Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wijoyo, Kecemasan Dan Harapan

Wijoyo Nitisastro ketua Bappenas cemas terhadap bahaya ledakan penduduk dan kurangnya penerangan pembangunan. untuk kontrol diusahakan dengan pencegahan penyelewengan agar asosial ekonomi tidak timpang.

24 Juli 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Widjojo Nitisastro djangan diharapkan terlalu banjak pembitja-raan mengenai politik. Ia pernah aktif dalam tentara peladjar di Djawa Timur (TRIP) selama masa perang kemerdekaan, ia pernah aktif dalam kegiatan kampus dan diluarnja selama mahasiswa, tapi kemudian ia memutuskan untuk mendjadi ahli ekonomi. "Sudah tjukup banjak jang berperhatian pada bidang politik", kata teknokrat jang tak pernah bitjara keras, banjak senjum dan terlalu sedikit mentjeritakan masa lalunja itu. Maka iapun mengchususkan diri pada masalah demografi dalam menuntut ilmu ekonomi -- suatu bidang jang masih menghubungkannja dengan soal-soal sosiologi jang djuga djadi perhatiannja. "Tentang politik", katanja lagi dengan tawa bergurau, "Emil Salim dan Sadli lebih pandai dari saja". Emil Salim, djuga bekas aktifis kampus kini penulis untuk pers disamping kedudukannja sebagai Wakil Ketua BAPPENAS, demikian djuga Moh. Sadli, memang teknokrat-teknokrat jang tidak sependiam Widjojo. Tapi tentang politik merekapun djarang bitjara didepan publik. Dan nampaknja itulah sikap hampir seluruh teknokrat Pemerintah Soeharto kini: bukan sadja Ali Wardhana atau Menteri PUT Sutami, tapi djuga Sumitro Djojohadikusumo sekalipun, meskipun jang terachir ini pernah dikenal sebagai orang politik dari PSI dan PRRI. Agaknja itulah sebabnja kritik-kritik pernah, dan masih, ditudjukan kepada ahli-ahli ekonomi Pemerintah Soeharto mereka dianggap tak memperhitungkan apa jang disebut faktor-faktor "non ekonomi" dalam pembangunan ekonomi. Ditudjukan kepada orang-orang jang mengurusi perentjanaan dari pelbagai Departemen, lewat DIP (Daftar Isian Projek), kritik sematjam ini mungkin tidak terlalu adil. Para teknokrat itu toch kenal problim-problim bidang pendidikan, kebudajaan, hukum, penerangan dan lain-lain -- paling sedikit lewat projek-projek jang disaran-kan oleh Departemen-Departemen jang bersangkutan. Walaupun demikian pembangunan ekonomi memang sangat menjangkut soal masjarakat dan kekuasaan. Masalah pengawasan terhadap aparatur pelaksana pembangunan dari pusat hingga daerah, masalah mengundang partisipasi rakjat buat pembangunan dan masalah pengambilan keputusan-keputusan penting dibidang kebidjaksanaan ekonomi, mau tak mau merupakan masalah politik. Dan orangpun bertanja: sampai berapa djauh para ahli ekonomi itu memperhitung-kan soal itu? Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 menjebabkan pertanjaan sematjam itu mendjadi timbul kembali apalagi sudah tcrsebar berita bahwa mereka akan duduk dalam Dewan Pembina Golkar, antara lain konon dengan pertimbangan Presiden Soeharto sendiri. "Saja memang melihat bahwa misalnja dalam lahirnja TAP 23 MPRS" kata Widjojo Nitisastro, "jang melepaskan kita dari sistim ekonomi komando dan beralih kembali ke demokrasi ekonomi, tidak mungkin tanpa suatu upaja politik. Djuga pembangunan sekarang ini tidak akan mungkin seandainja tak ada Kepala Negara jang punja tekad membangun". Walaupun demikian, Widjojo lebih suka meng-hindari pertjakapan tentang hubungan kemenangan Golkar dengan masalah partisipasi sosial. Tapi ia berbitjara sedikit tentang peran penerangan buat masjarakat. "Masjarakat harus tahu projek apa jang sedang dibangun didaerahnja, berapa beajanja dan djuga penting mereka perlu tahu mengapa projek itu jang didahulukan dan bukan projek jang lain". Bagi Widjojo, itu adalah hak rakjat dan djuga itulah satu tjara buat kontrol dan partisipasi. Seperti banjak teknokrat lain, agaknja Widjojo masih merasakan kurangnja kegiatan penerangan tentang pembangunan selama ini. Seorang jang amat mentjemaskan bahaja ledakan penduduk ("dasawarsa 70-an ini adalah dasawarsa jang gawat karena soal penduduk itu") djelas ia menginginkan partisipasi jang lebih meluas. "Sesungguhnja apa jang harus diperhatikan ialah bagaimana bisa membuat masjarakat bergerak membangun dan ini tak bisa dipetjkan setjara doktriner". Betapapun djuga, Widjojo tak hendak bitjara lebih dari bidang kerdja jang ditanganinja. Strategi ekonomi jang digariskannja dan bakal terasa pengaruhnja dalam Pelita ke II jang sedang disiapkan kini nampaknja diarahkan kepada partisipasi jang lebih meluas dimasjarakat itu. "Dulu orang berdebat teori tentang adil dulu atau makmur dulu. Kini perkembangan baru menundjukkan bahwa keadilan dan kemakmuran ternjata saling mempengaruhi pembangunan ekonomi". Ia mentjontohkan tragedi Pakistan dan negara-negara Amerika Latin: disana produksi nasional kasar (GNP) menaik terus tapi keadilan tidak terasa, dan timbullah bentrokan sosial-politik. "Keadilan, pembagian kekajaan jang lebih merata dan belum terasa kini, harus ditjiptakan. Meskipun itu tidak berarti menjamaratakan jang berprestasi dengan jang tidak. Hal itupun akan menghilangkan semangat". Tapi semangat djuga akan djadi merusak bila ketimpangan sosial-ekonomi dan penjelewengan djalan terus. Maka bagaimana dengan kontrol atau pengawasan? Bagi Widjojo, jang diusahakannja dari BAPPENAS adalah langkah-langkah pentjegahan supaja tidak terdjadi kebobolan dan penjelewengan, misalnja dalam prosedur permintaan dan pembelandjaan uang untuk projek-projek. "Djuga tindakan represif", tambahnja, "seperti dilakukan baru-baru ini oleh Ali Wardhana diaparat bea-tjukai". Meskipun begitu, Widjojo mengakui bahwa tindakan polisionil terhadap penjelundupan misalnja berada diluar batas wewenang ekonomi. "Tapi alat kontrol ada bermatjam-matjam: suatu pers jang bebas, suatu lembaga universitas jang independen, djuga lembaga judikatif". Tentang parlemen, jang dengan hasil Pemilu ternjata dipusat dan didaerah dikuasai Golkar, Widjojo hanja senjum. Ia tjuma mengingatkan bahwa suatu majoritas penjokong pemerintah diparlemen tak dengan sendirinja harus melepaskan fungsinja sebagai badan pengontrol jang bebas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus