ANGGOTA DPR jangan terburu-buru mengeluarkan pernyataan yang
sifatnya memvonis, bersikap sok tahu, apalagi asal bunyi, hingga
menimbulkan suasana yang kurang harmonis. Sekali lagi saya
menghimbau agar para anggota DPR yang terhormat jangan buru-buru
kasih komentar. Cek dulu. Itu hanya cari popularitas murahan
saja."
Omongan bernada keras ini diucapkan Pangkopkamtib Sudomo Senin
pagi lalu dalam suatu konperensi pers. Pemerintah dan DPRD, kata
Sudomo, gunanya untuk melayani masyarakat dan menyelesaikan
masalahnya secara tuntas. "Kalau tidak dimanfaatkan, ya bubarkan
saja." Lho, kenapa? "Habis, mestinya kan melapor dulu ke daerah,
jangan terus mem-by pass langsung ke DPR," lanjut Pangkopkamtib.
Salah satu kesibukan Pangkopkamtib belakangan ini adalah
membantah beberapa pernyataan anggota DPR tentang kasus yang
diadukan rakyat. Salah satu laporan penangkapan 8 petani
penggarap di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang diungkapkan
anggota DPR Abdullah Eteng 3 pekan lalu. Menurut Eteng, 8 petani
ini telah ditangkap bahkan dipukuli dengan tuduhan telah
melakukan penggarapan liar atas tanah hak guna usaha Perkebunan
Paya Mabar.
Tapi menurut Sudomo, 8 petani itu hanya didengar keterangannya
serta diperingatkan karena menanam pisang di bawah pohon karet.
"Kalau beliau lebih dulu melakukan pengecekan, tentu tidak
terjadi gambaran yang salah," kata Sudomo menyesalkan Eteng.
Diakuinya Eteng baru saja meninjau daerah itu, "tapi bisa saja
dia belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya."
Tapi komentar dari DPR memperkuat Eteng. "Tidak mungkin saudara
Abdullah Eteng membuat laporan yang tidak benar," bantah Wakil
Ketua Komisi II DPR Sabam Sirait. Masalah tanah ini sudah pernah
dibicarakan dalam Komisi II dan Eteng memang ditugaskan untuk
menangani masalah tersebut. "Sampai sekarang Eteng masih ada di
Sumatera Utara, yang merupakan daerah pemilihannya," kata Sabam
pekan lalu.
Kedai Kopi
Eteng memang sebulan lebih ada di Sumatera Utara. Dan sibuk.
Pada 19 April lalu misalnya, ia mengunjungi Alang Bombon,
Kecamatan Pulau Rakyat, Kabupaten Asahan. Mampir di sebuah kedai
kopi, penduduk desa mengerumuninya sambil mengadu. "Pak,
tolonglah kami, tanah di sini habis dijual pada Cina," keluh
seseorang. "Kami terpaksa terus bertahan karena tanah inilah
hidup mati kami," sambung yang lain.
Apa yang terjadi? Desa Alang Bombon luasnya sekitar 3000 Ha
dengan penduduk lebih kurang 6000 jiwa yang sebagian hidup
sebagai petani atau berkebun karet. Ketenteraman penduduknya
hilang setelah pemerintah membangun kanal di desa tetangganya,
Bangun, pertengahan 1978 lalu. Akibatnya: sebagian areal desa
Alang Bombon yang biasanya terendam sungai Asahan kini kering,
dan merupakan tanah pertanian yang bagus.
Ternyata bukan rahmat yang datang tapi banyak orang terutama
pengusaha non pribumi dari Aek Kenopan, Tanjung Balai dan
Kisaran yang melirik tanah ini. Dan celakanya, camat setempat
ternyata membantu niat mereka ini, hingga ratusan hektar tanah
kini telah berhasil dikuasai. Tanpa berembug dengan penduduk,
pak camat ternyata telah menjual tanah penduduk. Termasuh tanah
penduduk yang telah memiliki sertifikat hak milik atau surat
pancang yang dikeluarkan lurah dan camat. Sejak Oktober 1978
traktor para pengusaha baru tanah ini mulai bergerak meratakan
tanah dan menggilas tanaman penduduk. "Malah gubug penduduk pun
sempat dibakar," ujar Nurdin, Ketua HKTI Kabupaten Asahan pada
TEMPO.
Bagaimana semua itu mungkin? "Perusahaan kami sudah membayar Rp
11 juta pada pak Camat," tutur Ismail Nasution, pengawas Toko
Andalas di Aek Kenopan. "Pokoknya kami terima beres saja, soal
lain kami tidak tahu," kata Chong Hui, pemilik toko yang sama
pada wartawan TEMPO Amran Nasution. Kepala Desa Alang Bombon
sendiri, Karsono, membantah menerima duit para pengusaha itu.
"Mereka semua berurusan dengan pak Camat," ujarnya mengelak.
Camat Pulau Rakyat, T.M. Idris yang ditemui TEMPO menolak
memberi komentar kecuali mengatakan: "Tuduhan itu ada yang
benar, ada yang salah." Rumah Idris sendiri belakangan ini
dikerumuni penduduk tiap malam. Bukan apa-apa. Tapi televisi
berwarna yang menghiasi rumah camat ini memang masih dianggap
barang aneh bagi rakyat setempat.
Parang
Mengadu ke atas? Menurut cerita A. Rangkuti, Komisaris Golkar
Kecamatan Pulau Rakyat, sudah berulangkali mereka melaporkan
tindakan Camat dan Kepala Desa ini pada pimpinan DPRD Asahan
maupun Golkar. Tapi tanpa hasil. Memang beberapa anggota DPRD
Asahan pada 29 Maret lalu meninjau ke sana, tapi menurut
Rangkuti mereka hanya menemui Camat kemudian makan di rumah
Kepala Desa. "Bagaimana mereka bisa tahu permasalahannya kalau
begitu," katanya.
Sementara rakyat yang gelisah sering mencegat traktor yang
menggilas tanah mereka dengan parang, para tauke ada yang
menggunakan oknum ABRI untuk mengawal pentraktoran ini. Lebih
celaka lagi, 4 orang wartawan Kisaran yang sempat meninjau desa
ini, pulang tanpa hasil berita, tapi kabarnya malah menuntut
pembagian tanah. "Pak Camat sudah membagi tanah pada bapak-bapak
wartawan itu," cerita Karsono, si kepala desa.
Karuan saja, melihat dan mendengar semua ini membuat gusar
Abdullah Eteng. "Saya akan minta Opstib agar menindak Kepala
Desa dan Camat yang telah memanipulasi tanah itu," janji Eteng
di depan penduduk. Bekas Bupati di Asahan, Tanah Karo dan Deli
Serdang yang kini menjadi anggota DPR ini gesit juga. Pada 21
April ia bettemu dengan Bupati Asahan dan pimpinan DPRD
setempat. Hasilnya: esoknya, hari Minggu, keluar surat perintah
Bupati yang membekukan semua kegiatan atas areal sengketa Alang
Bombon. Surat perintah keluar hari Minggu? "Hari Minggu kan
tidak ada salahnya," ujar A. Badit, Kepala Sub Direktorat
Agraria Asahan. "Daripada rakyat sampai bacok-bacokan kan lebih
baik kita bertindak," sambung A. Halil Nasution, Wakil Ketua
DPRD Asahan.
Menurut Eteng, kasus Alang Bombon adalah konsekwensi logis dari
sistim pemerintahan sekarang. Maksudnya kontrol terhadap camat
dan kepala desa sekarang tidak efektif. "Dulu main sedikit saja
mereka sudah dihantam parpol," katanya. Yang mengejutkan Eteng
setelah meninjau beberapa kabupaten banyak camat yang kaya raya.
Di Labuhan Batu ada camat yang memiliki kebun sampai ratusan
hektar. Ada anggota DPRD tingkat I Sumatera Utara yang rupanya
tidak mau kalah, menguasai sekitar 300 ha tanah di Kecamatan
Sungai Kepayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini