Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka yang bolak-balik

Kisah perantauan cina yang sukses jadi pemain bulu tangkis. tong sin fu, 48, juara nasional rrc, kini pelatih klub bulu tangkis pelita jaya. liong chiu shia, 40, pelatih tim putri pbsi.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Mereka yang bolak-balik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SIAPA bilang hujan batu di negeri sendiri lebih enak daripada hujan emas di negeri orang? Mereka sungguh tak betah di negeri leluhurnya dan terus berupaya bisa keluar. Mereka itu adalah warga Cina perantauan di Indonesia. Karena kebijaksanaan pemerintah yang terkenal dengan PP (Peraturan Pemerintah) No. 10 tahun 1959, mereka dipulangkan ke Cina. PP 10/1959 dikeluarkan Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno, 14 Mei. Dengan peraturan itu, para perantau Cina hanya bisa berdagang di ibu kota provinsi, ibu kota karesidenan, ibu kota kabupaten, dan kota kecamatan. Terjadilah pengusiran Cina perantauan yang mencari nafkah di pedesaan. Menurut Victor Purcell dalam buku The Chinese in Southeast Asia, saat itu ada 75.410 orang pengusaha Cina di Indonesia dan sekitar 25.000 di antaranya berdagang di pedesaan. Pengusiran itu dilaksanakan dengan tegas. Awal November 1959, misalnya, terjadi kerusuhan rasial di Cibadak ketika komandan militer Jawa Barat mulai menerapkan peraturan itu. Kerusuhan ini membuat pemerintah RRC berang. Tanggal 10 Desember, Radio Peking mengajak para Cina perantauan kembali ke "kehangatan Ibu Pertiwi". Kedubes RRC di Jakarta segera mendaftar Cina perantau yang tertarik oleh ajakan itu. Ada sekitar 119.000 orang mendaftar. Namun, diperkirakan hanya 102.000 yang terangkut ke Cina. Sejak April 1960 RRC tidak sanggup lagi membiayai pengangkutan mereka. Sesampai di Daratan Cina, perlakuan bagi Cina perantau itu ternyata tak memadai. Dengan gaji dibatasi dan makan ditakar, mereka umumnya hidup dengan payah. Liauw Kwet Ping, misalnya. Ia berusaha keluar dari Cina, tapi itu bukan pekerjaan gampang. Setelah tujuh tahun menderita, Liauw akhirnya bisa keluar lewat Hong Kong dan terus menuju Bangka, tempat ia dilahirkan. Liauw, kini 65 tahun, berdagang kelontong di Pangkalpinang. Nasib lebih baik dialami oleh pelatih bulu tangkis Tong Sin Fu, kini 48 tahun. Dengan keterampilan yang dimilikinya hidupnya lebih terjamin. Dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan orangtua dan tiga saudaranya yang tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta. Ia pergi bersama rekannya Hou Chia Chang yang berasal dari Surabaya. Di RRC, karier Tong melesat dengan menjadi juara nasional. Ia memang dilatih berat, tapi hidup tenang di asrama dengan gratis dan diberi ga-ji lagi. Akan halnya Hou Chia Chang, nasibnya lebih bagus. Ho diangkat jadi anggota DPR. "Kehidupan mereka lebih enak daripada saya," kata Tong. Tong kemudian menjadi pelatih. Tahun 1979 ia diizinkan melatih di Macao. Hanya dua tahun di sana, ia dipanggil pulang untuk melatih tim putri RRC. Hasil polesannya adalah Li Lingwei dan Han Aiping. Tahun 1985, ia pindah lagi ke Macao dan menjadi warga negara setempat. Setahun kemudian, datang tawaran dari klub bulu tangkis Pelita Jaya Jakarta lewat teman lamanya, Budiman. Tong pun "pulang kampung" ke Indonesia. Tong beristrikan seorang pemain bulu tangkis Cina, namanya Lu Qing, kelahiran Yunan. Perkawinan mereka justru di Jakarta, secara Islam, di Masjid Agung Al Azhar, September 1988. Keduanya lalu mendapat nama baru, Fuad Nurhadi dan Nuraini -- walau paspor mereka masih Macao. Kisah Liong Chiu Shia, kini 40 tahun, lain lagi. Ia bukan "korban" PP 10. Pemain bulu tangkis ini pulang ke Cina pada tahun 1966 dengan tekad ingin menjadi juara dunia. Celakanya, keadaan RRC waktu itu kacau-balau dengan dijalankannya revolusi kebudayaan. Sekolah banyak yang tutup. Liong memang bisa tinggal di asrama di Hunan, kampung halamannya, tapi baru tahun 1970 ia masuk sekolah bulu tangkis. Sebagai olahragawan, Liong pun tak lepas dari tugas petani. Kalau panen tiba, murid seasrama turun ke desa untuk memotong padi, mencangkul sawah, dan menanam benih. Paling tidak, tiga kali setahun mereka tinggal di gubuk di desa. Kadang-kadang, para olahragawan ini juga harus turun ke pabrik olahraga untuk membuat pelbagai peralatan. "Di Cina semua orang mesti kerja. Latihan pun kerja, karena itu kita digaji," cerita Liong. Ketika RRC mulai membuka pintu, 1979, Liong bercita-cita kembali ke Indonesia. Alasannya, ia rindu pada keluarganya. Pucuk dicinta, kesempatan pun datang. Sewaktu ia menjadi pelatih di Hong Kong, datang tawaran dari Indonesia untuk menjadi pelatih. Namun, baru tahun 1985 ia pulang ke Indonesia dan langsung menjadi pelatih tim putri. "Lebih enak hidup di Indonesia, bisa santai," kata Liong yang setahun lalu sudah memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya. Ia adalah kakak pemain bulu tangkis Tjun Tjun. Tidak semua Cina perantauan bisa bolak-balik dengan aman. Contohnya, Liem Tiong Ping. Ia ke RRC pada tahun 1960 ikut rombongan yang terkena PP 10. Ia tak tahan di negeri leluhurnya. Empat saudaranya yang tinggal di Indonesia kemudian mencari jalan pintas: Liem dibuatkan KTP dan paspor palsu Indonesia. Celakanya, dua tahun lalu, saudara-saudaranya ini terseret ke pengadilan gara-gara rebutan harta. Dan buntutnya, ke-WNI-an Liem Tiong Ping terbongkar. Liem, yang mengaku kelahiran Banyuwangi, akhirnya dimasukkan ke karantina Imigrasi Cengkareng, menunggu deportasi. Diah Purnomowati, Liston P. Siregar, Ardian T. Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus