Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah korban bencana gempa Palu mengaku memperoleh pelayanan maksimal di posko penampungan Landasan Udara Dhomber Balikpapan, Kalimantan Timur. Upi Hartati, 41 tahun, warga asal Tondo, Palu, bahkan mengatakan posko pengungsian itu lebih mirip hotel bintang lima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami tadinya hanya butuh air bersih dan makan, tapi malah dijamu seperti di hotel," kata Upi saat ditemui di Landasan Udara Dhomber, Balikpapan, Selasa, 16 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upi tiba di Balikpapan bersama suaminya, Nana Karyana, 42 tahun pada Senin, 15 Oktober 2018. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Banten. Dari Bandar Udara Mutiara SIS Al Jufrie Palu, suami-istri dan seorang anaknya itu menumpang pesawat Hercules milik Jepang dan mendarat di Hanggar D Lanud Dhomber.
Sesampainya di Balikpapan, Upi dan pengungsi lainnya disambut oleh para relawan gabungan dari dinas, satuan tugas, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). "Anak saya langsung dikasih roti, makanan, buku gambar," kata Upi.
Upi melihat posko itu penuh tenda-tenda yang menyediakan kebutuhan pokok layaknya di toko serba ada. Misalnya baju-baju hasil sumbangan, makanan, kopi, bahkan rumah balon dan boneka.
Ia juga mendapati fasilitas yang lengkap untuk mandi, cuci, kakus. Toilet pun dinilai bersih dan nyaman untuk aktivitas bersih-bersih. Upi juga mengaku tak kesulitan menemukan musala dan tempat untuk berkonsultasi kesehatan.
Di tenda untuk tidur, Upi kagum lantaran pihak posko memberi alas tenda mereka dengan papan-papan kayu dilapisi terpal. Karpet-karpet Jepang nan empuk diletakkan di atas papan itu sehingga mereka nyaman tidur. "Kami juga tidak kepanasan karena ada kipas angin di dalam," ujarnya.
Upi menyebut posko pengungsian di Balikpapan adalah tempat sementara untuk melupakan Palu dan kenangannya yang pahit dua pekan lalu. Musababnya, ia mengaku trauma bila mengingat rumahnya yang setengah ambruk.
Pengungsi lain, Bachtiar, 53 tahun, brrpendapat senada. Saking kagumnya dengan posko pengungsian di Balikpapan, ia mengatakan akan mati kekenyangan karena makanan terus mengalir. "Kalau malam, saya juga dapat hiburan layar lebar yang dipasang oleh bapak-bapak polisi," ujarnya.
Bachtiar adalah pengungsi dari pesisir Pantai Talise. Rumahnya rata dengan tanah setelah diempas tsunami. Ia berencana mencari ketenangan di rumah saudaranya di Samarinda karena merasa pilu bila masih bertahan tinggal di Palu.
Ia pun membandingkan pengungsian di Balikpapan dan di Palu. "Di Palu, air bersih saja susah. Tenda panas dan tidak ada yang beralas papan seperti ini," ujarnya. Ia juga merasa diperhatikan kebutuhan makanannya bahkan tak perlu syarat khusus untuk memperoleh nasi, lauk, atau kue-kue.
Adapun di Palu, ia menyebut sulit mendapatkan beras. Bahkan, untuk memperoleh logistik, ia sempat dimintai syarat KTP dan kartu keluarga oleh lurah setempat. "Apa yang harus kami serahkan? KTP dan KK kami sudah hanyut entah ke mana," ujarnya.
Bachtiar pun prihatin dengan kondisi pengungsian di Palu sebab tidak seluruh bantuan merata. Sedangkan jumlah pengungsi dinilai terlalu banyak sehingga kondisi di pengungsian tidak nyaman.
Ia sempat memikirkan nasib teman-teman dan kerabatnya yang masih bertahan di Palu. Ia berharap pemerintah segera memberi hunian sementara yang layak supaya kehidupan sehari-hari para pengungsi berangsur normal.