Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EDI Suryana khawatir akan masa depan anak perempuannya yang berusia 6 tahun. Putrinya itu terserang tuberkulosis paru empat tahun lalu. Edi waswas kondisi kesehatan anaknya semakin parah akibat abu hasil pembakaran batu bara (fly ash) yang menyembur dari cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penyakit ini membuat pertumbuhan paru-parunya tidak normal," kata Edi kepada Tempo, kemarin. "Di sekolah, dia harus selalu menggunakan masker. Tapi, namanya anak-anak, kadang tidak disiplin."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria berusia 44 tahun itu masih ingat ketika membawa buah hatinya untuk mengikuti imunisasi pada 2019. Setelah imunisasi itu, putrinya mengalami gejala alergi sehingga pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) merujuknya ke Rumah Sakit Cilegon. Hasil pemeriksaan rontgen menunjukkan paru-paru anak Edi terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
"Dia harus minum obat selama enam bulan, tidak boleh putus. Kalau putus, diulang lagi. Bayangkan, anak umur 3 tahun harus minum obat yang cukup keras," kata Edi, yang saban hari berprofesi sebagai nelayan.
Edi dan keluarganya tinggal turun-temurun di Kampung Kotak Malang, Kelurahan Suralaya, Cilegon. Rumahnya hanya berjarak kurang 2 kilometer dari PLTU Suralaya. Yang bikin ia semakin ketar-ketir, banyak tetangganya yang kerap terserang batuk. Edi menduga polusi yang dikeluarkan dari cerobong asap PLTU batu bara itu membuat kualitas udara di kampung itu sangat buruk. "Karena tiap hari pembangkit itu mengeluarkan asap. Tak ada waktu libur," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah semestinya memikirkan dampak yang ditimbulkan oleh PLTU batu bara terhadap kesehatan masyarakat. "Jangan sampai menerangi Nusantara, tapi kami yang dibunuh di sini," kata Edi.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 2019. ANTARA/Iggoy el Fitra
PLTU Suralaya merupakan pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang dibangun bertahap sejak 1984 dan dioperasikan oleh PT Indonesia Power, anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pembangkit listrik tua ini terdiri atas tujuh unit generator dengan total kapasitas terpasang sebesar 3.400 megawatt. Di sisi timur kompleks pembangkitan ini juga telah berdiri PLTU Suralaya Unit 8 atau lebih dikenal dengan nama PLTU Banten 1 Suralaya Operation and Maintenance Services Unit (OMU), yang memiliki kapasitas terpasang 625 megawatt.
Pembangkit ini sempat menjadi perbincangan publik di tengah polemik memburuknya kualitas udara Jakarta dan sekitarnya dua bulan terakhir. PLTU Suralaya, juga pembangkit listrik tenaga uap batu bara lainnya yang berada dalam radius 100 kilometer dari Jakarta, dituding sebagai salah satu sumber polutan Ibu Kota.
Tudingan itu merujuk pada kajian lembaga riset asal Finlandia, Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), pada 2020. "Pencemaran Udara Lintas Batas di Provinsi Jakarta, Banten, dan Batu Bara", kajian yang disusun oleh CREA, mengukur konsentrasi dan mengidentifikasi arah pergerakan emisi berbahaya dari industri yang mengepung Ibu Kota. PLTU Suralaya, yang berada di sisi barat Jakarta, ditengarai sebagai sumber utama polusi udara Jakarta yang terdiri atas nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan partikel halus (PM2.5).
Lebih dari sebulan berpolemik tentang sumber polutan, pemerintah mengumumkan telah berupaya mengurangi polusi udara Jakarta dengan mematikan empat unit generator di PLTU Suralaya pada Agustus lalu. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengakui langkah ini tak cukup sehingga pemerintah juga memberlakukan sejumlah kebijakan lain untuk memperbaiki kualitas udara Ibu Kota.
"Okelah, PLTU ini disalahkan. Kita matikan Suralaya 1, 2, 3, 4. Tapi apa? Data terakhir tidak mengurangi polusi ternyata. Tapi tetap kita matikan karena ini komitmen sama-sama kita menjaga polusi," kata Erick Thohir seusai rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada 31 Agustus lalu. "Polusi ini musuh kita bersama karena ini kesehatan kita sehari-hari yang tinggal di Jakarta."
Area Monas terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, 11 Agustus 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Ancaman Lebih Besar di Suralaya
Sebetulnya, pencemaran udara akibat PLTU Suralaya tak hanya menjadi momok warga Ibu Kota. Mereka yang paling terancam justru warga kampung-kampung di sekitar pembangkit, seperti Edi yang tinggal di Kelurahan Suralaya.
Sejak Januari hingga Juni 2023, sebanyak 17.382 warga Kota Cilegon terjangkit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sebanyak 1.671 kasus di antaranya menjangkiti anak berusia di bawah 5 tahun.
Selasa lalu, 12 September, CREA kembali mempublikasikan laporan hasil riset terbarunya bertajuk "Air Quality Impacts of the Banten-Suralaya Complex". Kajian itu menilai PLTU Suralaya telah menyebabkan tingginya tingkat polusi udara di Banten, terutama di sisi utara Serang dan Cilegon. Polutan dari gas buang dari unit generator PLTU Suralaya itu berupa partikel halus PM2.5 yang saban tahun ditaksir mencapai rata-rata 1,0 mikrogram per meter kubik (μg/m3).
CREA menilai kualitas udara yang memburuk akibat emisi PLTU Suralaya unit 1-8 telah berdampak terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat. Polusi udara dari pembangkit existing diperkirakan telah menyebabkan 1.470 kematian dan memicu kerugian ekonomi senilai Rp 14,2 triliun per tahun. Kerugian ekonomi yang dimaksudkan meliputi biaya kesehatan, ketidakhadiran di tempat kerja karena sakit, dan kematian.
Dalam kajian terbarunya, CREA memperkirakan dampak buruk emisi PLTU Suralaya tersebut berpotensi meningkat jika kelak dua unit generator baru beroperasi. Saat ini pembangkit Suralaya unit 9 dan 10, yang lebih dikenal sebagai PLTU Jawa 9 dan 10, tengah dibangun serta ditargetkan beroperasi penuh pada 2025 dengan tambahan kapasitas terpasang 2 x 1.000 megawatt. CREA menaksir dampak emisi dari kompleks pembangkit Suralaya bisa menyebabkan kematian 1.640 jiwa dan kerugian ekonomi senilai Rp 15,8 triliun per tahun.
Proyek unit tambahan PLTU Suralaya di Suralaya, Serang, Banten, 1 Agustus 2023. ANTARA/Asep Fathulrahman
CREA menilai tingkat polusi PLTU Suralaya dan dampaknya bakal banyak berkurang jika standar batasan polusi nasional diterapkan. Pengurangan dampak bisa lebih masif jika pembangkit menerapkan teknologi pengontrol emisi terbaik yang tersedia saat ini. Karena itu, CREA dalam laporan kajiannya juga menekankan pentingnya keterbukaan atas data pemantauan berkala polusi udara.
Di luar semua kalkulasi tersebut, CREA menutup temuan utama kajiannya dengan desakan agar pemerintah segera mendorong pengembangan energi terbarukan. "Satu-satunya cara untuk sepenuhnya menghilangkan beban kualitas udara di kompleks Banten-Suralaya adalah menggantinya dengan sumber energi terbarukan."
Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, mengatakan pemerintah memang harus tegas menindak perusahaan penyumbang polusi udara. Menurut dia, selama ini pemerintah lemah menegakkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Baku Mutu Emisi Pembakaran Dalam. Lemahnya penegakan hukum tersebut terutama terjadi pada pembangkit-pembangkit batu bara.
"Pengetatan harus sesuai dengan standar. Perusahaan harus memasang pengendali pencemaran dengan catatan standar baku mutu diperkuat," kata Ashov.
Di samping itu, pemerintah harus membuka data rinci sumber polutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang sudah memberikan informasi soal sumber polusi udara. Di antaranya, kendaraan bermotor memberi kontribusi terhadap pencemaran udara sebanyak 44 persen, lalu industri energi 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen. Namun data itu tak merinci entitas ataupun jenis industri di setiap sektor usaha penyumbang polusi.
"Misalnya, untuk PLTU Suralaya, harus didetailkan sumber polutannya berapa. Misalnya, diberi nilai 1 sampai 8. Lalu, apa saja polutan dan sebaran polutannya," kata Ashov. "Jadi, ada keterbukaan informasi publik. Seharusnya dibuka karena informasinya sangat berdampak jangka panjang."
Ekskavator menumpuk batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten. REUTERS/Dadang Tri
Menggugat Ekspansi PLTU dan Keterbukaan Data
Karena ancaman jangka panjang itu pula, Trend Asia bersama PENA Masyarakat serta Inclusive Development International and Recourse melayangkan aduan kepada Compliance Advisor Ombudsman (CAO), organisasi untuk mekanisme pelaporan dampak proyek-proyek yang disokong oleh institusi keuangan di bawah naungan Bank Dunia. Laporan diajukan pada Rabu lalu, 13 September 2023, atas pembiayaan PLTU Jawa 9 dan 10 yang akan menjadi proyek ekspansi pembangkit Suralaya.
Juru kampanye energi Trend Asia, Novita Indri, mengatakan koalisi masyarakat sipil dalam aduan ini menilai tak ada urgensi untuk menambah kapasitas pembangkit di Suralaya. Saat ini, dia mengingatkan, jaringan pembangkit listrik Jawa-Bali bahkan sudah kelebihan pasokan. "Ekspansi ini hanya akan menghancurkan masyarakat setempat dan membawa dunia semakin dekat pada bencana iklim," kata Novita.
Selain melaporkan penyokong dana proyek ekspansi Suralaya ke CAO, koalisi masyarakat sipil menggugat PLN ke Komisi Informasi Pusat. Dalam gugatan yang diwakili pengacara lingkungan, Margaretha Quina, itu, koalisi masyarakat sipil menuntut perusahaan setrum negara tersebut membuka data emisi PLTU Suralaya dan PLTU Ombilin di Padang, Sumatera Barat, kepada publik.
Koalisi melakukan gugatan karena PLN tidak memberikan data emisi tersebut kepada publik dengan alasan dikecualikan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP dan UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Menurut Novita, data yang dimohonkan adalah laporan hasil pengukuran sistem pemantauan emisi periode 2015-2022 dan laporan pengelolaan limbah B3, khususnya limbah B409 dan B410 periode 2012-2021 dari cerobong PLTU Suralaya unit 1-8 serta PLTU Ombilin.
Novita menilai informasi tersebut perlu diketahui oleh publik karena berhubungan dengan keselamatan masyarakat. Informasi itu juga diperlukan supaya publik bisa terlibat dalam penanganan polusi udara. "Bila berhasil, kami harap tak hanya PLTU Suralaya, tapi PLTU di Indonesia lainnya juga bisa dibuka datanya," ujar Novita.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial-Lingkungan PLN, Gregorius Adi Trianto, tak merespons upaya klarifikasi Tempo. Sementara itu, General Manager PT PLN Indonesia Power (IP) Suralaya Power Generation Unit, Irwan Edi Syahputra Lubis, mengatakan monitoring emisi sumber tidak bergerak (CEMS) telah dilakukan sejak 2020 di Suralaya. Setiap tiga bulan sekali, kata dia, kualitas udara diukur dan laporannya diserahkan kepada dinas lingkungan hidup setempat.
"KLHK dan dinas lingkungan hidup provinsi dan kota bisa akses data itu. Jika ingin ambil, bisa langsung ke KLHK," kata Irwan.
Mesin uap di PLTU Suralaya di Cilegon, Banten. Dokumentasi TEMPO/Dasril Roszandi
Klaim Pemantauan Polusi di Suralaya
Irwan menjelaskan, selama ini PLTU Suralaya telah menggunakan berbagai teknologi untuk menjaga kualitas udara. Teknologi itu sudah ada di cerobong pembangkit listrik untuk memastikan emisi gas buang, termasuk PM2.5, bisa ditekan secara maksimal. “Ada teknologi ramah lingkungan pada PLTU yang berfungsi untuk menangkap debu dari emisi gas buang dengan ukuran sangat kecil,” kata Irwan.
Menurut dia, unit pembangkit di Suralaya juga telah dilengkapi dengan teknologi Low NOx Burner. Batu bara yang dipakai di pembangkit tersebut juga rendah sulfur. Dengan begitu, kata Irwan, emisi yang dikeluarkan oleh PLTU selalu aman dan berada di bawah ambang batas pemenuhan baku mutu sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 15 Tahun 2019.
Di sisi lain, PLTU Suralaya juga menggunakan teknologi continuous emission monitoring system (CEMS) untuk memantau emisi pembangkit secara terus-menerus. "Dengan demikian, emisi yang keluar dari cerobong dapat dipantau secara real-time," kata Irwan.
Adapun Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, juga menegaskan bahwa Kementerian selalu melakukan pengawasan dan penegakan hukum untuk menekan polusi udara di wilayah Jabodetabek. KLHK, dia mencontohkan, telah menjatuhkan sanksi terhadap 32 perusahaan. "Mereka diberi sanksi dalam upaya perbaikan," kata Sigit.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo