PADA tahun-tahun mendatang, wilayah Arafat dan Mina akan bersih dari binatang sembelihan kurban. Ini berita dari Arab Saudi. Selama ini jemaah haji yang berkurban, terutama pada 10 Zulhijah, pada meninggalkan hewan sembelihan mereka begitu saja. Atau hanya memungutnya sedikit, dan sisanya diangkut dengan truk-truk pemerintah - dibuang. Diketahui, di negeri itu boleh dikatakan tak ada lagi orang miskin. Maka, seperti dituturkan orang yang pernah menginap di Mina segera setelah seluruh jemaah meninggalkan kota itu, pada malam hari terdengarlah suara yang mengerikan ini: "Huuuuuuuu !". Itulah, katanya, suara serigala dan anjing-anjing liar yang menyerbu daging di padang-padang. Tapi keadaan seperti itu akan segera berubah. Dan info dari Arab Saudi ini seakan-akan datang sebagai jawaban kepada para kiai NU Jawa Tengah, yang mengeluarkan sebuah imbauan baru-baru ini. Para ulama Syuriah Nahdatul Ulama itu bersidang dua pekan lalu di Pesantren Al Ma'ruf. Desa Bandungsari, Kccamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan. Mereka, 200-an kiai se-Jawa Tengah, yang membahas 20 masa-il diniyah (masalah hukum agama), juga menyelipkan pembicaraan pelaksanaan penyembelihan hewan di Tanah Suci pada musim haji. Dan akhirnya memutuskan untuk mengimbau pemerintah Arab Saudi agar menghindarkan kemubaziran daging itu agar "dilakukan pemanfaatannya untuk fakir miskin di dunia", bila penduduk Arab Saudi sendiri memang tak butuh. Maielis Ulama Indonesia dan MU DKI Jakarta pernah juga membahas hal itu, dua tahun lalu. MU DKI, pada waktu yang sama, juga mengajukan usul mengenai pemanfaatan daging itu kepada pemerintah RI - untuk disampaikan kepada pemerintah Arab Saudi. Sedang Muhammadiyah sudah juga mengeluarkan usul serupa pada tahun 1964. Maklum, jumlah binatang sembelihan itu bukan main besar. Dimisalkan jemaah haji seluruhnya berjumlah dua juta, sedang tiap orang hanya memotong satu kambing, jumlah daging sudah bisa dilihat. Memang tidak semua orang berkurban, mengingat ibadah itu tidak wajib. Tapi kekurangannya kiranya bisa ditutup dengan penyembelihan hewan sebagai pembayaran dam, denda ritual dari mereka yang melanggar salah satu unsur ibadah. Hanya, seperti konon pernah dipikirkan pihak Arab Saudi, bagaimana mungkin daging-daging itu dibawa ke luar. Itu berarti mendirikan pabrik pengolahan daging yang hanya bekerja pada musim haji! Tapi rupanya pikiran itu berubah. Kedutaan besar RI di Jeddah Sabtu minggu lalu menuturkan kepada TEMPO, sebenarnya usul seperti itu sudah ditanggapi - dan dilaksanakan - pemerintah Arab Saudi sejak tahun lalu. Pada musim haji yang lalu, kata teleks KBRI itu, di sana dipotong 1 juta kambing, 50 ribu unta, dan 50 ribu sapi dari tangan jemaah. Hewan-hewan itu semula diimpor dari Sudan, Etiopia, Turki, Selandia Baru, dan Skotlandia, Inggris. Dari binatang kurban sejumlah itu, 1.700 ton daging katakan sajalah 10% dari keseluruhan - dengan nilai sekitar Rp 4,5 milyar, sudah dikirimkan ke luar negeri: Pakistan, untuk para pengungsi Afghanistan, Sudan, untuk para pengungsi Etiopia, serta ke Zaire dan Uganda. Semuanya berwujud daging segar. Sedangkan sisanya sebagian didinginkan dan lainnya dikalengkan. Belum disebutkan pemanfaatannya. Untuk itu, menjelang musim haji yang lalu, di sana dibangun tempat pemotongan model sangat mutakhir dengan sistem hidrolis, dengan biaya 80 juta rial atau sekitar Rp 22,8 milyar. Di situ binatang sekaligus disembelih (dengan kecepatan 10.000 ekor per jam), dibuka perutnya, dan dimasukkan dagingnya ke alat pendingin yang berkapasitas tampung "baru" 80.000 ekor (daging) binatang, atau katakan sajalah 1.000 ton (kambing, sapi, unta). Pemerintah Arab Saudi sendiri memang belum puas: mereka menyatakan akan memperluas proyek itu dengan penambahan peralatan, seperti dikatakan Dubes Achmad Tirtosudiro kepada TEMPO. Itu berarti, penyembelihan kurban terutama akan dilakukan lewat mesin. Dan itu memang dibolehkan: baik Departemen Agama maupun Munas NU di Situbondo tahun lalu, misalnya, membenarkannya. Memang, seperti dikatakan Dubes, masih banyak juga jemaah yang lebih sreg menyembelih sendiri. Tapi pada musim haji mendatang ini, katanya, jemaah Indonesia akan memulai cara baru ini: mengumpulkan uang dan menyerahkannya kepada Islamic Development Bank alias Bank Pembangunan Islam, Arab Saudi, dan merekalah yang mengurus kurban. Pabrik itu dibangun oleh "bank tanpa bunga" itu, yang dalam sidangnya yang terakhlr telah pula memutuskan untuk sekalian menangani keseluruhan penyembelihan dan pemanfaatannya. Maka, akan rugilah anjing-anjing Arab, yang tak akan lagi bisa berpesta daging pada musim haji. Tapi, kalau direnung-renungkan, sebenarnya tidak hanya mereka. "Suasana purba" ibadah haji sendiri, elemen yang sangat menyentuh perasaan dalam pelaksanaan upacara warisan Ibrahim itu, bisa berkurang - dengan hilangnya pemandangan penyembelihan kurban di padang pasir berpadas-padas. Khusus untuk penyembelihan, barangkali kehilangan itu hanya bisa dilipur oleh kesadaran bahwa pengolahan daging itu akan berarti pertolongan kepada sesama manusia yang lapar - di Afrika, misalnya, yang keadaannya sungguh-sungguh menyayat. Bayangkan, bila jumlah Rp 4,5 milyar yang sudah dicatat disumbangkan belum lama itu baru 10% harga seluruh daging kurban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini