharyomo yang kelak dikenal sebagai Ny. Tien Soeharto. Banyak warga Wuryantoro yang ingat masa 4 tahun Soeharto tinggal di daerah ini. "Pernah kakinya saya obati dengan bubukan belerang. Akibatnya Mas Harto mengeluh karena badan dan pakaiannya bau belerang," kata Mbah Djosentiko. Sebagai pembantu Ny. Prawirowihardjo, ia ikut mengasuh Soeharto. Karena pembangunan waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, tanah Mbah Djo yang mengatakan usianya lebih 100 tahun tertelan waduk. Tatkala Mbah Djo mengadu pada Pak Harto di Jakarta, Presiden memintanya sabar dan tawakal karena pembangunan waduk itu rencana pemerintah yang tak bisa ditolak. "Mas Harto memberi ganti. Saya dibelikan tanah dan rumah di Yogya," cerita Mbah Djo. Tatkala mengunjungi Wuryantoro pada awal 1983, Pak Harto dan keluarga sempat mampir ke rumah Mbah Djo. Pada masyarakat setempat Presiden bercerita tentang manfaat waduk Gajah Mungkur. Setamat SD, Soeharto pindah ke Wonogiri. Di sini ia menyelesaikan sekolah lanjutan pertama. Setelah sebentar bekerja sebagai pembantu klerek di bank desa Wuryantoro, Soeharto diterima masuk Sekolah Militer di Gombong, Jawa Tengah, Juni 1940. Sejak itulah karir militer Soeharto mulai, dan menanjak terus, sampai pada jabatan tertinggi di negeri ini: presiden RI. Dan dalam sejarah Indonesia merdeka, dialah contoh pertama bagaimana seorang anak desa bisa mencapai posisi puncak dalam Republik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus