Dengarlah Suara si Abang Becak Hasil poll TEMPO mengungkapkan: buat 80% tukang becak di Jabotabek, menarik becak adalah pekerjaan utama mereka. Lebih dari separuh sudah mengayuh becak 3 tahun lebih. KARTA, 40 tahun, menyadari bahwa hari-harinya sebagai tukang becak di Jakarta bakal berakhir 31 Maret nanti. Karena itu, ia sudah memikirkan profesi penggantinya: sebagai pedagang kecil. Ia memperhitungkan, dalam dua bulan, dengan mengantungi rata-rata Rp 4.000 sehari, tabungannya akan cukup buat melaksanakan niatnya. Sial. Pada 9 Januari lalu becaknya kena garuk. Maka, bapak dengan tiga orang anak yang ditinggal di kampungnya, di Pekalongan, itu lunglai. Tatkala ditemui dua pekan silam, Karta, yang cuma lulusan SD ini, masih bingung, apa yang harus dilakukannya untuk menghidupi keluarganya. Gambaran seperti itu rupanya bukan kasus khusus. Dari angket TEMPO yang diedarkan dua pekan lalu pada 240 tukang becak di Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi) plus Depok, 44% dari tukang becak yang sudah menikah mengaku setidaknya punya 3 anak. Sedangkan 14% punya 2 anak, dan 12% seorang anak. Anak terbesar mereka umumnya masih sekolah di SD. Terungkap pula, menarik becak ternyata merupakan pekerjaan utama mereka (80%). Hanya 8% responden yang menjalankan becak kurang dari 6 bulan dalam setahun. Mereka, 23%, justru sudah mengayuh becak selama 5 tahun lebih. Lalu 24% antara 4 dan 5 tahun, 11% antara 3 dan 4 tahun, selebihnya kurang dari dua tahun. Sebagian besar tukang becak tak memiliki becak sendiri (92%). Umumnya menyewa dari juragan becak, ada pula yang cuma nyodok -- meminjam dari sesama tukang becak. Tapi lumayan, mereka bisa mendapat penghasilan bersih sehari Rp 2.000 sampai Rp 4.000 (54%). Sebagian lagi, 23%, bisa mengantungi Rp 4.000-Rp 6.000. Tapi penghasilan itu, menurut 60% dari mereka, berkurang jika dibandingkan dengan tahun lalu, saat penggarukan becak belum getol. Meskipun begitu, membecak itu masih mereka pandang sebagai ladang yang lebih baik ketimbang profesi mereka dulu. Sebelum menjadi penarik becak, kebanyakan responden (39%) mengaku sebagai buruh tani di desa, 12% di antaranya punya lahan garapan sendiri. "Kerja tani itu cuma cukup untuk makan, tidak bisa untuk lain-lain," ujar Pak Karsan, 60 tahun, yang membecak di Kampung Rawa Selatan, Jakarta Pusat. Sedangkan 11% responden, sebelum membecak, cuma jadi buruh kasar seperti kuli. Dan hampir 13% malah penganggur atau tak punya pekerjaan tetap di desa. Bagaimana kalau becak dihapus? Tentu saja sebagian besar (80%) tukang becak tak setuju. Soalnya, itu merupakan sumber penghasilan utama mereka. Tapi mereka tahu bahwa becak mau dihapus 31 Maret nanti. Hanya saja, anehnya, kebanyakan tukang becak, 37%, mengetahui rencana penghapusan becak itu baru di bulan Januari ini. Padahal, rencana itu sudah diputuskan sejak 20 tahun silam, saat Gubernur DKI Jakarta dijabat Ali Sadikin. Mungkin karena itulah 49% responden tak tahu bahwa penghapusan becak itu bukan keputusan Gubernur Wiyogo Atmodarminto. Tak heran kalau lebih dari separuh responden lantas menilai bahwa Gubernur Wiyogo tidak lebih baik ketimbang para pendahulunya. Cuma 3% responden yang mengaku sudah mengetahui rencana penghapusan becak itu 15 tahun lalu. Dari hasil angket, sebagian besar responden (76%) mengaku "tidak pernah mendapat bimbingan/penerangan dari aparat". Hanya 13% yang mengaku pernah mendapat penyuluhan. Sedangkan 5% lainnya mengaku pernah diberi tahu atau diundang, tapi tak datang. Benarkah menarik becak itu tak manusiawi? Bisa dimengerti bila 92% dari mereka tak sependapat. Sebagian besar (89%) malah menganggap melacur itu tak manusiawi (89%). Petinju bayaran, mencuri, menipu, atau korupsi juga mereka anggap tak manusiawi: Kerja kasar seperti kuli itu manusiawi (83%). Bagaimana kehidupan mereka? Tercatat, ada 28% responden yang tinggal di tempat penampungan yang disediakan juragannya. Cuma sebagian kecil yang tidurnya sembarangan, termasuk di dalam becaknya sendiri (7%). Ada yang mengontrak rumah sederhana secara rombongan (21%). Dari hasil angket, cuma 6% yang mengaku tinggal di rumah sendiri, dan 2% yang berani mengambil rumah kreditan. Benarkah becak membuat lalu lintas semrawut dan macet? Para responden tampaknya tak mau menyalahkan diri sendiri. Separuh responden menyatakan bahwa banyak pemakai jalan lain (mobil, bajaj, sepeda motor) yang belum atau tidak disiplin. Selain itu, juga karena banyak becak liar (14%), pengawasan tak ketat (13%), dan tukang becak memang sulit diatur (10%). Para responden umumnya pernah kena razia. Kesan mereka terhadap petugas yang menggaruk becak: 54% menilai para petugas itu bengis dan kasar. Tapi cukup banyak (31%) yang memahami bahwa para petugas itu hanya menjalankan tugas. Apa jalan keluarnya kalau becak dihapus di Jakarta? Harapan terbesar mereka: becak tak usah dihapus saja (42%). Ada 27% yang minta agar pemerintah menyediakan pekerjaan yang memadai, 13% minta bimbingan keterampilan. Nyaris tak ada (0,4%) tukang becak yang ingin mengikuti program transmigrasi. Namun, bila harus mengambil inisiatif sendiri, 29% responden berniat ganti profesi. Sebagian lagi tampaknya sudah mentok pikirannya, sehingga memilih pulang kampung (21%). Ada pula yang masih bernafsu mengayuh becak: 12% mau membecak di luar Kota Jakarta, dan 7% masih mau nekat -- kucing-kucingan -- di Jakarta sampai kena razia. Suhardjo Hs., Liston P. Siregar, dan Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini