Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dilema Pembangunan Diantara Kursi...

Golkar menguasai 70-75 % suara dalam badan legislatif. pendapat ketua bappenas wijoyo nitisastro bahwa tidak ada rencana pemerintah tidak sesuai dengan apa yang digariskan mpr. dpr dapat mengoreksi pemerintah.

24 Juli 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kalau Golkar menang 100%, saja akan keluar dari Golkar dan membentuk Golkar baru". -- Major Djenderal Ali Murtopo GOLKAR ternjata tidak menang 100%. Alhamdulillah. Tetapi sudah djelas -- diluar dugaan pimpinan Golkar sendiri -- majoritas mutlak telah djatuh ketangannja. Meskipun hasil-hasil resmi baru akan diumumkan bulan depan angka-angka sementara jang dikumpul kan Bappilu Golkar sudah bisa diambil sebagai gambaran hasil Pemilu jang baru lalu. Dari 25 daerah pemilihan Tingkat I tidak kurang di 11 daerah Golkar memperoleh suara diatas 70%. Hanja didaerah pemilihan Maluku Golkar mentjatat djumlah pemilih dibawah 50%, selebihnja diatasnja. Bahkan di Sulawesi Tenggara Golkar mendapat pemilih 93% suatu djumlah jang menimbulkan sedikit soal. Seorang tokoh penting di Bappilu berkata: "Sidang-sidang DPR daerah nanti achirnja hanja mendjadi sidang Golkar --jang dihadiri oleh penindjau-penindjau dari parpol dengan menggu-nakan gedung Pemerintah". Kedudukan dominan Golkar didaerah-daerah itu dengan sendirinja akan tertjermin pula di DPR Pusat. Dari angka sementara itu terlihat, diluar Irian Barat. Golkar sedikitnja telah menguasai 221 kursi dari 360 kursi. Berarti ia djauh di atas NU (sekitar 61 kursi) Parmusi (sekitar 22 kursi), apalagi PNI jang rontoh dan hanja dapat 20 kursi, atau PSII jang kira-kira tjuma menggondol 11 kursi. Sedang Murba dan IPKI harus istirahat dari Parlemen, meskipun UU memberi hadiah hiburan masing-masing 1 kursi buat mereka di MPR nanti. Maka di tambah 100 kursi jang tersedia dari hasil penundjukkan, Golkar dengan demikian akan menguasai antara 70-75% suara di badan legislatif. Dengan sistim pemungutan suara jang akan ditrapkan di sana, agaknja tak ada satu konsepsi atau gagasan Golkar jang tidak bisa diterima oleh Parlemen djika ia mau, betapapun ngototnja fihak Parpol-parpol menentangnja. "Sistim Jang Monolitik?" Maka tak heran: kemenangan Golkar itu membikin orang-orang, di dalam dan terutama diluar Golkar, mulai kuatir. Djika benar-benar tjita-tjita Golkar adalah pembaharuan politik dan ekonomi -- jang tersimpul dalam apa jang dikenal "akselarasi modernisasi 25 tahun -- dapatkah dengan majoritas matjam itu Golkar menegakkan prinsip demokrasi jang sehat dibidang politik dan menggerakkan pembang-unan ekonomi dengan melakukan kontrol? Dalam demokrasi jang sehat, jang penting bukan gagasan-gagasan sang majoritas bisa tjepat-tjepat sadja diterima di Parlemen, tapi -- dan ini djustru untuk Indonesia jang lebih penting apakah disana bisa dikembang-kan satu mekanisme kontrol terhadap eksekutif. Djelas bahwa misalnja Ali Murtopo sekarang ini tentu belum akan membentuk "Golkar baru" untuk menghindarkan diktatur satu partai meskipun kekuatan Parpol -- setidaknja dalam lima tahun mendatang ini -- tidak akan mampu menandingi suara Golkar di Parlemen. Maka akankah Parlemen jang bermajoritas Golkar itu kelak mampu tidak hanja mendukung kebidjaksanaan Pemerintah tapi djuga dimana perlu berbeda pendapat, bahkan mengritik Pemerintah? Pertanjaan sematjam diatas bukan tanpa ketjemasan. Kemenangan Golkar akan mustahil tanpa adanja dukungan penguasa dimasa kampanje. Dr Alfian, sardjana ilmu politik dari Leknas -- LIPI misalnja melihat bahwa kemungkinan Parlemen nanti akan bisa melakukan fungsi kontrol amatlah ketjil. Kepada TEMPO minggu lalu ia mengatakan alasannja: "Kemenangan mutlak Golkar praktis telah mendudukkan negara kita dalam sistim kepartaian jang monolitik". Prof. A.Madjid Ibrahim Rektor Universitas Sjah Kuala Banda Atjeh djuga tidak beda dengan Alfian dalam melihat bahaja kemenangan Golkar jang terlalu besar. Tetapi ekonomi dari Atjeh Development Board ini idak melihat keadaan terlalu suram. Sebagai salah seorang teknokrat jang setjara sadar masuk Golkar ia menaruh harapan bahwa aliansi ABRI Teknokrat kokoh karena disatukan oleh kepentingan jang sama pembangunan ekonomi Katanja kepada TEMPO dikantor Perwakilan Pemerintah Daerah Istimewa Atjeh minggu lalu "Jang saja harapkan the big brother jaitu ABRI -- akan menerima setjara terbuka kritik-kritik dari fihak teknokrat. Lebih-lebih karena kritik-kritik dari teknokrat biasanja bersifat teknis dan tidak politis". Bertolak dari harapan itu ia berpendapat bahwa Parlemen akan dapat melaksanakan fungsi kontrol setjara wadjar "Meskipun seorang anggota dari golongan jang menjokong Pemerintah tapi dalam menghadapi rentjana-rentjana jang diadjukan Pemerintah kepada Parlemen masing-masing akan mempergunakan kedudukannja sebagai anggota badan legislatif jang bertanggung djawab", katanja. Dari harapan Prof Madjid djelas bahwa dapat tidaknja fungsi kontrol Parlemen didjalankan tergantung pada ada tidaknja saling pengertian dan kerukunan antara sipil dan ABRI dalam Golkar jang lebih sederhana adalah seperti apa jang terlihat oleh Prof Widjojo Nitisastro. Tidak biasa orang pertama dalam BAP-PENAS ini bitjara mengenai politik (lihat box), tapi dalam soal kontrol ini tidak urung ia berkata djuga "Apa jang harus dikerdjakan oleh Pemerintah bersama-sama DPR adalah apa jang telah diputuskan oleh MPR" katanja "Dengan begitu sebenarnja sudah dengan sendirinja tidak ada rentjana Pemerintah jang tidak sesuai dengan apa jang telah digariskan MPR-DPR dapat melakukan koreksi terhadap Pemerintah". Namun pendapat itu tidak mengurangi kenjataan bahwa dengan suara majoritas di Parlemen otomatis Golkar akan dapat suara majoritas djuga di MPR. Landasan Jang Bergojang-gojang Karena itu bagaimanapun harapan bahwa Parlemen akan bisa melakukan kontrol terhadap eksekutif masih tetap bisa dianggap sebagai harap-harap tjemas. Sementara itu berbagai tokoh, djuga dari kalangan tjendekiawan di Golkar telah berbitjara tentang perlunja pembinaan badan kontrol lain diluar legislatif, terutama pers dan Universitas. Masalahnja sekarang apakah kedua lembaga itu di Indonesia ini memang sudah siap dan sudah mampu melakukan hal itu? Pers mungkin memang sudah memiliki keberanian moral untuk melakukan fungsi kritik dan kontrol tapi agaknja masih perlu mendewasakan diri baik dalam memilih issue maupun tjara disamping. Penguasa djuga masih perlu untuk tidak djadi kuda besi. Mungkin inilah jang dimaksud Rosihan Anwar bahwa pers Indonesia perlu melihat hubungan antara Pemerintah dan pers di Djepang. Disana pers tumbuh setaraf dengan lembaga-lembaga kekua-saan jang ada: kritik-kritik jang dilakukukanja betapapun keras-nja masih tetap dipandang sebagai kritik dalam keluarga. Tentu sadja untuk melakukan tugas ini kebebasan pers haruslah diberikan landasan hukum jang kuat. Kini landasan itu masih bergojang-gojang dan tidak selamanja ditaati oleh jang berkuasa sendiri. "Kita memang sedang mentjari dasar" kata seorang perwira tinggi Kopkamtib. "Itulah sebabnja kasus Harian Nusantara diadjukan untuk memperoleh dasar jang bisa diterima bersama mengenai kritik dan kebebasan pers". Tapi dasar itu baru bisa diterima tentu sadja bila diukur ada dan djika kekuasaan kehakiman tjukup bebas dari tekanan penguasa -- satu hal jang djustru masih djadi tanda tanja hingga kini. Sebagaimana djuga dengan Pers, lembaga Perguruan Tinggi dan Lembaga-Lembaga inilah agaknja masih memer-lukan penjesuaian diri djika beban kontrol itu harus dilakukan dari sana. "Jang sulit dengan Universitas-Universitas di Indonesia", kata Prof. Sarbini Sumawinata dari FEUI "ia masih mempertahankan orientasinja kepada sistim Eropa Barat". Bagi Prof. Sarbini, peladjaran-peladjaran jang diberikan di Universitas disini sampai sekarang masih sedikit sekali dihadap- kan kepada problim-problim jang langsung dihadapi Indonesia. "Djika ada orang dari universitas jang muntjul sehagai moderni-sator", katanja lebih lanljut, "itu nasib baik kita. Sebab pada dasarnja universitas kita belum diarahkan kesana". Bagaimanapun pendapat tentang masih kurangnja kemampuan pers dan universitas, namun kenjataan menundjukkan bahwa kombinasi kedua lembaga itu, apabila dapat digerakkan, kadang-kadang bisa mendjadi alat penekan jang ampuh. Waktu jang lalu memberi tjontoh: demonstrasi kenaikan harga bensin ditahun 1969, aksi anti korupsi ditahun 1970 atau Golput ditahun 1971 -- semuanja ditjetuskan dari kalangan mahasiswa dan pendapat publikasi jang luas dipers. Pembenturan Gambaran-Gambaran Dunia Pengalaman itupun menundjukkan satu hal: dimana Parlemen matjet menjuarakan ketidakpuasan dimasjarakat ketegangan dengan mudah lari kedjalan raja. Protes diluar DPRGR jang lalu itu memang tidak sampai mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Pers dan mahasiswa nampaknja masih punja harapan akan iktikad baik pemerintah misalnja karena adanja kaum teknokrat disana. Difihak pemerintah sendiri sedikit-banjak seperti halnja dalam soal korupsi -- mentjoba menampung kritik dengan pembentukan Komisi IV. Namun tidak djelas apakah Pemerintah masih akan bersikap sama lunaknja dimasa depan berhubung dengan deking besar kemenangan mutlak Golkar di Parlemen. Sebaliknja djuga adakah mereka jang berprotes didjalan raja itu kelak masih punja kepertjajaan akan maksud baik Pemerintah seperti dulu? Semua itu tentunja bisa didjawab sekarang. Jang penting adakah difihak Pemerintah dan terutama difihak Golkar sendiri, sudah dipikirkan suatu upaja penjaluran ketidakpuasan jang bisa timbul. Ketidak-puasan pada dasarnja akan selamanja ada, dan ia akan mendjadi eksplosif djika mengendap terus menerus tak menemui kepundan. Kanalisasi ketidak-puasan tentu tidak hanja terbatas pada anak-anak muda di kota, jang dengan tjepat sewaktu-waktu, bisa djadi "politikus kakilima", tapi tidak kurang pentingnja djuga ketidak-puasan didesa-desa. Terutama karena proses pembangunan tidak bisa dipisahkan dengan faktor partisipasi masjarakat setjara luas disemua tingkat. Mengingat bahwa pembangunan, isi utama dari modernisasi, di Indonesia pada dasarnja akan memberikan titik berat pada pembangunan masjarakat desa, maka jang paling merasa tersentuh oleh proses modernisasi itu adalah masjarakat desa-alias sekitar 85% penduduk. Dan masjarakat desa Indonesia seperti dikatakan Dr Taufiq Abdullah, sosiolog dan ahli sedjarah Leknas- LIPI, pada dasarnja mempunjai gambaran sendiri tentang bagaimana sebenarnja dunia dan kehidupan jang baik itu. "Tentu sadja gambaran dunia itu tidak sama dengan gambaran modernisasi jang kita maksud" kata Taufiq Abdullah. Sementara itu modernisasi dari konsep Golkar, apalagi dengan "akselarasi" atau pertjepatan, adalah sebagai perobahan sosial jang tjepat. Suatu perobahan sosial -- tersentuhnja nilai-nilai tradisionil -- akan selamanja menimbulkan resistansi atau perlawanan, dan perobahan jang diper-tjepat dengan sendirinja akan memperbesar daja perlawanan pula. Gerakan Saminisme di Djawa misalnja, menurut Taufiq Abdullah, adalah suatu tjontoh sedjarah jang populer tentang perlawanan seperti itu. Bagi Prof. Madjid Ibrahim jang punja pengalaman banjak menghadapi masjarakat daerahnja sendiri -- Atjeh jang punja ketjenderungan menutup diri dan "fanatik" -- merubah sikap dilakukan dengan tjara mempergunakan nilai-nilai jang berlaku dalam masjarakat itu sendiri, tapi dengan diberikan interpretasi baru sesuai dengan modernisasi jang ingin digerakkan. Sudah tentu untuk ini diperlukan tenaga penggerak perobahan sosial jang dalam istilah Widjojo Nitisastro, tidak "doktriner". Golkar Jang Bukan Sematjam Hansip Tapi soalnja tidak habis disitu sadja. Jang akan djuga dihadapi Golkar, dan Pemerintah atau bahkan partai politik, ialah gangguan-gangguan stabilitas jang djustru mau tak mau timbul akibat proses perubahan sosial itu. Maka dibutuhkan suatu sistim politik jang mampu menampung setjara damai dan teratur ketegangan dan konflik-konflik gara-gara proses perubahan sosial. Dalam hal Golkar, sudah djelas jang perlu dipersiapkan -- dan nampaknja memang sedang mulai dipersiapkan -- ialah suatu organisasi jang tidak terus-menerus beroperasi dengan satu komando dari atas, bukan sadja karena menurut rentjananja Golkar bukan sematjam Hansip, tapi terutama karena organisasi ini tentunja adalah organisasi buat masjarakat, bukan buat penguasa. Dinamika, keluhan, dan suara-suara lain dari bawah harusnja diatas dapat tempat, tidak tjuma ditjatat. "Jang perlu", kata seorang tekno-krat ekonomi, "ialah adanja hubungan jang hldup antara atas dan bawah pada tiap kelompok profesi. Kelompok profesi pertanian misalnja, bukan sadja harus membina petani, tapi djuga bisa menjampaikan keinginan dan keluhan petani". Agaknja pendapat ini sesuai dengan pendapat Dr Median Sirait dari Golkar, bahwa kelak achirnja kelompok profesi itu akan mendjadi sematjam interest-Group (kelompok kepentingan) seperti jang hidup dalam sistim demokrasi dan kepartaian dinegara-negara madju. Namun pada taraf pertama, tugas Golkar sebagai si Besar Tunggal kini ialah bagaimana memikat partisipasi. Pengalaman selama masa kampanje di desa-desa dan djuga dikota, menurut Alfian, "telah menimbulkan frustrasi baru" -- dan jang dimaksudkannja ialah rasa takut pada penguasa maupun Pohon Beringin. Frustrasi lama atau baru, rakjat dalam 5 tahun mendatang ini, dengan djuga memper-hitungkan faktor pertambahan penduduk, belum akan mengetjap setjara merata hasil pembangunan. Mungkin untuk mengimbanginja sementara, faktor pimpinan bisa pegang peranan dalam pembinaan image. Menurut Prof. Sarbini -- walaupun ia dikenal banjak kritiknja melihat keadaan sekarang -- di daerah-daerah kini sudah banjak perubahan sikap jang lebih tjondong kearah pemetjahan persoalan. "Itu menggembirakan" katanja, "dan jang dibutuhkan kemudian ialah agar Gubernur dan Bupati hendaknja bukan lagi tjuma pimpinan administratif, tapi djuga pemimpin pembangunan". Jang mungkin dilupakan Sarbini Sumawinata ialah faktor pimpinan ditingkat Pusat, dalam hal ini pimpinan Golkar, sebab dalam soal pembinaan image itupun pegang peranan penting. Dalam kata-kata seorang teknokrat: "Betapapun djuga djangan hendaknja Golkar djadi sematjam tempat pembuangan, hingga diangkat orang-orang jang kurang berwibawa". Tapi nampaknja djuga dianggap tidak baik untuk mengangkat orang jang tenaganja amat dibutuhkan ditempat lain. Karena itulah mungkin tokoh sematjam 3 AM Golkar (Adam Malik, Ali Murtopo dan Amir Machmud) jang tenaganja masih dibu-tuhkan Presiden Soeharto dalam tugas lain tak akan menduduki djabatan Ketua Umum. Pilihan naga-naganja akan teap pada Letdjen Sukowati -- meskipun wadjar bila orang mengharap agar kelak para pimpinan Golkar tidak lagi ditundjuk tapi dipilih dari bawah. Pilihan dari bawah, belum ditentukan siapa jang dari bawah ini memilih, memang mentjerminkan mekanisme demokrasi dalam organisasi jang sekarang berkuasa itu. Djuga adanja mekanisme kontrol, jang dari kalangan Bappilu nampaknja sedang dibicarakan setjara serius. "Kontrol harus dibentuk dari dalam", kata seorang dari mereka, "kalau tidak apa artinja kemenangan besar, kalau pembangunan djadi brengsek dan bibit demokrasi tidak ada?" Men-dengar ini, mungkin banjak orang bisa bernafas lega. Soalnja kemudian adalah bukti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus