Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menempatkan Sejarah Dalam Kelas

Pertemuan para ahli dengan menteri Fuad Hassan membahas tentang peninjauan kembali pelajaran sejarah. PMP, sejarah nasional & PSPB ternyata materinya tumpang tindih, dan selayaknya di satukan. (pdk)

28 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA bukan cuma hal Bung Karno yang dimasalahkan. Presiden pertama RI itu disebutkan "menerima komisi dari perusahaan asing", dalam buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia untuk SMP cetakan 1976 hingga cetakan 1983. Tapi baru akhir-akhir ini soal itu dihebohkan orang, pada-hal pada buku cetakan terbaru, 1985, alinea tersebut sudah dihilangkan (TEMPO, 21 September). Kemudian perhatian diperluas: pihak Departemen P & K memutuskan untuk meneliti kembali buku-buku pelajaran sejarah. Sekitar 40 ahli dan pengamat sejarah diundang, Senin pekan ini, menghadiri pertemuan dengan Menteri Fuad Hassan di Departemen P & K. Mereka - antara lain Onghokham dari UI, Kuntowijoyo dari UGM, Sumartini dari Arsip Nasional, Marwati Djuned Pusponegoro dari Pusat Sejarah ABRI -dimintai saran-saran tentang bagaimana sebaiknya pelajaran sejarah. Direncanakan pertemuan tersebut diadakan beberapa kali, sebelum diputuskan perlukah buku pelajaran sejarah Indonesia untuk SD sampai SMTA ditulis kembali. Pertemuan pertama pekan ini, menurut Harsja W. Bachtiar, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K), baru hanya mendengarkan pendapat Menteri P & K. "Menteri menyatakan agar dibedakan dua penulisan sejarah," kata Harsja, yang sekaligus menjadi penanggung jawab pengkajian kembali buku pelajaran sejarah ini. Yakni, tulisan sejarah sebagai bacaan ilmiah, dan sebagai bahan untuk pengajaran yang mengandung nilai pendidikan. Khusus tentang sejarah nasional, kata Harsja lagi, mestinya dengan sengaja dirancang guna menimbulkan kebanggaan terhadap nusa dan bangsa sendiri. Karena itu, pernyataan Menteri P & K dalam pertemuan pagi itu di garisbawahi Harsja. Yakni, perlunya dipertimbangkan pencantuman fakta negatif yang menyangkut seorang tokoh nasional dalam buku pelajaran sejarah. Sebab, hal ini menyangkut aspek pendidikan. "Pemilihan bahan pelajaran mestinya disesuaikan dengan usia siswa, memperhatikan kemampuan siswa menyerap pelajaran dan sebagainya," katanya. Harsja, seorang doktor sosiologi, menilai buku pelajaran sejarah kita masih menekankan pada angka tahun dan nama tokoh buat dihafalkan. "Cerita yang bisa menggugah kebanggaan siswa, yang bisa menanrik minat siswa, sangat kurang," tambahnya. "Buku pelajaran sejarah kita masih kering." Dicontohkannya, bila buku pelajaran sejarah berkisah tentang tokoh pejuang Bung Tomo, tentulah tak cukup hanya diceritakan tanggal lahir dan jasa-jasanya. Penting dikisahkan bagaimana gaya pidato Bung Tomo di radio hingga bisa membakar semangat pendengarnya kala itu. "Pelajaran sejarah adalah juga pelajaran mengembangkan kemampuan berpikir tentang segala hal. Dari sejarah orang bisa menarik keteladanan," katanya. Pada kesempatan lain, dalam rapat kerja dengan DPR-RI, Menteri P & K Fuad Hassan mengakui bahwa saat ini masih terjadi "tumpang tindih antara Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa, PMP, dan Sejarah Nasional". Maksudnya, ada bahan-bahan yang sama diberikan oleh ketiga pelajaran itu. Ini yang disebut Fuad tumpang tindih horisontal. Lalu ada pula tumpang tindih vertikal, yakni bahan yang sama diulang lagi pada jenjang pendidikan berbeda. Sebenarnya yang dikatakan Menteri sudah lama jadi keluhan para guru mata pelajaran tersebut, juga dari murid-murid. Kata Wiwik Kurnianto, siswa kelas 1 SMAN 41, Jakarta Pusat, "Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sejarah Nasional sebenarnya bisa disatukan." Hal inilah, antara lain, yang akan dibicarakan dalam pertemuan 40-an ahli sejarah berikutnya. "Mungkinkah PMP, Sejarah Nasional. dan Sejarah Perjuangan Bangsa disatukan," tutur Harsja. "Sebab, tumpang tindih itu memang sulit dihindarkan, ketiga pelajaran mengandung aspek sejarah yang sama." Mungkin itu sebabnya, Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang mulai diberikan pada tahun ajaran 1983-1984, di awal tahun ini dikurangi jam pelajarannya. Dulu, ditentukan PSPB diberikan dari kelas I SD hingga kelas III SMTA di seluruh semester sebanyak dua jam pelajaran per minggu. Awal tahun ini ketentuan diubah, PSPB hanya diberikan pada semester genap. Cuma, keputusan ini baru awal September ini disebarluaskan. Di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, misalnya, beberapa sekolah telah menghentikan PSPB, tapi beberapa yang lain masih meneruskannya. Tak ada masalah pengangguran guru karena biasanya guru PSPB adalah juga guru PMP atau Sejarah Nasional. Tampaknya, bila memang ada niat menyederhanakan kurikulum - sebagaimana pernah dicetuskan oleh Almarhum Nugroho Notosusanto - tumpang tindih tiga mata pelajaran itu layak dibenahi. BB Laporan Yusroni Hendridewanto & Indriyati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus