Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMBIL cengengesan, Jumat pekan lalu Abraham Samad mengumumkan tersangka baru kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet di Palembang. Ini memang janji dia sehari sebelumnya bahwa bakal ada "sesuatu yang menarik" yang akan ia sampaikan.
Memakai topi haji, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini ceria duduk menghadapi puluhan mikrofon dan kamera yang disemburkan para wartawan. Beberapa kali ia memberi jeda pada kalimatnya, tersenyum lebar, berbicara lagi, berhenti lagi. Wartawan yang memenuhi ruang pers di lantai 1 gedung Komisi di kawasan Kuningan itu mulai ribut.
Samad terus melempar senyum, kadang-kadang menunduk menyembunyikan muka. "Tersangkanya adalah…." Wartawan yang tak sabar kembali bergeremeng. "Inisialnya AS, Abraham Samad," katanya bergurau. Sesaat kemudian, ia serius. "Dia seorang perempuan yang sebelumnya jadi saksi. Dia memberi dan menerima janji atau hadiah."
Tak sulit menebak siapa perempuan itu: Angelina Sondakh, anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat. Puteri Indonesia 2001 ini sudah beberapa kali diperiksa KPK.
Muhammad Nazaruddin dan Rosalina Manulang, terdakwa kasus ini, berkali-kali menyebut Angelina sebagai pengatur lalu lintas miliaran uang suap untuk anggota Dewan. KPK sudah meminta Imigrasi mencegahnya pergi ke luar negeri bersama I Wayan Koster, koleganya di Demokrat dan Badan Anggaran.
Banyak menebar senyum dan melakukan jumpa pers seorang diri adalah gaya baru Ketua KPK. Penetapan Angelina merupakan hasil kerja kedua KPK yang dipimpin Samad setelah lima pekan menjabat.
Sepekan sebelumnya, Samad—juga seorang diri—mengumumkan Miranda Swaray Goeltom sebagai tersangka kasus suap cek pelawat untuk 39 anggota Dewan periode 1999-2004. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini dituding berada di balik penyuapan agar dipilih DPR duduk di jabatan prestisius itu.
Kemunculan Samad seorang diri Kamis dua pekan lalu memunculkan dugaan keretakan antarpemimpin KPK. Beberapa sumber bercerita, jumpa pers soal Miranda itu di luar rencana dan hasil rapat sehari sebelumnya. "Rapat memutuskan perlu ada gelar kasus lagi," kata sumber itu.
Dalam rapat itu, penyidik dan pemimpin KPK terbelah. Dua pemimpin KPK, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, menganggap dua bukti untuk menjerat Miranda belum terlalu kuat, sehingga perlu beberapa kali gelar kasus dengan bukti-bukti tambahan. Para penyidik setuju dengan pendapat ini.
Samad sebaliknya. Dia menilai pengakuan Miranda soal pertemuan anggota Fraksi PDI Perjuangan di Hotel Dharmawangsa dengan calon Deputi Gubernur Senior BI sebelum pemilihan adalah bukti Miranda sedang menggalang dukungan. Pertemuan itu menjelaskan motif cek-cek yang diterima anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari PDI Perjuangan.
Juga pengakuan Nunun Nurbaetie yang sudah dibenarkan Miranda. Kepada Nunun, Miranda meminta dikenalkan kepada anggota Fraksi TNI/Polri dan partai-partai Islam. Nunun dekat dengan anggota Fraksi TNI/Polri karena suaminya, Adang Daradjatun, adalah Wakil Kepala Kepolisian RI kala itu. Berkat Nunun pula, Miranda akhirnya bertemu dengan mereka dan meminta dukungan.
Rapat gelar kasus itu buntu. Tak ada kesepakatan di antara dua kubu. Bambang dan Busyro menyodorkan jalan tengah: jika tak ada bukti lain, penetapan tersangka menunggu persidangan Nunun sehingga dua bukti itu berada di bawah sumpah pengadilan dan tak bisa dicabut lagi. "Perdebatannya cukup keras," ujar sumber Tempo.
Kabar adanya friksi antarpemimpin KPK tambah mencuat ketika Akbar Faizal menyebutkan ada pertengkaran antara Samad dan Bambang-Busyro. Politikus Partai Hanura ini menyitir bunyi pesan BlackBerry yang ia terima. Isinya menyebutkan Samad menggebrak dan membanting meja hingga patah karena Busyro-Bambang tak setuju KPK menangkap Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat itu disebut-sebut menerima uang suap proyek Wisma Atlet.
Secara resmi KPK sudah menyangkal cerita Akbar. "Tak ada perpecahan pimpinan KPK. Perbedaan pendapat itu soal biasa," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P. Menurut Johan, pertengkaran dalam rapat pada 23 Januari 2012 tak pernah ada karena hari itu libur Imlek dan Samad sedang menjalankan umrah.
Kepada Tempo, Akbar menjelaskan bahwa informasi yang diterimanya berupa pesan berantai. Ia menerimanya dari seorang wartawan senior. "Saya konfirmasi kebenaran rumor itu ke orang dalam KPK," ujarnya. "Si orang dalam," kata bekas wartawan majalah bisnis SWA ini, membenarkan info itu.
Kabar yang diembuskan Akbar ini sempat jadi polemik. Tak ingin keadaan semakin keruh, Akbar bertamu ke KPK ditemani Fahmi Idris, bekas Menteri Perindustrian, dan sepuluh orang lain, Senin pekan lalu. Dari KPK hadir Bambang, Samad, Wakil Ketua KPK Zulkarnain, dan Johan Budi.
Dalam pertemuan itu, Akbar mengulang ceritanya. Tapi ia hanya menyebut sumber yang dikonfirmasinya sebagai "orang dalam". "Jika informasi saya salah, maka saya salah, saya minta maaf."
Bambang menjawab bahwa cerita itu tak benar. Ia menyebut Samad sebagai saudaranya. Sepanjang pertemuan, keduanya kerap berbisik dan Bambang menepuk serta mengusap punggung Samad. "Lagi pula meja di KPK itu kuat-kuat, lo," katanya. Namun ia mengakui bahwa dalam rapat sering ada perbedaan pendapat yang tajam. "Tapi itu kan wajar saja."
Menurut Bambang, komisioner KPK yang baru dihadapkan pada kasus-kasus lama yang tak terpecahkan. Mereka kini berfokus mengungkai kasus-kasus itu seraya terus mengendus kasus besar yang menyita perhatian orang banyak, seperti kasus Wisma Atlet dan cek pelawat. "Kami harus bekerja ekstra karena tekanan publik begitu kuat," ujarnya.
Tekanan publik inilah, kata Bambang, yang kerap membuat posisi pimpinan dilematis sehingga muncul perbedaan pendapat yang tajam. Sebab, KPK tak punya mekanisme membatalkan perkara yang sudah ada tersangkanya. Karena itu, menurut Bambang, KPK kini mengubah metode menjerat para koruptor.
Metode itu adalah menjadikan kesaksian di bawah sumpah di pengadilan sebagai alat bukti untuk menjerat para tersangka korupsi. Tuduhan sangat bisa dipatahkan, kata Bambang, jika baru tertera di berkas penyidikan. Dalam banyak kasus, di pengadilan, para saksi mencabut pengakuan itu.
Meski tak menyebut secara spesifik kasus Miranda, penjelasan Bambang mengkonfirmasi perbedaan pendapat antarpemimpin KPK itu menyangkut soal bukti dan metode penyidikan kasus. "Pak Samad yang terlalu buru-buru. Mungkin masih terpengaruh gaya LSM," ujar seorang sumber. Sebelum terpilih sebagai Ketua KPK, Samad adalah pengacara merangkap aktivis antikorupsi di Makassar.
Kepemimpinan Samad berbeda dengan kerja KPK periode sebelumnya. Di zaman Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, kata seorang sumber, bukti-bukti ditimbang bolak-balik sebelum sampai pada keputusan menetapkan seseorang sebagai tersangka. "Sekarang seperti memakai jurus dewa mabuk."
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo