Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Buruh</font><br />Setelah Nasi Uduk dan Pesan Pendek

Aksi ribuan buruh menutup pintu jalan tol berhasil menaikkan upah minimum. Bupati Bekasi dicurigai memanfaatkannya untuk meraup suara.

6 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Sa'duddin tersebar dari ujung ke ujung di sekujur Kabupaten Bekasi. Ia tersenyum di baliho berukuran 3 x 4 meter yang dipasang sejak dua bulan lalu. Berlatar warna putih, Sa'duddin menunjukkan sepuluh pencapaian program selama ia menjabat bupati, sejak 2006.

Pada butir kedelapan tercantum: "upah minimum tenaga kerja di Bekasi menjadi tertinggi di Jawa Barat". Di bawah program-program itu, ada slogan "Bersama Lanjutkan Membangun Bekasi". Sa'duddin, yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera, berencana ikut lagi dalam pemilihan Bupati Bekasi, yang akan digelar Maret 2012.

Tak pelak, baliho itu dituding sebagai kampanye dini. Para pengusaha di Bekasi menilai Sa'duddin sedang membidik suara buruh. "Ada 600 ribu buruh di Bekasi yang bisa diambil suaranya untuk pemilihan," kata Woeryono, Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bekasi, Kamis pekan lalu.

Tuduhan para pengusaha ini kian bulat setelah Bekasi lumpuh selama 12 jam pada 27 Januari lalu. Sebanyak 200 ribu buruh keluar dari 5.000 pabrik dan memblokade jalan tol Cikarang Utama 1 hingga tol Cibitung di kilometer 30 jalan tol Cikampek.

Dari jumlah itu, 80 ribu orang berdemonstrasi di tujuh titik kawasan industri yang menjadi akses lalu lintas ke jalan tol Cikampek: Lippo Cikarang, Hyundai, EJIP, MM2100, Jababeka, Delta Silicon, dan Gobel. Praktis jalan tol tak bisa dilewati pada hari itu. Kemacetannya mengular hingga Cawang di Jakarta Timur.

Para pekerja ini tergabung dalam Buruh Bekasi Bergerak. Mereka menuntut Apindo mencabut gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Awal Januari lalu, Apindo menggugat keputusan Gubernur Jawa Barat yang menaikkan upah minimum Kabupaten Bekasi dari Rp 1.286.421 menjadi Rp 1.491.866.

Menurut Apindo, kenaikan Rp 200 ribu itu membebani kas perusahaan. Padahal angka itu merupakan kesepakatan tripartit: pemerintah kabupaten, pengusaha, dan serikat pekerja. Kesepakatan dihasilkan pada 14 November 2011 setelah 30 kali rapat, sejak Maret 2011. Hanya, ketika akan dilakukan voting, perwakilan Apindo walk out dan tak memberi suara.

Angka itu sebetulnya cukup moderat. Sebab, angka yang disodorkan pengusaha hanya Rp 1.324.778, sementara permintaan buruh jauh di atas itu, dengan meminta upah Rp 2.247.000. Satu sumber di Apindo menyatakan, keluarnya perwakilan dari rapat yang digelar di kantor Jamsostek di Alun-alun Bekasi itu karena sudah merasa akan kalah jika voting dilakukan.

Pemerintah, yang diwakili Dewan Pengupahan Kabupaten, memang punya anggota14 orang, dua kali lipat jumlah wakil buruh ataupun pengusaha. "Apindo menilai pemerintah tak punya alasan menetapkan Rp 1,4 juta," kata Koordinator Buruh Bekasi Bergerak Obon Tabroni, yang ikut dalam rapat itu.

Perundingan pun dilanjutkan tanpa kehadiran Apindo. Sejam kemudian, kesepakatan dicapai melalui voting, dan dimenangi pemerintah. Pengambilan keputusan dengan voting ini merupakan kesepakatan awal jika musyawarah tak tercapai.

Apindo memilih menempuh jalur hukum lewat gugatan ke pengadilan. Obon, Bari Silitonga, dan Sutrisno, yang mewakili serikat buruh Bekasi, meminta Apindo Bekasi mencabut gugatan. Apindo diwakili Woeryono, Soetomo, dan Darwoto. Pertemuan di Hotel Grand Sahid, Jakarta, itu menghasilkan kesepakatan: Apindo akan mencabut gugatan.

Tapi, belum juga gugatan dicabut, Woeryono dan Soetomo diskors dari Apindo. Soal negosiasi upah minimum ditangani langsung oleh Dewan Pengurus Nasional Apindo. "Supaya kebijakannya bisa menyeluruh," kata seorang pengusaha.

Apindo tak kunjung memenuhi janji hingga 26 Januari. Besoknya, ratusan ribu buruh turun ke jalan dan memblokade jalan tol. Meski tak ada angka pasti, Apindo memperkirakan kerugian industri akibat demonstrasi itu mencapai ratusan miliar rupiah.

l l l

JUMAT pagi, 27 Januari lalu, menjadi hari yang sangat sibuk bagi Obon Tabroni. Pagi-pagi sekali ia sudah nongkrong di tempat parkir pabrik sepeda motor Kymco di Jalan Kruing I, kawasan industri Lippo Cikarang. Bersama sepuluh temannya aktivis Buruh Bekasi Bergerak, ia memelototi tiga laptop, empat BlackBerry, dan puluhan telepon seluler.

Sambil menyantap nasi uduk, tempe goreng, dan teh manis hangat, Obon mengontak buruh lain melalui perangkat canggih itu. Ia mengabarkan titik-titik yang mesti dikuasai dan ke mana saja aliran buruh digerakkan. "Kami punya 500 koordinator lapangan," katanya.

Sepekan sebelumnya, para koordinator ini sudah mengabarkan aksi itu kepada semua buruh. Caranya dengan meminta para buruh mendaftarkan diri mengikuti unjuk rasa lewat pesan pendek ke nomor 087870030789. Dari data itu, Obon tahu jumlah pendemo yang pasti akan turun ke jalan karena membalas pengumuman yang ia kirim. Selain menggunakan SMS, Obon memakai Facebook untuk mengabarkan aksi besar buruh Bekasi.

Tepat pukul 09.00, para buruh yang kebagian shift kerja pukul 07.00-16.00 diperintahkan keluar dari pabrik. Koordinator lapangan kebagian tugas sweeping dari pabrik ke pabrik. "Untuk memastikan tak ada buruh yang masih bekerja," kata Obon.

Sore harinya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan memanggil Obon, Bupati Bekasi Sa'duddin, Gubernur Jawa Barat Ahmad ­Heryawan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, serta Ketua Apindo Bidang Pengupahan Hariyadi Sukamdani untuk membicarakan masalah ini. Empat jam berunding, menjelang tengah malam, rapat ditutup dengan kesepakatan Muhaimin akan membereskan mekanisme pengupahan secara nasional.

Sehari setelah rapat itu, Gubernur Jawa Barat meneken upah buruh yang dibawa Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi. Buruh Bekasi kini dibayar paling sedikit Rp 1.491.000. "Sekarang kami tinggal mengawasi perusahaan mana yang belum mengikuti keputusan gubernur itu," kata Obon.

l l l

DI depan 400 tamu, Sofjan Wanandi meradang terhadap aksi buruh itu. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia ini sedang berpidato membuka perayaan ulang tahun organisasinya di Ballroom Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Hadir dalam acara itu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. "Bulan Maret itu pilkada," ujar Sofjan. "Katanya, kalau Bupati menang lagi, dia akan menaikkan upah minimum. Ini tak benar. Kok, begitu?"

Sofjan terang-terangan menuduh Sa'duddin menunggangi soal upah minimum ini untuk kepentingan politiknya meraih dukungan buruh. Baliho yang dijawab dengan demo besar itu dinilai Sofjan sebagai bagian dari rangkaian kampanye Bupati Bekasi agar terpilih lagi untuk periode kedua. "Demo dipakai untuk mencapai apa yang mereka mau," kata Sofjan.

Sa'duddin menyangkal jika keputusannya menaikkan upah minimum buruh di daerahnya disebut sebagai kampanye. Menurut dia, kenaikan upah menjadi Rp 1,4 juta merupakan hasil kesepakatan tripartit yang disetujui Gubernur Jawa Barat, sesuai dengan mekanisme penetapan upah. "Gubernur juga langsung setuju," katanya.

Fanny Febiana (Jakarta), Hamluddin (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus