Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dengan Traktor Dan Kitab Kuning

Pesantren pertanian Darul Fallah merayakan ultah ke-25. Satu-satunya pesantren yang memelopori PDK ketrampilan, mempunyai hubungan erat dengan IPB. Semua alumni meraih sukses. Diprioritaskan untuk pemuda desa.(pdk)

28 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setiap hari di wilayah ini terdengar bunyi traktor tangan dan lenguh sapi. Tanah 26 ha itu memang terbagi-bagi. Lebih dari setengahnya adalah tanah pertanian. Sisanya, sederetan kandang sapi, domba, dan ayam. Lalu ruang bengkel lengkap dengan mesin bubut dan mesin pencetak batako. Di sampingnya berdiri ruang kerajinan tangan dan pertukangan kayu. Tak ketinggalan lapangan olah raga. Dan di tanah berbukit-bukit itu, di salah satu bukitnya berdiri masjid. Kawasan sekitar 12 km arah barat Bogor, Jawa Barat, ini memang sebuah pesantren, meski pemuda-pemuda di situ jarang yang tampak bersarung. Ada pula asrama yang menampung sekitar 200 santri, juga rumah-rumah untuk para guru pesantren. Tapi, sejak berdiri, 1960, di sini tak ada seorang kiai sebagai tokoh sentral sebagaimana lazimnya sebuah pesantren. Inilah pesantren pertanian - demikian disebut - Darul Fallah. Pekan ini pesantren yang diapit dua sungai, Cinengnang dan Ciampea, ini merayakan ulang tahunnya ke-25. Agak terlambat karena resminya Darul Fallah berdiri pada 9 April 1960. Darul Fallah boleh disebut sebagai pesantren yang memelopori pendidikan keterampilan. Tapi bukan soal pendidikan keterampilannya bila pada awal-awal berdirinya Darul Fallah disangsikan kepesantrenannya. Maklum, seperti telah disebutkan, pimpinannya bukanlah seorang kiai yang kemudian digantikan oleh anak keturunannya. "Kepemimpinan Darul Fallah bersifat kolektif," kata K.H. Soleh Iskandar, salah seorang dari tiga pendiri pesantren pertanian ini. Berdiri di zaman Orde Lama, Darul Fallah tak berjalan mulus. Pada 1963 hampir semua guru di sini dipenjarakan oleh penguasa. Baru di zaman Orde Baru, tepatnya pada 1967, pesantren pertanian ini lahir kembali. Dan, tetap melanjutkan konsep semula. Yakni, "Membantu masyarakat pedesaan dengan melahirkan pemuda-pemuda yang siap mandiri," tutur Soleh Iskandar. "Kami tak berniat melahirkan ulama." Tak berarti santri keluaran pesantren pertanian ini miskin pengetahuan agamanya. Hampir setiap hari, sesudah salat subuh, selama satu jam para santri diwajibkan mengikuti pengajian kitab kuning tafsir dan hadis yang khusus untuk menegakkan tauhid. Sesudah magrib, untuk satu jam pula, ada tadarusan Quran. Lewat pengajian inilah keimanan para santri dipupuk. Diharapkan, pemuda keluaran Darul Fallah menyandang keterampilan di tangannya dan menyimpan iman di dadanya. Sebagai pesantren yang terletak di daerah Bogor, dan terutama memberikan pelajaran keterampilan di bidang pertanian, masuk akal bila kemudian terjadi hubungan erat antara Darul Fallah dan Institut Pertanian Bogor. Meski hubungan itu tak formal sifatnya. Dua belas dari 28 tenaga pengajar di pesantren pertanian ini adalah dosen-dosen IPB. Yang lain adalah tenaga pengajar lulusan IAIN dan IKIP. Pada mulanya lama pendidikan enam tahun, dan para santri disyaratkan lulus SD. Ternyata, ini tidak cocok. "Mungkin enam tahun terlalu lama hingga banyak yang putus di tengah jalan," tutur Saleh Widodo, ketua Darul Fallah yang pertama (ia digantikan oleh Mudjahid, dan kemudian pimpinan berpindah tangan pula kepada Tamsur Marse hingga tahun ini). Pada 1976 sistem diubah, yang diterima lulusan SMTP dan lama pendidikan di pesantren disingkat menjadi hanya tiga setengah tahun. Pada ulang tahun ke-25 ini alumnus Darul Fallah tercatat 194 santri, dan semuanya telah jadi orang. Jawahir, 39, keluar dari Darul Fallah pada 1970. Ia kembali ke tempat kelahirannya, sebuah desa di Kabupaten Malang, memelopori usaha peternakan ayam ras. "Waktu itu di sana belum ada peternakan ayam ras," tutur alumnus yang ikut hadir di Bogor ini. Kini, di seluruh kecamatan desanya ada 100 peternak ayam ras dengan 50.000 ekor ayam. Jawahir sendiri, sebagai pelopornya, sekarang punya 1.500 ayam dan 10 sapi. Pada 1976 ia terpilih sebagai peternak teladan nasional. Cerita sukses juga dialami Bunzamin Wibisono, 30, asal Magelang. Alumnus Darul Fallah pada 1976 ini, dengan modal Rp 60.000, mulai beternak ayam. Tiga tahun kemudian ayamnya berkembang jadi 1.000 ekor. Bahkan pada 1980 ia mendapat kesempatan memperdalam bidang peternakan dan pertanian di Jepang selama enam bulan atas undangan sebuah lembaga Jepang. Kini di Magelang ia populer sebagi da'i. "Agar seorang da'i didengarkan orang, ia harus mampu membuktikan prestasinya dulu," kata Bunzamin. Boleh dikata semua alumnus Darul Fallah kembali ke desa tempat kelahiran mereka. Lalu mereka berusaha sendiri, membuka lapangan kerja buat warga desa. Banyak ragam usaha para alumnus itu: di bidang tanaman hias, pabrik tahu, pabrik permen, percetakan. Ada pula Jalal Mahli, yang kembali ke desanya di Lampung Utara, ikut mencalonkan diri jadi kepala desa, dan menang. Tentu, di samping berusaha, para bekas santri itu pun mengadakan pengajian untuk lingkungannya. Di Darul Fallah sendiri seleksi calon santri dilakukan dengan wawancara dan tes psikologi. Itu untuk mengetahui motivasi calon, tutur Saleh Widodo. Dan yang diprioritaskan adalah pemuda dari desa karena demikian-lah konsep pesantren ini pada mulanya. Tiap tahun sekitar 100 calon dari berbagai penjuru tanah air ikut tes, tapi cuma 30-an yang diterima. Kini, untuk sekadar membantu keuangan pesantren, tiap santri diwajibkan membayar Rp 22.500 per bulan. Kas pesantren, selain didukung oleh penghasilan dari pertanian sendiri - prinsip belajar di sini adalah belajar sambil berproduksi - juga dana dari berbagai lembaga luar negeri. Antara lain, Inggris, Amerika, Jepang, dan Belanda. Di masa ketika pendidikian formal dikeluhkan mutunya, dan pesantren tradisional disebut-sebut merosot kualitas kemandirian santrinya, barangkali Darul Fallah adalah contoh pesantren dan pendidikan yang maju. Tak sia-sia Soleh Iskandar - tokoh masyarakat Bogor, bekas komandan Pasukan Hizbullah di zaman revolusi, orang yang giat di berbagai organisasi sosial, dan terkahir menjadi ketua Harian Badan Kerja Sama Pondok Pesantren - mencetuskan Darul Fallah. Waktu itu ia tak sendirian. Ada K.H. Gaffar Ismail (ayah sastrawan Taufiq Ismail) dan H. Djanaman Adjam (bekas dubes RI untuk Arab Saudi), yang mendukungnya. Ditambah H. Oeneb Djunaidi, pengusaha dari Tasikmalaya, yang mewakafkan tanah miliknya, jadilah pesantren pertanian Darul Fallah, atau pesantren "kampung kemenangan." Bambang Bujono Laporan Hasan Syukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus