Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengaduan Di Kedai Kopi

Anggota DPR, Abdullah eteng setelah sebulan berada di Sum-Ut, membuat laporan tentang manipulasi tanah di desa along bombon & penangkapan 8 petani di Tebing Tinggi, Pangkopkamtib membantah. (nas)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA DPR jangan terburu-buru mengeluarkan pernyataan yang sifatnya memvonis, bersikap sok tahu, apalagi asal bunyi, hingga menimbulkan suasana yang kurang harmonis. Sekali lagi saya menghimbau agar para anggota DPR yang terhormat jangan buru-buru kasih komentar. Cek dulu. Itu hanya cari popularitas murahan saja." Omongan bernada keras ini diucapkan Pangkopkamtib Sudomo Senin pagi lalu dalam suatu konperensi pers. Pemerintah dan DPRD, kata Sudomo, gunanya untuk melayani masyarakat dan menyelesaikan masalahnya secara tuntas. "Kalau tidak dimanfaatkan, ya bubarkan saja." Lho, kenapa? "Habis, mestinya kan melapor dulu ke daerah, jangan terus mem-by pass langsung ke DPR," lanjut Pangkopkamtib. Salah satu kesibukan Pangkopkamtib belakangan ini adalah membantah beberapa pernyataan anggota DPR tentang kasus yang diadukan rakyat. Salah satu laporan penangkapan 8 petani penggarap di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang diungkapkan anggota DPR Abdullah Eteng 3 pekan lalu. Menurut Eteng, 8 petani ini telah ditangkap bahkan dipukuli dengan tuduhan telah melakukan penggarapan liar atas tanah hak guna usaha Perkebunan Paya Mabar. Tapi menurut Sudomo, 8 petani itu hanya didengar keterangannya serta diperingatkan karena menanam pisang di bawah pohon karet. "Kalau beliau lebih dulu melakukan pengecekan, tentu tidak terjadi gambaran yang salah," kata Sudomo menyesalkan Eteng. Diakuinya Eteng baru saja meninjau daerah itu, "tapi bisa saja dia belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya." Tapi komentar dari DPR memperkuat Eteng. "Tidak mungkin saudara Abdullah Eteng membuat laporan yang tidak benar," bantah Wakil Ketua Komisi II DPR Sabam Sirait. Masalah tanah ini sudah pernah dibicarakan dalam Komisi II dan Eteng memang ditugaskan untuk menangani masalah tersebut. "Sampai sekarang Eteng masih ada di Sumatera Utara, yang merupakan daerah pemilihannya," kata Sabam pekan lalu. Kedai Kopi Eteng memang sebulan lebih ada di Sumatera Utara. Dan sibuk. Pada 19 April lalu misalnya, ia mengunjungi Alang Bombon, Kecamatan Pulau Rakyat, Kabupaten Asahan. Mampir di sebuah kedai kopi, penduduk desa mengerumuninya sambil mengadu. "Pak, tolonglah kami, tanah di sini habis dijual pada Cina," keluh seseorang. "Kami terpaksa terus bertahan karena tanah inilah hidup mati kami," sambung yang lain. Apa yang terjadi? Desa Alang Bombon luasnya sekitar 3000 Ha dengan penduduk lebih kurang 6000 jiwa yang sebagian hidup sebagai petani atau berkebun karet. Ketenteraman penduduknya hilang setelah pemerintah membangun kanal di desa tetangganya, Bangun, pertengahan 1978 lalu. Akibatnya: sebagian areal desa Alang Bombon yang biasanya terendam sungai Asahan kini kering, dan merupakan tanah pertanian yang bagus. Ternyata bukan rahmat yang datang tapi banyak orang terutama pengusaha non pribumi dari Aek Kenopan, Tanjung Balai dan Kisaran yang melirik tanah ini. Dan celakanya, camat setempat ternyata membantu niat mereka ini, hingga ratusan hektar tanah kini telah berhasil dikuasai. Tanpa berembug dengan penduduk, pak camat ternyata telah menjual tanah penduduk. Termasuh tanah penduduk yang telah memiliki sertifikat hak milik atau surat pancang yang dikeluarkan lurah dan camat. Sejak Oktober 1978 traktor para pengusaha baru tanah ini mulai bergerak meratakan tanah dan menggilas tanaman penduduk. "Malah gubug penduduk pun sempat dibakar," ujar Nurdin, Ketua HKTI Kabupaten Asahan pada TEMPO. Bagaimana semua itu mungkin? "Perusahaan kami sudah membayar Rp 11 juta pada pak Camat," tutur Ismail Nasution, pengawas Toko Andalas di Aek Kenopan. "Pokoknya kami terima beres saja, soal lain kami tidak tahu," kata Chong Hui, pemilik toko yang sama pada wartawan TEMPO Amran Nasution. Kepala Desa Alang Bombon sendiri, Karsono, membantah menerima duit para pengusaha itu. "Mereka semua berurusan dengan pak Camat," ujarnya mengelak. Camat Pulau Rakyat, T.M. Idris yang ditemui TEMPO menolak memberi komentar kecuali mengatakan: "Tuduhan itu ada yang benar, ada yang salah." Rumah Idris sendiri belakangan ini dikerumuni penduduk tiap malam. Bukan apa-apa. Tapi televisi berwarna yang menghiasi rumah camat ini memang masih dianggap barang aneh bagi rakyat setempat. Parang Mengadu ke atas? Menurut cerita A. Rangkuti, Komisaris Golkar Kecamatan Pulau Rakyat, sudah berulangkali mereka melaporkan tindakan Camat dan Kepala Desa ini pada pimpinan DPRD Asahan maupun Golkar. Tapi tanpa hasil. Memang beberapa anggota DPRD Asahan pada 29 Maret lalu meninjau ke sana, tapi menurut Rangkuti mereka hanya menemui Camat kemudian makan di rumah Kepala Desa. "Bagaimana mereka bisa tahu permasalahannya kalau begitu," katanya. Sementara rakyat yang gelisah sering mencegat traktor yang menggilas tanah mereka dengan parang, para tauke ada yang menggunakan oknum ABRI untuk mengawal pentraktoran ini. Lebih celaka lagi, 4 orang wartawan Kisaran yang sempat meninjau desa ini, pulang tanpa hasil berita, tapi kabarnya malah menuntut pembagian tanah. "Pak Camat sudah membagi tanah pada bapak-bapak wartawan itu," cerita Karsono, si kepala desa. Karuan saja, melihat dan mendengar semua ini membuat gusar Abdullah Eteng. "Saya akan minta Opstib agar menindak Kepala Desa dan Camat yang telah memanipulasi tanah itu," janji Eteng di depan penduduk. Bekas Bupati di Asahan, Tanah Karo dan Deli Serdang yang kini menjadi anggota DPR ini gesit juga. Pada 21 April ia bettemu dengan Bupati Asahan dan pimpinan DPRD setempat. Hasilnya: esoknya, hari Minggu, keluar surat perintah Bupati yang membekukan semua kegiatan atas areal sengketa Alang Bombon. Surat perintah keluar hari Minggu? "Hari Minggu kan tidak ada salahnya," ujar A. Badit, Kepala Sub Direktorat Agraria Asahan. "Daripada rakyat sampai bacok-bacokan kan lebih baik kita bertindak," sambung A. Halil Nasution, Wakil Ketua DPRD Asahan. Menurut Eteng, kasus Alang Bombon adalah konsekwensi logis dari sistim pemerintahan sekarang. Maksudnya kontrol terhadap camat dan kepala desa sekarang tidak efektif. "Dulu main sedikit saja mereka sudah dihantam parpol," katanya. Yang mengejutkan Eteng setelah meninjau beberapa kabupaten banyak camat yang kaya raya. Di Labuhan Batu ada camat yang memiliki kebun sampai ratusan hektar. Ada anggota DPRD tingkat I Sumatera Utara yang rupanya tidak mau kalah, menguasai sekitar 300 ha tanah di Kecamatan Sungai Kepayang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus