"SAYA bahagia dengan jabatan ini karena dapat merasa bisa lebih
dekat dengan rakyat," kata Ketua DPR/MPR Daryatmo, tentang
jabatannya sekarang. Belakangan ini rakyat memang
berbondong-bondong datang mengadu ke DPR, menambah citra baru
lembaga ini. Menghadapi gejala ini, tanggapan Daryatmo menarik.
Ia tidak peduli "dipolitikkannya" masalah yang diadukan rakyat
atau tidak. Masalah politik memang bukan hal baru buat Daryatmo.
Karir militer jenderal berusia 54 tahun ini telah dijalaninya 35
tahun, 13 tahun di antaranya menggumuli masalah sospol. Pekan
lalu, di Senayan di kantornya yang dianggapnya "paling enak
selama 35 tahun saya menjadi tentara," Daryatmo
berbincang-bincang dengan Fikri Jufri dan Budiman S. Hartoyo
dari TEMPO tentang berbagai masalah. Beberapa petikan:
Belakangan ini DPR sering menerima delegasi rakyat yang mengadu.
Adakah DPR ingin menunjukkan 'citra baru'?
Sesaat setelah dilantik saya menghimbau masyarakat agar
menyampaikan "panguneg-uneg" (rasa hati) agar tidak ada rakyat
yang tidak tahu ke mana mengadukan nasib. Keadaan paling jelek
ialah bila rakyat tak tahu kepada siapa sesambat (mengeluh).
Bila demikian, mereka akan frustrasi, lalu apatis. Dan, kita
juga jangan membagi-bagi mereka menurut kepercayaan politik.
Kalau ada anggota PP melapor ke FKP, jangan ditolak. Begitu pula
kalau rakyat pemilih Golkar kebetulan mengadu ke Fraksi
Persatuan harus diterima dengan baik.
Sampai kapan keadaan seperti ini akan berlangsung?
Sementara, apa boleh buat, semua itu akan saya tampung. Sebab
kalau ditolak sekarang, kita pites (tekan) nanti mereka mundur
dan takut, frustrasi. Biarlah ada keberanian melapor dulu.
Setelah itu akan saya tertibkan. Penertibannya tidak secara
mengejutkan atau drastis. DPR juga tidak punya pretensi akan
bisa menyelesaikan seluruh masalah. Semuanya, akhirnya, kan juga
dikembalikan kepada pihak eksekutif. Tapi biasanya karena
datangnya dari DPR, Pemerintah lalu lebih memperhatikan.
Misalnya dengan melalui Menteri Dalam Negeri. Dengan seijin
Mendagri saya akan bicara dengan Gubernur, Bupati atau pimpinan
DPRD tingkat I atau II. Forumnya bagaimana, belum terpikirkan.
Maksudnya agar masalah-masalah yang diadukan itu diselesaikan di
daerah. Selain itu juga agar DPRD tingkat I dan II melihat
bahkan merasa malu sendiri, kemudian mau menampung masalah di
daerah masing-masing.
Sikap pimpinan DPI seperti itu menimbulkan harapan baru.
Apakah hal itu juga dimaksud untuk menciptakan "keseimbangan
kekuasaan?"
Pemerintahan tertinggi kan di tangan Presiden sebagai
Mandataris MPR. Hubungan antara Presiden dan DPR merupakan dua
sejoli, ibarat suami-isteri. Dan karena anggota DPR merupakan
separo dari jumlah anggota MPR, maka seolah-olah DPR merupakan
'mata' dari MPR untuk mengawasi Pemerintah. Jadi hukan
mengimbangi tapi mengamankan, sebagai partner, agar pemerintah
itu bisa sukses melaksanakan amanat MPR.
FKP, yang selama ini dianggap sebagai partner Pemerintah,
akhir-akhir ini tampak lebih kritis. Mengapa?
Barangkali karena situasi dan kondisinya dianggap sudah
memungkinkan. Lebih-lebih setelah Presiden Soeharto sendiri
menyatakan "kalau ada kekurangan Pemerintah, jangan takut-takut
mengkritik." Hal itu diucapkan berkali-kali. Mungkin itu yang
mendorong FKP untuk berani. Dengan menunjukkan fakta negatif,
tidak berarti menjatuhkan tapi justru menolong pemerintah. Lain
dari dulu, kalau salah ucap saja takut direcall. Mungkin juga
setelah mendengar jawaban saya pada pertanyaan wartawan tentang
perlunya pemerintah lebih memperhatikan kemauan rakyat. Ketika
itu saya katakan: "kalau hanya ngomong saja mungkin rakyat sudah
muak."
Masalah apa yang paling mendesak ditangani?
Masalah tanah. Dulu pernah saya katakan, bahwa tanah adalah
masalah hidup dan matinya rakyat. Lebih-lebih negara kita kan
negara agraris. Dalam hal ini saya menghimbau kepada para
pejabat agar lebih banyak turun ke lapangan: 75% di lapangan,
25% di meja, agar bisa menangani hal-hal yang kurang beres
dengan cepat. Makin dekat pejabat dengan masyarakat, harus makin
banyak turun ke bawah. Kebijaksanaan Pemerintah sudah baik
semua, tapi jatuhnya kan selalu dalam pelaksanaan. Selain itu
kiranya para pejabat suka memberikan penjelasan yang lebih
praktis dan diterima akal. Sopir saya misalnya, dia tidak tahu
bahwa Kenop 15 untuk meningkatkan ekspor. Ia hanya tahu bahwa
barang-barang makin mahal. Nah, penjelasan yang praktis untuk
orang-orang macam begini kan perlu.
Dalam setiap dengar pendapat, ada kesan penyelesaiannya kurang
tuntas. Begitu dimuat koran, selanjutnya hilang begitu saja.
Sebenarnya memang harus tuntas. Untuk itu perlu peningkatan
efisiensi dan efektivitas kerja DPR. Untuk peningkatan tersebut,
sudah dibentuk Panitia Khusus Rencana Induk Pembangunan
mokrasi yang diketuai oleh Damciwar SH. Yang sudah dilakukan
misalnya meninjau organisasi sekretariat DPR, juga memikirkan
bagaimana supaya para anggota mempunyai tempat kerja. Karena itu
di belakang gedung sekretariat yang sekarang ini akan dibangun
gedung sekretariat yang baru. Dan nanti kalau Badan Pemeriksa
Keuangan sudah pindah ke kantornya yang baru, gedung sekretariat
DPR yang sekarang ini akan menjadi kantor bagi pimpinan, komisi,
fraksi dan para anggota DPR. Dengan begitu misalnya filling
system dan perpustakaan juga akan diadakan, sehingga jangan
sampai para anggota menanyakan lagi satu soal yang sebelumnya
pernah ditanyakan.
DPR juga sudah menjalin kerjasama dengan universitas, misalnya
UI dan UGM. Para anggota itu menjadi anggota DPR kan karena
politik, hingga bisa dimaklum kalau kurang menguasai soal-soal
yang detail. Maka para ahli dari UI dan UGM diharapkan bisa
membantu. Dulu setiap fraksi ingin punya staf ahli sendiri. Tapi
itu kan mahal. Lalu ada saran Presiden agar kita 'menyewa' staf
ahli saja. Kalau kita perlu suatu saat, kita panggil mereka.
Kalau mereka sedang tidak kita sewa ya tidak kita bayar.
Anggaran untuk ini sejak dulu sudah ada. cuma dulu itu belum ada
persesuaian dengan para ahli itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini