SEHARI-HARI mereka bercakap-cakap memakai bahasa Bali. Bahkan lagu Pulau Bali Pulau Kahyangan hampir menjadi "lagu wajib" setiap ada acara plesiran. Harap diketahui, plesiran di sana artinya kenduri. Desa itu bernama Nan Shang. Jaraknya puluhan ribu kilometer dari Bali. Tepatnya sekitar 200 km di selatan Kota Fuzhou -- ibu kota Provinsi Fujian di negeri Cina. Selain bahasa, tanaman yang dipelihara warga di sana juga mengingatkan suasana Bali. Misalnya ada pohon belimbing, kunyit, jahe, singkong, kelor, dan delima. Tanaman-tanaman itu memang penting buat mereka. "Kunyit kan perlu kalau mau bikin kari ayam," kata Thio Lian Hwat, 42 tahun. Menurut Thio, makanan Cina totok tak cocok buat lidah warga Nan Shang, karena rasanya lebih asin. "Kalau kami lebih suka makanan yang pedas-pedas," tambah Thio. Makanan pedas-pedas ini memang tradisi yang dibawanya dari Bali. Tentu saja, yang tak pernah terlupa kalau ada plesiran adalah babi guling. Kini, sebuah plesiran besar-besaran sedang disiapkan di Nan Shang, untuk memperingati "Tiga puluh tahun tiba di Tanah Cina" yang jatuh pada 25 April 1991 mendatang. Rencananya, sejumlah warga Cina "eks Bali" yang kini menetap di Makao, Hong Kong, dan Jepang, akan diundang. Riwayat Nan Shang memang dimulai sejak 1961, ketika puluhan warga (keturunan) Cina yang berada di Bali harus kembali ke tanah leluhurnya karena ada perjanjian pemerintah RI dan Cina yang tak lagi mengakui dwikewarganegaraan (1955). Kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10/1959, yang melarang warga negara asing (khususnya Cina) berdagang di tingkat desa. Merasa terdesak, keturunan Cina di Bali itu memilih untuk angkat kaki. Kebetulan mereka ditampung di sebuah kapal berbendera Uni Soviet. "Kami berangkat dari Pelabuhan Padang Bay di Bali 25 April 1961," cerita Po Ming Siang, dengan bahasa Indonesia logat Bali. Setibanya di Daratan Cina, mereka ditempatkan di Nan Shang. Kini jumlah penduduknya, setelah hampir 30 tahun kemudian, sudah membengkak hampir lima kali lipat atau sekitar 500 jiwa. Mereka bekerja di perkebunan pemerintah. Bahasa Bali tetap mereka pertahankan. Pada sebagian generasi mudanya, bahasa Indonesia sudah menurun, namun bahasa Bali tidak. Batik pun bukan barang aneh di sana. Seorang ibu tua bernama Ang Giok Nio, yang sudah berusia 78 tahun, sering mendapat kiriman batik dari anaknya yang berdiam di Singaraja, Bali. Buat Ang, batik adalah kain bawahan yang dipakai untuk pakaian sehari-hari. "Hidup di sini tak enak, susah," keluh Ang, yang seperti juga Thio, menetap di Nan Shang sejak 1961. Ang kini mendapat uang pensiun 150 yuan per bulan (atau sekitar Rp 67.500). Barangkali itu yang membuat Tan Kok Tjuan, salah seorang warga di sana, menyimpan keinginan untuk kembali ke Indonesia. "Di Indonesia saya pasti bisa maju," kata Tan, yang meninggalkan Bali ketika masih berusia sembilan tahun. Nan Shang memang agak berbeda dengan desa lainnya di Daratan Cina, yang umumnya banyak terdapat rumah susun. Di sana hanya ada dua blok apartemen bertingkat dua yang dibangun oleh pemerintah. Selebihnya adalah rumah-rumah lepas, ya, mirip pedesaan di Bali. "Mana enak hidup di rumah susun yang bertingkat, sempit," ujar Kwen San Ban. Robin Ong dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini