"Kalau Golkar menang 100%, saja akan keluar dari Golkar dan
membentuk Golkar baru".
-- Major Djenderal Ali Murtopo
GOLKAR ternjata tidak menang 100%. Alhamdulillah. Tetapi sudah
djelas -- diluar dugaan pimpinan Golkar sendiri -- majoritas
mutlak telah djatuh ketangannja. Meskipun hasil-hasil resmi baru
akan diumumkan bulan depan angka-angka sementara jang dikumpul
kan Bappilu Golkar sudah bisa diambil sebagai gambaran hasil
Pemilu jang baru lalu. Dari 25 daerah pemilihan Tingkat I tidak
kurang di 11 daerah Golkar memperoleh suara diatas 70%. Hanja
didaerah pemilihan Maluku Golkar mentjatat djumlah pemilih
dibawah 50%, selebihnja diatasnja. Bahkan di Sulawesi Tenggara
Golkar mendapat pemilih 93% suatu djumlah jang menimbulkan
sedikit soal. Seorang tokoh penting di Bappilu berkata:
"Sidang-sidang DPR daerah nanti achirnja hanja mendjadi sidang
Golkar --jang dihadiri oleh penindjau-penindjau dari parpol
dengan menggu-nakan gedung Pemerintah".
Kedudukan dominan Golkar didaerah-daerah itu dengan sendirinja
akan tertjermin pula di DPR Pusat. Dari angka sementara itu
terlihat, diluar Irian Barat. Golkar sedikitnja telah menguasai
221 kursi dari 360 kursi. Berarti ia djauh di atas NU (sekitar
61 kursi) Parmusi (sekitar 22 kursi), apalagi PNI jang rontoh
dan hanja dapat 20 kursi, atau PSII jang kira-kira tjuma
menggondol 11 kursi. Sedang Murba dan IPKI harus istirahat dari
Parlemen, meskipun UU memberi hadiah hiburan masing-masing 1
kursi buat mereka di MPR nanti. Maka di tambah 100 kursi jang
tersedia dari hasil penundjukkan, Golkar dengan demikian akan
menguasai antara 70-75% suara di badan legislatif. Dengan sistim
pemungutan suara jang akan ditrapkan di sana, agaknja tak ada
satu konsepsi atau gagasan Golkar jang tidak bisa diterima oleh
Parlemen djika ia mau, betapapun ngototnja fihak Parpol-parpol
menentangnja.
"Sistim Jang Monolitik?"
Maka tak heran: kemenangan Golkar itu membikin orang-orang, di
dalam dan terutama diluar Golkar, mulai kuatir. Djika
benar-benar tjita-tjita Golkar adalah pembaharuan politik dan
ekonomi -- jang tersimpul dalam apa jang dikenal "akselarasi
modernisasi 25 tahun -- dapatkah dengan majoritas matjam itu
Golkar menegakkan prinsip demokrasi jang sehat dibidang politik
dan menggerakkan pembang-unan ekonomi dengan melakukan kontrol?
Dalam demokrasi jang sehat, jang penting bukan gagasan-gagasan
sang majoritas bisa tjepat-tjepat sadja diterima di Parlemen,
tapi -- dan ini djustru untuk Indonesia jang lebih penting
apakah disana bisa dikembang-kan satu mekanisme kontrol terhadap
eksekutif.
Djelas bahwa misalnja Ali Murtopo sekarang ini tentu belum akan
membentuk "Golkar baru" untuk menghindarkan diktatur satu partai
meskipun kekuatan Parpol -- setidaknja dalam lima tahun
mendatang ini -- tidak akan mampu menandingi suara Golkar di
Parlemen. Maka akankah Parlemen jang bermajoritas Golkar itu
kelak mampu tidak hanja mendukung kebidjaksanaan Pemerintah tapi
djuga dimana perlu berbeda pendapat, bahkan mengritik
Pemerintah?
Pertanjaan sematjam diatas bukan tanpa ketjemasan. Kemenangan
Golkar akan mustahil tanpa adanja dukungan penguasa dimasa
kampanje. Dr Alfian, sardjana ilmu politik dari Leknas -- LIPI
misalnja melihat bahwa kemungkinan Parlemen nanti akan bisa
melakukan fungsi kontrol amatlah ketjil. Kepada TEMPO minggu
lalu ia mengatakan alasannja: "Kemenangan mutlak Golkar praktis
telah mendudukkan negara kita dalam sistim kepartaian jang
monolitik".
Prof. A.Madjid Ibrahim Rektor Universitas Sjah Kuala Banda Atjeh
djuga tidak beda dengan Alfian dalam melihat bahaja kemenangan
Golkar jang terlalu besar. Tetapi ekonomi dari Atjeh Development
Board ini idak melihat keadaan terlalu suram. Sebagai salah
seorang teknokrat jang setjara sadar masuk Golkar ia menaruh
harapan bahwa aliansi ABRI Teknokrat kokoh karena disatukan oleh
kepentingan jang sama pembangunan ekonomi Katanja kepada TEMPO
dikantor Perwakilan Pemerintah Daerah Istimewa Atjeh minggu lalu
"Jang saja harapkan the big brother jaitu ABRI -- akan menerima
setjara terbuka kritik-kritik dari fihak teknokrat. Lebih-lebih
karena kritik-kritik dari teknokrat biasanja bersifat teknis dan
tidak politis". Bertolak dari harapan itu ia berpendapat bahwa
Parlemen akan dapat melaksanakan fungsi kontrol setjara wadjar
"Meskipun seorang anggota dari golongan jang menjokong
Pemerintah tapi dalam menghadapi rentjana-rentjana jang
diadjukan Pemerintah kepada Parlemen masing-masing akan
mempergunakan kedudukannja sebagai anggota badan legislatif jang
bertanggung djawab", katanja.
Dari harapan Prof Madjid djelas bahwa dapat tidaknja fungsi
kontrol Parlemen didjalankan tergantung pada ada tidaknja saling
pengertian dan kerukunan antara sipil dan ABRI dalam Golkar jang
lebih sederhana adalah seperti apa jang terlihat oleh Prof
Widjojo Nitisastro. Tidak biasa orang pertama dalam BAP-PENAS
ini bitjara mengenai politik (lihat box), tapi dalam soal
kontrol ini tidak urung ia berkata djuga "Apa jang harus
dikerdjakan oleh Pemerintah bersama-sama DPR adalah apa jang
telah diputuskan oleh MPR" katanja "Dengan begitu sebenarnja
sudah dengan sendirinja tidak ada rentjana Pemerintah jang tidak
sesuai dengan apa jang telah digariskan MPR-DPR dapat melakukan
koreksi terhadap Pemerintah".
Namun pendapat itu tidak mengurangi kenjataan bahwa dengan suara
majoritas di Parlemen otomatis Golkar akan dapat suara majoritas
djuga di MPR.
Landasan Jang Bergojang-gojang
Karena itu bagaimanapun harapan bahwa Parlemen akan bisa
melakukan kontrol terhadap eksekutif masih tetap bisa dianggap
sebagai harap-harap tjemas. Sementara itu berbagai tokoh, djuga
dari kalangan tjendekiawan di Golkar telah berbitjara tentang
perlunja pembinaan badan kontrol lain diluar legislatif,
terutama pers dan Universitas. Masalahnja sekarang apakah kedua
lembaga itu di Indonesia ini memang sudah siap dan sudah mampu
melakukan hal itu? Pers mungkin memang sudah memiliki keberanian
moral untuk melakukan fungsi kritik dan kontrol tapi agaknja
masih perlu mendewasakan diri baik dalam memilih issue maupun
tjara disamping. Penguasa djuga masih perlu untuk tidak djadi
kuda besi. Mungkin inilah jang dimaksud Rosihan Anwar bahwa pers
Indonesia perlu melihat hubungan antara Pemerintah dan pers di
Djepang. Disana pers tumbuh setaraf dengan lembaga-lembaga
kekua-saan jang ada: kritik-kritik jang dilakukukanja betapapun
keras-nja masih tetap dipandang sebagai kritik dalam keluarga.
Tentu sadja untuk melakukan tugas ini kebebasan pers haruslah
diberikan landasan hukum jang kuat. Kini landasan itu masih
bergojang-gojang dan tidak selamanja ditaati oleh jang berkuasa
sendiri. "Kita memang sedang mentjari dasar" kata seorang
perwira tinggi Kopkamtib. "Itulah sebabnja kasus Harian
Nusantara diadjukan untuk memperoleh dasar jang bisa
diterima bersama mengenai kritik dan kebebasan pers". Tapi
dasar itu baru bisa diterima tentu sadja bila diukur ada dan
djika kekuasaan kehakiman tjukup bebas dari tekanan penguasa --
satu hal jang djustru masih djadi tanda tanja hingga kini.
Sebagaimana djuga dengan Pers, lembaga Perguruan Tinggi dan
Lembaga-Lembaga inilah agaknja masih memer-lukan penjesuaian
diri djika beban kontrol itu harus dilakukan dari sana. "Jang
sulit dengan Universitas-Universitas di Indonesia", kata Prof.
Sarbini Sumawinata dari FEUI "ia masih mempertahankan
orientasinja kepada sistim Eropa Barat". Bagi Prof. Sarbini,
peladjaran-peladjaran jang diberikan di Universitas disini
sampai sekarang masih sedikit sekali dihadap- kan kepada
problim-problim jang langsung dihadapi Indonesia. "Djika ada
orang dari universitas jang muntjul sehagai moderni-sator",
katanja lebih lanljut, "itu nasib baik kita. Sebab pada dasarnja
universitas kita belum diarahkan kesana".
Bagaimanapun pendapat tentang masih kurangnja kemampuan pers dan
universitas, namun kenjataan menundjukkan bahwa kombinasi kedua
lembaga itu, apabila dapat digerakkan, kadang-kadang bisa
mendjadi alat penekan jang ampuh. Waktu jang lalu memberi
tjontoh: demonstrasi kenaikan harga bensin ditahun 1969, aksi
anti korupsi ditahun 1970 atau Golput ditahun 1971 -- semuanja
ditjetuskan dari kalangan mahasiswa dan pendapat publikasi jang
luas dipers.
Pembenturan Gambaran-Gambaran Dunia
Pengalaman itupun menundjukkan satu hal: dimana Parlemen matjet
menjuarakan ketidakpuasan dimasjarakat ketegangan dengan mudah
lari kedjalan raja. Protes diluar DPRGR jang lalu itu memang
tidak sampai mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Pers dan
mahasiswa nampaknja masih punja harapan akan iktikad baik
pemerintah misalnja karena adanja kaum teknokrat disana.
Difihak pemerintah sendiri sedikit-banjak seperti halnja dalam
soal korupsi -- mentjoba menampung kritik dengan pembentukan
Komisi IV. Namun tidak djelas apakah Pemerintah masih akan
bersikap sama lunaknja dimasa depan berhubung dengan deking
besar kemenangan mutlak Golkar di Parlemen. Sebaliknja djuga
adakah mereka jang berprotes didjalan raja itu kelak masih punja
kepertjajaan akan maksud baik Pemerintah seperti dulu? Semua itu
tentunja bisa didjawab sekarang. Jang penting adakah difihak
Pemerintah dan terutama difihak Golkar sendiri, sudah dipikirkan
suatu upaja penjaluran ketidakpuasan jang bisa timbul.
Ketidak-puasan pada dasarnja akan selamanja ada, dan ia akan
mendjadi eksplosif djika mengendap terus menerus tak menemui
kepundan.
Kanalisasi ketidak-puasan tentu tidak hanja terbatas pada
anak-anak muda di kota, jang dengan tjepat sewaktu-waktu, bisa
djadi "politikus kakilima", tapi tidak kurang pentingnja djuga
ketidak-puasan didesa-desa. Terutama karena proses pembangunan
tidak bisa dipisahkan dengan faktor partisipasi masjarakat
setjara luas disemua tingkat. Mengingat bahwa pembangunan, isi
utama dari modernisasi, di Indonesia pada dasarnja akan
memberikan titik berat pada pembangunan masjarakat desa, maka
jang paling merasa tersentuh oleh proses modernisasi itu adalah
masjarakat desa-alias sekitar 85% penduduk. Dan masjarakat desa
Indonesia seperti dikatakan Dr Taufiq Abdullah, sosiolog dan
ahli sedjarah Leknas- LIPI, pada dasarnja mempunjai gambaran
sendiri tentang bagaimana sebenarnja dunia dan kehidupan jang
baik itu. "Tentu sadja gambaran dunia itu tidak sama dengan
gambaran modernisasi jang kita maksud" kata Taufiq Abdullah.
Sementara itu modernisasi dari konsep Golkar, apalagi dengan
"akselarasi" atau pertjepatan, adalah sebagai perobahan sosial
jang tjepat. Suatu perobahan sosial -- tersentuhnja nilai-nilai
tradisionil -- akan selamanja menimbulkan resistansi atau
perlawanan, dan perobahan jang diper-tjepat dengan sendirinja
akan memperbesar daja perlawanan pula. Gerakan Saminisme di
Djawa misalnja, menurut Taufiq Abdullah, adalah suatu tjontoh
sedjarah jang populer tentang perlawanan seperti itu. Bagi Prof.
Madjid Ibrahim jang punja pengalaman banjak menghadapi
masjarakat daerahnja sendiri -- Atjeh jang punja ketjenderungan
menutup diri dan "fanatik" -- merubah sikap dilakukan dengan
tjara mempergunakan nilai-nilai jang berlaku dalam masjarakat
itu sendiri, tapi dengan diberikan interpretasi baru sesuai
dengan modernisasi jang ingin digerakkan. Sudah tentu untuk ini
diperlukan tenaga penggerak perobahan sosial jang dalam istilah
Widjojo Nitisastro, tidak "doktriner".
Golkar Jang Bukan Sematjam Hansip
Tapi soalnja tidak habis disitu sadja. Jang akan djuga dihadapi
Golkar, dan Pemerintah atau bahkan partai politik, ialah
gangguan-gangguan stabilitas jang djustru mau tak mau timbul
akibat proses perubahan sosial itu. Maka dibutuhkan suatu sistim
politik jang mampu menampung setjara damai dan teratur
ketegangan dan konflik-konflik gara-gara proses perubahan
sosial. Dalam hal Golkar, sudah djelas jang perlu dipersiapkan
-- dan nampaknja memang sedang mulai dipersiapkan -- ialah suatu
organisasi jang tidak terus-menerus beroperasi dengan satu
komando dari atas, bukan sadja karena menurut rentjananja Golkar
bukan sematjam Hansip, tapi terutama karena organisasi ini
tentunja adalah organisasi buat masjarakat, bukan buat penguasa.
Dinamika, keluhan, dan suara-suara lain dari bawah harusnja
diatas dapat tempat, tidak tjuma ditjatat. "Jang perlu", kata
seorang tekno-krat ekonomi, "ialah adanja hubungan jang hldup
antara atas dan bawah pada tiap kelompok profesi. Kelompok
profesi pertanian misalnja, bukan sadja harus membina petani,
tapi djuga bisa menjampaikan keinginan dan keluhan petani".
Agaknja pendapat ini sesuai dengan pendapat Dr Median Sirait
dari Golkar, bahwa kelak achirnja kelompok profesi itu akan
mendjadi sematjam interest-Group (kelompok kepentingan) seperti
jang hidup dalam sistim demokrasi dan kepartaian dinegara-negara
madju.
Namun pada taraf pertama, tugas Golkar sebagai si Besar Tunggal
kini ialah bagaimana memikat partisipasi. Pengalaman selama masa
kampanje di desa-desa dan djuga dikota, menurut Alfian, "telah
menimbulkan frustrasi baru" -- dan jang dimaksudkannja ialah
rasa takut pada penguasa maupun Pohon Beringin. Frustrasi lama
atau baru, rakjat dalam 5 tahun mendatang ini, dengan djuga
memper-hitungkan faktor pertambahan penduduk, belum akan
mengetjap setjara merata hasil pembangunan. Mungkin untuk
mengimbanginja sementara, faktor pimpinan bisa pegang peranan
dalam pembinaan image. Menurut Prof. Sarbini -- walaupun ia
dikenal banjak kritiknja melihat keadaan sekarang -- di
daerah-daerah kini sudah banjak perubahan sikap jang lebih
tjondong kearah pemetjahan persoalan. "Itu menggembirakan"
katanja, "dan jang dibutuhkan kemudian ialah agar Gubernur dan
Bupati hendaknja bukan lagi tjuma pimpinan administratif, tapi
djuga pemimpin pembangunan". Jang mungkin dilupakan Sarbini
Sumawinata ialah faktor pimpinan ditingkat Pusat, dalam hal ini
pimpinan Golkar, sebab dalam soal pembinaan image itupun pegang
peranan penting. Dalam kata-kata seorang teknokrat: "Betapapun
djuga djangan hendaknja Golkar djadi sematjam tempat pembuangan,
hingga diangkat orang-orang jang kurang berwibawa". Tapi
nampaknja djuga dianggap tidak baik untuk mengangkat orang jang
tenaganja amat dibutuhkan ditempat lain. Karena itulah mungkin
tokoh sematjam 3 AM Golkar (Adam Malik, Ali Murtopo dan Amir
Machmud) jang tenaganja masih dibu-tuhkan Presiden Soeharto
dalam tugas lain tak akan menduduki djabatan Ketua Umum. Pilihan
naga-naganja akan teap pada Letdjen Sukowati -- meskipun wadjar
bila orang mengharap agar kelak para pimpinan Golkar tidak lagi
ditundjuk tapi dipilih dari bawah.
Pilihan dari bawah, belum ditentukan siapa jang dari bawah ini
memilih, memang mentjerminkan mekanisme demokrasi dalam
organisasi jang sekarang berkuasa itu. Djuga adanja mekanisme
kontrol, jang dari kalangan Bappilu nampaknja sedang dibicarakan
setjara serius. "Kontrol harus dibentuk dari dalam", kata
seorang dari mereka, "kalau tidak apa artinja kemenangan besar,
kalau pembangunan djadi brengsek dan bibit demokrasi tidak ada?"
Men-dengar ini, mungkin banjak orang bisa bernafas lega. Soalnja
kemudian adalah bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini