DARI Widjojo Nitisastro djangan diharapkan terlalu banjak
pembitja-raan mengenai politik. Ia pernah aktif dalam tentara
peladjar di Djawa Timur (TRIP) selama masa perang kemerdekaan,
ia pernah aktif dalam kegiatan kampus dan diluarnja selama
mahasiswa, tapi kemudian ia memutuskan untuk mendjadi ahli
ekonomi. "Sudah tjukup banjak jang berperhatian pada bidang
politik", kata teknokrat jang tak pernah bitjara keras, banjak
senjum dan terlalu sedikit mentjeritakan masa lalunja itu. Maka
iapun mengchususkan diri pada masalah demografi dalam menuntut
ilmu ekonomi -- suatu bidang jang masih menghubungkannja dengan
soal-soal sosiologi jang djuga djadi perhatiannja. "Tentang
politik", katanja lagi dengan tawa bergurau, "Emil Salim dan
Sadli lebih pandai dari saja".
Emil Salim, djuga bekas aktifis kampus kini penulis untuk pers
disamping kedudukannja sebagai Wakil Ketua BAPPENAS, demikian
djuga Moh. Sadli, memang teknokrat-teknokrat jang tidak
sependiam Widjojo. Tapi tentang politik merekapun djarang
bitjara didepan publik. Dan nampaknja itulah sikap hampir
seluruh teknokrat Pemerintah Soeharto kini: bukan sadja Ali
Wardhana atau Menteri PUT Sutami, tapi djuga Sumitro
Djojohadikusumo sekalipun, meskipun jang terachir ini pernah
dikenal sebagai orang politik dari PSI dan PRRI. Agaknja itulah
sebabnja kritik-kritik pernah, dan masih, ditudjukan kepada
ahli-ahli ekonomi Pemerintah Soeharto mereka dianggap tak
memperhitungkan apa jang disebut faktor-faktor "non ekonomi"
dalam pembangunan ekonomi. Ditudjukan kepada orang-orang jang
mengurusi perentjanaan dari pelbagai Departemen, lewat DIP
(Daftar Isian Projek), kritik sematjam ini mungkin tidak terlalu
adil. Para teknokrat itu toch kenal problim-problim bidang
pendidikan, kebudajaan, hukum, penerangan dan lain-lain --
paling sedikit lewat projek-projek jang disaran-kan oleh
Departemen-Departemen jang bersangkutan. Walaupun demikian
pembangunan ekonomi memang sangat menjangkut soal masjarakat dan
kekuasaan. Masalah pengawasan terhadap aparatur pelaksana
pembangunan dari pusat hingga daerah, masalah mengundang
partisipasi rakjat buat pembangunan dan masalah pengambilan
keputusan-keputusan penting dibidang kebidjaksanaan ekonomi, mau
tak mau merupakan masalah politik. Dan orangpun bertanja: sampai
berapa djauh para ahli ekonomi itu memperhitung-kan soal itu?
Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 menjebabkan pertanjaan
sematjam itu mendjadi timbul kembali apalagi sudah tcrsebar
berita bahwa mereka akan duduk dalam Dewan Pembina Golkar,
antara lain konon dengan pertimbangan Presiden Soeharto sendiri.
"Saja memang melihat bahwa misalnja dalam lahirnja TAP 23 MPRS"
kata Widjojo Nitisastro, "jang melepaskan kita dari sistim
ekonomi komando dan beralih kembali ke demokrasi ekonomi, tidak
mungkin tanpa suatu upaja politik. Djuga pembangunan sekarang
ini tidak akan mungkin seandainja tak ada Kepala Negara jang
punja tekad membangun". Walaupun demikian, Widjojo lebih suka
meng-hindari pertjakapan tentang hubungan kemenangan Golkar
dengan masalah partisipasi sosial. Tapi ia berbitjara sedikit
tentang peran penerangan buat masjarakat. "Masjarakat harus tahu
projek apa jang sedang dibangun didaerahnja, berapa beajanja dan
djuga penting mereka perlu tahu mengapa projek itu jang
didahulukan dan bukan projek jang lain". Bagi Widjojo, itu
adalah hak rakjat dan djuga itulah satu tjara buat kontrol dan
partisipasi. Seperti banjak teknokrat lain, agaknja Widjojo
masih merasakan kurangnja kegiatan penerangan tentang
pembangunan selama ini. Seorang jang amat mentjemaskan bahaja
ledakan penduduk ("dasawarsa 70-an ini adalah dasawarsa jang
gawat karena soal penduduk itu") djelas ia menginginkan
partisipasi jang lebih meluas. "Sesungguhnja apa jang harus
diperhatikan ialah bagaimana bisa membuat masjarakat bergerak
membangun dan ini tak bisa dipetjkan setjara doktriner".
Betapapun djuga, Widjojo tak hendak bitjara lebih dari bidang
kerdja jang ditanganinja. Strategi ekonomi jang digariskannja
dan bakal terasa pengaruhnja dalam Pelita ke II jang sedang
disiapkan kini nampaknja diarahkan kepada partisipasi jang lebih
meluas dimasjarakat itu. "Dulu orang berdebat teori tentang adil
dulu atau makmur dulu. Kini perkembangan baru menundjukkan bahwa
keadilan dan kemakmuran ternjata saling mempengaruhi pembangunan
ekonomi". Ia mentjontohkan tragedi Pakistan dan negara-negara
Amerika Latin: disana produksi nasional kasar (GNP) menaik terus
tapi keadilan tidak terasa, dan timbullah bentrokan
sosial-politik. "Keadilan, pembagian kekajaan jang lebih merata
dan belum terasa kini, harus ditjiptakan. Meskipun itu tidak
berarti menjamaratakan jang berprestasi dengan jang tidak. Hal
itupun akan menghilangkan semangat".
Tapi semangat djuga akan djadi merusak bila ketimpangan
sosial-ekonomi dan penjelewengan djalan terus. Maka bagaimana
dengan kontrol atau pengawasan? Bagi Widjojo, jang diusahakannja
dari BAPPENAS adalah langkah-langkah pentjegahan supaja tidak
terdjadi kebobolan dan penjelewengan, misalnja dalam prosedur
permintaan dan pembelandjaan uang untuk projek-projek. "Djuga
tindakan represif", tambahnja, "seperti dilakukan baru-baru ini
oleh Ali Wardhana diaparat bea-tjukai". Meskipun begitu, Widjojo
mengakui bahwa tindakan polisionil terhadap penjelundupan
misalnja berada diluar batas wewenang ekonomi. "Tapi alat
kontrol ada bermatjam-matjam: suatu pers jang bebas, suatu
lembaga universitas jang independen, djuga lembaga judikatif".
Tentang parlemen, jang dengan hasil Pemilu ternjata dipusat dan
didaerah dikuasai Golkar, Widjojo hanja senjum. Ia tjuma
mengingatkan bahwa suatu majoritas penjokong pemerintah
diparlemen tak dengan sendirinja harus melepaskan fungsinja
sebagai badan pengontrol jang bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini