INI bukan propaganda untuk NU, bukan pula untuk Duta Masjarakat.
Tapi harian partai itu belakangan ini beritanja, dengan disertai
opini, tjukup ramai Hampir tiap hari ada soal penangkapan bahkan
penjiksaan dan pembunuhan dan tidak kurang soal gangguan
terhadap kampanje NU. Dari situ djuga tertjermin suasana hati
jang bagai-mana jang ada dalam partai Islam tersebut.
Menjaksikan pawai dan rapat umumnja di pelbagai tempat di Djawa
Timur, Djawa Tengah bahkan Djakarta, ada terasa sematjam
"kebangkitan keberanian dan kegalakan", dalam penilaian seorang
anggota Bapilu Golkar. Anggota DPRGR Sugiarso jang baru kembali
dari Djawa Tengah kepada Suara Karya minggu lalu menerangkan
bahwa pada pertengahan Mei di Wonosobo tokoh-tokoh NU berbitjara
soal "djihad" dan "djika perlu masuk hutan". Pengawal-pengawal
Subehan Z.F. dikabarkan memakai "sabuk-sabuk djimat", made in
Purwodadi, kreasi seorang Kijai NU disana.
Semua itu benar atau tidak, sekarang ini sulit dipastikan djika
tidak dilihat sendiri. Walaupun bukan mustahil. Dalam kampanje
usaha mengobarkan semangat bisa sadja beriebih-lebihan. Dan
pengalaman 1964-1966 jang penuh kekerasan antar golongan masih
membekas dipedalaman Djawa Tengah da Djawa Timur. Mungkin karena
hal ini pidato Presiden Suharto di Pasar Klewer Sala beberapa
hari jang lalu djuga kena. "Djihad akan kita lawan dengan djihad
kata Kepala Negara -- diluar kebiasaannja berbitjara
mengedjut-kan. NU tak di sebut-sebut disana, tapi tiba-tiba
ditandatangani oleh Subehan Z. dan Jusuf Hasjim, partai tersebut
mengatakan penjesalan terhadap utjapan Presiden jang di Djakarta
kemudian disambut Pd Gubernur Sadikin dengan nada jang sama itu.
"Saja hargai keberanian NU menjesalkan satu utjapan Pak Harto",
komentar seorang tokoh muda Golkar meskipun itu menundjukkan
bahwa NU terkena batunja.
Sangka. Tapi ada jang tak begitu menghargai rupanja. Dan itu
Ketua Umum NU sendiri: K.H. Idham Chalid. Antara mengabarkan
bahwa ia menjesal kan pernjataan Subehan dan Jusuf Hasjim. Ia
berpendapat bahwa tak perlu suatu golongan merasa bahwa dialah
jang ditudju oleh peringatan Presiden itu. Meskipun berita
Antara itu mungkin tak berasal dari utjapan langsung Idham
Chalid, tapi Ketua Umum NU ini memang agak lain dari jang
muda-muda. Djuga kalangan partai Islam lain mentjerminkan sikap
jang lebih berhati-ati. M.Ch. Ibrahim dari L.T. PSII seraja
menafsirkan "djihad" setjara harfiah sebagai "berdjoang"
mengatakan: "Saja jakin maksud Pak Harto mengadjak rakjat
berdjoang membangun. Sebaiknja kita tak berburuk sangka". Jang
rupanja djuga tak ingin disanka berburuk sangka ialah H.Rusli
Halil dari Perti. "Perti tak menganggap utjapan itu berhubungan
dengan sikap orang fslam. Pak Harto sendiri orang Islam, nasa
dia mau memerangi saudaranja sendiri".
Betul djuga. Tapi bukan satu hal baru bahwa hubungan antara ABRI
dengan golongan Islam, chususnja jang sering di nilai sebagai
"ekstrim" tak selamanja ramah. Mungkin sadar akan hal ini. dr.
Sulastomo dari Parmusi menghindarkan diri dari soal tepat
tidaknja istilah "djihad" Presiden. Katanja kepada Sjahrir Wahab
dari TEMPO: "Anggap sadja ubapan itu sebagai peringatan. Djangan
di tekankan soalnja pada perkara istilah. Tak tepat memakai
istilah adalah biasa. Jang penting soal ini djangan dapat di
djadikan bahan adu-domba diantara kita".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini