Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Periode Kedua yang Semakin Suram

Kelompok masyarakat sipil menilai pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo makin antikritik. Hukum kerap menjadi alat untuk membungkam kebebasan sipil.

28 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wapres Ma'ruf Amin memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, 10 Desember 2019. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ruang kebebasan berpendapat pada periode kedua Jokowi makin sempit.

  • Kriminalisasi kerap dilakukan terhadap mereka yang mengkritik pemerintah.

  • Pemerintahan Jokowi disebut makin otoriter.

JAKARTA – Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai tiga tahun periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai masa suram bagi penegakan hak asasi manusia dan demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang dijamin konstitusi, dianggap makin tergerus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan kondisi tersebut tak membaik. "Selama setahun terakhir, kami melihat bahwa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat juga diarahkan pada pemutihan tanggung jawab pelaku dan mengabaikan pemulihan terhadap korban," kata Rivanlee, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamis pekan lalu, 20 Oktober 2022, Jokowi genap tiga tahun menjabat Presiden RI pada periode kedua pemerintahannya. Ia kembali memenangi pemilihan presiden 2019 bersama pasangan barunya, Ma’ruf Amin.

Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi menguasai perpolitikan setelah merangkul lawannya, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, masuk ke kabinet. Pemerintahan Jokowi praktis juga tak punya oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat. Partai politik yang menduduki parlemen, kecuali Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah.

Adapun tudingan upaya pemutihan terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang dilontarkan Rivanlee dipantik oleh langkah Jokowi, yang menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Diteken pada 26 Agustus lalu, kebijakan ini dipersoalkan pegiat HAM lantaran berpotensi makin mengabaikan pentingnya upaya menyeret para pelaku pelanggaran berat HAM di masa lalu ke pengadilan—yang sudah lama tersendat.

Rivanlee mengingatkan, pada masa kampanye pemilihan presiden 2019, Jokowi berikrar akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun nyatanya, kata Rivanlee, janji tersebut hanya pemanis bibir. "Seperti periode pertama kepemimpinannya," kata dia.

Komisi Nasional HAM sudah lama telah menyerahkan 12 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan Agung. Dari jumlah tersebut, baru satu kasus yang ditindaklanjuti dan disidangkan di pengadilan, yaitu peristiwa Paniai, Papua, 2004.

Adapun 11 kasus lain tak kunjung jelas nasibnya. Kasus-kasus itu meliputi peristiwa pembunuhan massal 1965-1966; penembakan misterius (1982-1985); peristiwa Talangsari, Lampung (1989); tragedi Rumah Geudong pada era pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh (1989-1998); penghilangan paksa (1997-1998); peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (1998-1999); kerusuhan Mei 1998; pembunuhan isu dukun santet (1998-1999); serta peristiwa Simpang KAA di Aceh (1999). Selain itu, ada kasus peristiwa Wasior dan Wamena, Papua (2002 dan 2003); serta peristiwa Jambo Keupok (2003).

"Proses penyelidikan pelanggaran HAM berat lainnya mandek, tapi pemerintah justru membuat kebijakan penyelesaian lewat jalur non-yudisial," kata Rivanlee. "Penuntasan pelanggaran HAM berat pada periode kedua Jokowi berjalan mundur."

 

Hukum Malah Jadi Alat Menggerus Kebebasan Sipil

Kontras juga menilai kebebasan sipil menyempit. Rivanlee menyoroti makin getolnya perangkat negara menggunakan pasal-pasal karet—sebutan untuk pasal yang multitafsir dan rentan diselewengkan—pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk mengkriminalkan pengkritik pemerintah. "Salah satunya dialami Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar," ucapnya. "Ini menjadi pembungkaman yang dilakukan negara terhadap warganya."

Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Koordinator Kontras Fatia Mauliiyanti dan pendiri Lokataru Haris Azhar sebagai tersangka pada Maret lalu dalam kasus dugaan pencemaran nama, yang dilaporkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya dijerat dengan Pasal 27 UU ITE.

Kasus Fatia dan Haris bermula dari video yang diunggah di akun YouTube pada Agustus 2021 bertajuk "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!". Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Kontras, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan YLBHI. Riset itu mengulas bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI Angkatan Darat dalam rencana eksploitasi tambang emas Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.

Luhut melaporkan Fatia dan Haris pada September 2021 karena menganggap keduanya telah mencemarkan namanya serta menyebarkan berita bohong dan fitnah. Jumat pekan lalu, 21 Oktober 2022, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengumumkan telah mengembalikan berkas penyidikan untuk dilengkapi oleh Polda Metro Jaya.

Menurut Rivanlee, sejak 2019 hingga Oktober 2022, Kontras mencatat sedikitnya 518 kasus yang menyangkut pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Di sisi lain, kata dia, intimidasi lewat teknologi informasi juga makin sering terjadi, yang menyasar aktivis dan pekerja media. Pada periode yang sama, dalam catatan Kontras, sedikitnya 64 kasus doxing dialami pekerja media.

Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (kedua dari kanan) dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti (kiri) mengikuti mediasi kasus dugaan fitnah dan pencemaran nama terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, 21 Oktober 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Rivanlee khawatir kondisi tersebut bakal memburuk. Pasalnya, saat ini pemerintah dan DPR juga melanjutkan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang naskah rancangannya berisi seabrek pasal pengancam kebebasan sipil. Dia mencontohkan, Pasal 218-220 pada draf RUU KUHP mengatur soal tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden-wakil presiden. Ada pula pasal-pasal berbahaya lainnya, seperti penghinaan pemerintah yang sah dan penghasutan untuk melawan penguasa umum.

Dia menilai rancangan pasal-pasal tersebut berpotensi menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk terus mengerdilkan ruang kebebasan sipil. "Tidak ada ruang yang signifikan menjamin kebebasan berekspresi atau menyampaikan pendapat maupun berkumpul," kata Rivanlee.

Kelompok masyarakat sipil sebenarnya telah lama menyuarakan gejala kemunduran demokrasi di Indonesia. Gelagat itu muncul ketika aparat keamanan bertindak represif terhadap massa yang berunjuk rasa sekitar September 2019. Saat itu, gelombang demonstrasi yang dikenal dengan gerakan #ReformasiDikorupsi terjadi di sejumlah daerah untuk menolak rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lainnya. Tindakan serupa juga terjadi di tengah aksi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law pada 2020.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SafeNet, Nenden S. Arum, berpendapat senada. Menurut dia, selama periode kedua kepemimpinan Jokowi, kondisi kebebasan berekspresi tidak mengalami perbaikan. "Kita bisa melihat dari banyaknya kasus kriminalisasi karena kebebasan berekspresi, saat netizen atau pengguna media sosial mengkritik kebijakan pemerintah," kata Nenden.

SafeNet mencatat, angka kriminalisasi yang mengancam kebebasan berekspresi terus meningkat dalam satu tahun terakhir. Pada 2021, kata dia, tindak kriminalisasi yang berhubungan dengan kebebasan berpendapat baru 38 kasus. "Hingga kuartal ketiga 2022, sudah ada 86 kasus kriminalisasi karena mengkritik pemerintah," kata Nenden.

Menurut Nenden, sebenarnya Jokowi sempat memberikan angin segar pada tahun lalu lantaran berencana merevisi pasal bermasalah dalam UU ITE. Namun rencana tersebut hingga kini seakan-akan menguap. "Pasal di UU ITE itu padahal yang menjadi momok menakutkan karena menjadi alat mengkriminalkan masyarakat yang mengkritik pemerintah," ujarnya.

Selain kriminalisasi, kata dia, masyarakat kini juga makin takut mengkritik pemerintah lantaran dibayangi ancaman serangan digital. "Jadi, kalau tidak dilaporkan sekarang, mereka diserang melaluinya pengambilalihan akun sampai doxing," ucapnya. "Ini sangat berdampak negatif bagi demokrasi."

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhamad Isnur, juga melihat adanya gejala otoritarian pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Salah satu indikatornya berupa makin tidak taatnya pemerintah terhadap nilai dan prinsip yang diatur dalam konstitusi. "Di lapangan, banyak sekali kita lihat temuan tentang bagaimana pejabat, kementerian, bahkan aparat penegak hukum yang melanggar," kata dia. "Praktik pemerintahan juga semakin korup. Diakui sendiri oleh Mahfud Md. (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan), bahwa semakin merajalela lebih parah dari Orde Baru."

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, menilai pemberantasan korupsi dan penegakan HAM makin diabaikan pada periode kedua Jokowi hanya untuk memperlancar investasi. Hukum, kata dia, saat ini malah digunakan untuk memperlancar pembangunan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Pemerintah dan DPR bahkan belakangan juga mengubah Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Aturan dibuat untuk kepentingan pembangunan, bukan melindungi rakyatnya. Dan yang paling parah, elemen yang bisa menyeimbangkan seperti KPK dimatikan dengan revisi UU KPK," ucapnya. "Hukum dibuat untuk membungkam kebebasan berekspresi."

Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani dan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini tak menjawab pertanyaan Tempo ihwal penilaian kelompok masyarakat sipil terhadap tiga tahun periode kedua Presiden Joko Widodo. Namun, sebelumnya, Jokowi berulang kali menegaskan bahwa pemerintah tak antikritik. "Kita tidak boleh alergi terhadap kritik. Bagaimanapun kerasnya kritik itu, harus diterima sebagai wujud kepedulian agar kita bekerja lebih keras lagi memenuhi harapan rakyat," ujar Jokowi dalam sidang tahunan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 16 Agustus 2019.

Yang teranyar, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko juga menyatakan pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin tidak antikritik dan selalu terbuka untuk dialog. Menurut dia, lewat Kantor Staf Presiden, semua aspirasi masyarakat untuk pemerintah akan didengarkan dan disampaikan langsung kepada Presiden Jokowi. "Silakan kawan-kawan datang ke Kantor Staf Presiden. Pintu kantor saya selalu terbuka untuk kita berdialog," kata Moeldoko melalui keterangan resminya, 13 September lalu. Kala itu, Moeldoko merespons tuntutan masyarakat yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

IMAM HAMDI | FENTI GUSTINA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus