Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia atau Persepi telah memeriksa dua lembaga survei yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia ihwal pelaksanaan riset tingkat elektabilitas tiga pasangan calon gubernur di Pilkada Jakarta. Hasil riset kedua lembaga itu mengalami perbedaan signifikan secara statistik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Dewan Etik Persepi, Asep Saefuddin mengatakan bahwa tujuan penyelidikan terhadap kedua lembaga survei itu untuk mencari tahu penyebab terjadinya perbedaan hasil survei. Selain itu, penyelidikan dilakukan untuk mengidentifikasi adanya kesalahan serta pelanggaran dalam proses pelaksanaan survei sampai perilisan hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LSI dan Poltracking Indonesia diperiksa secara tatap muka dalam waktu yang berbeda. LSI diperiksa pada Senin, 28 Oktober 2024, sedangkan Poltracking Indonesia dipanggil sehari setelahnya.
"Setelah pemeriksaan tatap muka, Dewan Etik meminta kedua lembaga untuk menyampaikan keterangan tambahan secara tertulis yang dikirimkan pada 31 Oktober 2024," kata Asep dalam keterangannya pada Senin, 4 November 2024.
Dari dua pemeriksaan itu, Dewan Etik Persepi kembali meminta keterangan lanjutan dari Poltracking Indonesia lantaran keterangan yang diberikan lembaga survei itu dianggap belum cukup memenuhi standar pemeriksaan. Pemanggilan lanjutan terhadap Poltracking Indonesia dilakukan pada Ahad, 3 November 2024.
Sebaliknya, Dewan Etik Persepi tak memanggil LSI karena hasil pemeriksaan saat tatap muka dan keterangan tertulis telah memenuhi standar penyelidikan survei. "Lembaga Survei Indonesia telah melakukan survei sesuai dengan SOP survei opini publik," ujarnya.
Asep mengatakan, bahwa metode dan implementasi survei yang dilakukan LSI bisa dianalisis dengan baik. Sementara itu, katanya, Dewan Etik Persepi tidak bisa menilai pelaksanaan survei yang dilakukan Poltracking Indonesia sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku atau belum.
Terlebih lagi, ujarnya, survei Poltracking Indonesia tidak memiliki kepastian perihal data yang harus dijadikan dasar penilaian. Selain itu, Asep berujar pihaknya tak bisa memverifikasi kesahihan implementasi metodologi survei opini publik yang dilakukan Poltracking Indonesia.
"Karena adanya perbedaan dari dua data set yang telah dikirimkan," kata Asep.
Saat pemeriksaan pertama secara tatap muka, Poltracking Indonesia disebut tidak mampu menunjukkan data asli 2.000 sampel responden dalam surveinya itu. Dia mengatakan, lembaga survei itu berdalih data aslinya sudah dihapus dari server karena keterbatasan penyimpanan data.
Poltracking Indonesia juga tidak melampirkan raw data asli terhadap 2.000 sampel dalam penyampaian keterangan tertulis. Asep berujar pihaknya sempat bertanya perihal data set asli yang dipakai Poltracking Indonesia, yaitu pada 2 November 2024.
"Namun Poltracking Indonesia juga belum bisa menjelaskan dan menunjukkan data asli raw data 2.000 sampel," ujarnya.
Asep mengatakan, lembaga survei Poltracking Indonesia kembali berdalih data 2.000 sampel itu telah dihapus dari server. Pada 3 November 2024, Dewan Etik menerima raw data dari Poltracking Indonesia, setelah mengklaim data yang terhapus itu berhasil dipulihkan.
Terhadap kedua data itu, kata Asep, Dewan Etik Persepi melakukan perbandingan. "Ditemukan banyaknya perbedaan antara data awal yang diterima sebelum pemeriksaan dan data terakhir yang diterima pada 3 November 2024," ucapnya.
Perbedaan kedua data itu membuat Dewan Etik tidak memiliki cukup bukti untuk menentukan survei yang dilakukan Poltracking Indonesia perihal tingkat elektabilitas di Pilgub Jakarta telah memenuhi prosedur atau belum. Poltracking Indonesia, ujarnya, juga tidak dapat menjelaskan ketidaksesuaian sampel valid sebesar 1.652 dengan 2.000 data sampel yang dirilis ke publik.
"Tidak adanya penjelasan yang memadai membuat Dewan Etik tidak bisa menilai kesahihan data," ucap Asep.