HAMPIR serempak hadirin berteriak, ''Hidup SBSI ... hidup Pancasila ....'' Lalu seorang di antara mereka maju, membacakan memorandum. Intinya: menuding pelarangan itu tak sah, dan mereka akan menggugat Pemerintah secara hukum. Sekitar 200 hadirin menyanyikan Padamu Buruh, mirip lagu Padamu Negeri, dengan mengubah kata negeri menjadi buruh. Selanjutnya, sekitar 40 polisi dan tentara berbaju preman membubarkan acara. Maka, kongres Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) itu, yang menurut rencana berlangsung tiga hari di Hotel Lembah Nyiur, Cisarua, Bogor, usai sebelum dibuka. Padahal, acara singkat Jumat pekan lalu itu dihadiri sejumlah diplomat asing, seperti Greg Talcott dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Peter Roggero dari Kedutaan Besar Australia, serta Herman van der Laan, pejabat Organisasi Buruh Internasional (ILO). Sekitar 200 peserta yang berdatangan dari seluruh Indonesia datang dengan biaya sendiri terpaksa pulang kampung. Tentu saja Muchtar Pakpahan, Ketua Umum SBSI, kecewa karena Pemerintah tak mengizinkan kongres, padahal organisasinya sudah menjadi anggota Konfederasi Buruh Bebas Internasional (ICFTU). ''Sementara SPSI ditolak,'' kata Muchtar, pengacara buruh itu, kepada Robby Darmawan Lubis dari TEMPO. SPSI, itulah soalnya. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia itu sampai kini merupakan satu-satunya organisasi buruh yang diakui Pemerintah walau banyak kaum pekerja yang merasa organisasi itu tak memadai, dirasakan lebih sebagai alat pengusaha atau penguasa. Maka, muncul upaya membentuk organisasi buruh yang lebih independen. Tokoh hak asasi manusia, H.J.C. Princen, misalnya, membentuk Serikat Buruh Merdeka Setiakawan. SBSI yang dipimpin Munchtar itu merupakan sempalan serikat buruh bentukan Princen. Muchtar mengaku, SBSI mempunyai sekitar 36.000 anggota dengan 79 cabang. Tapi Pemerintah tetap menghalangi terbentuknya organisasi buruh selain SPSI. Karena itu, antara lain, Indonesia sering mendapat kecaman internasional. Indonesia, misalnya, terancam penghapusan tarif istimewa perdagangan, GSP, dari Amerika Serikat. Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini