SEPERTI yang dijanjikannya, Sudomo Snin pagi itu membeberkan
kasus Karangtalun setelah diperiksa Opstib. Kesimpulannya:
pengungkapan kembali kasus yang sudah dianggap selesai setahun
lalu itu "ada kaitannya dengan akan berakhirnya masa jabatan
Bupati Cilacap Mei ini, dan adanya interess, baik yang bersitat
pribadi ataupun golongan."
Kasus Karangtalun ramai setelah beberapa warga Karangtalun
(Cilacap) Maret lalu mengadu ke DPR setelah sebelumnya mengadu
ke Opstibpus. Rakyat merasa dirugikan. Tanah mereka dibeli
Panitia Pembebasan Tanah untuk pembangunan pabrik semen PT Semen
Nusantara seharga rata-rata Rp 637/mÿFD sedang PT ini ternyata
membayar pada panitia Rp 1950/mÿFD.
Menurut keterangan pers Kopkamtib, ada perbedaan pengertian
mengenai ganti rugi tanah. Masyarakat menganggap harga tanah
Rp 1950/mÿFD. Sedang menurut panitia, harga itu termasuk ongkos
pembuatan jalan, pengurugan, pemadatan, biaya administrasi
dan penyelesaian sertifikat. Ganti rugi yang diterima rakyat
adalah setelah dikurangi biaya itu.
Diungkapkan juga salah seorang diantara pelapor, S.A. (Said
Aldjaidi) tak ada sangkut pautnya dengan tanah yang
dipermasalahkan, bahkan tak mempunyai tanah yang terkena
pembebasan. Bahkan ia diragukan kewarganegaraannya. Menurut
Departemen Kehakiman ia lahir di Tegal, tapi berdasar
pemeriksaan Kejaksaan Negeri Cilacap ia lahir di Hadramaut.
Orang itu kini lagi dicari. Tapi Opstibpus berkesimpulan dialah
yang membiayai semua perjalanan bagi para pelapor sewaktu berada
di Jakarta.
Ungkap Opstibpus lagi: pelapor yang bernama S.P. adalah eks
anggota PKI dan pada pemilu 1971 tidak diperkenankan memilih.
Kesimpulan penelitian: pembebasan tanah untuk pembangunan pabrik
semen PT Semen Nusantara dilaksanakan sesuai prosedur yang
berlaku dan tidak ditemukan manipulasi atau penyelewengan.
Hingga pengaduan kasus ini ke DPR adalah "dipolitikkan."
Betulkah semua kesimpulan Opstibpus itu? Sayang Said Aldjaidi
tidak bisa ditemui. Orang ini tampaknya cukup dlkenal para
pejabat Cilacap. Konon ia pernah dekat dengan beberapa pejabat
tinggi, hingga dikabarkan pernah membantu Opstibda waktu
memeriksa Sunu dkk. Sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Cilacap
mengatakan, Said diperiksa karena dituduh memalsukan paspor.
Benarkah ia yang membiayai Sunu dkk? Sunu membantah. "Walau
mendapat mandat dari warga desa, tapi saya dan teman-teman tidak
berani minta iuran. Karena toh belum tentu hasilnya."
Sunuwardoyo, 43 tahun, guru SD dan anggota Golkar Karangtalun
dan Suparman 28 Maret lalu memang diperiksa Kepala Kejaksaan
Negeri Cilacap Burhanudin yang dihadiri dan direkam Kepala Sub
Direktorat Sospol Pemda Cilacap Hendrik. Sunu pada 10 April lalu
musti berurusan pula dengan Kepala Kanwil P&K Kecamatan Cilacap
untuk menjelaskan kepergiannya ke Jakarta yang berkali-kali.
Semua ini membuat Sunu dkk tidak tenang. "Yah, kami rakyat
kecil. Kami sekarang sedang diteropong terus untuk dicari
kelemahannya. Maka kami menghimbau DPR Pusat segera turun
tangan," katanya pada TEMPO pekan lalu.
Tentang tuduhan bahwa Suparman (S.P.), 67 tahun, pensiunan guru
adalah eks anggota PKI tampaknya disimpulkan dari hasil
pemeriksaan oleh seorang petugas Opstibpus 22 April lalu.
"Bukankah saudara dulu terlibat PKI?" tanya pemeriksa. Suparman
membantah, lalu ceritanya: Anaknya, Utomo, memang pernah jadi
anggota PGRI nonvaksentral/PKI, sementara dia sendiri PGRI yang
resmi. Pada 1964 anaknya keluar dari organisasinya. Dia sendiri
tetap anggota PDI. "Memang banyak orang menuduh saya terlibat
dengan Anak saya, padahal haluan berbeda," kata Suparman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini