Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Embun subuh masih pekat menutup Desa Kuwawur. Sukisno, dengan kaus belel dan berselendang sarung buruk, memacu sepeda motornya menuju Pasar Sukolilo di Pati, Jawa Tengah. Begitu sampai, cepat ia menata beragam sayuran dan aneka kebutuhan rumah tangga di sebuah kios sederhana berukuran 1 x 1,5 meter. Sejurus kemudian, ia pun sibuk melayani tiap pembeli dengan sumeh.
Tapi, begitu mentari bersinar, lulusan SMU Grobogan itu berubah total. Kaus dan sarung lusuh ia tanggalkan, digantinya dengan kemeja dan pantalon serba cokelat. Kopiah hitam dari bahan beludru menutup kepalanya. Hingga sore hari, ia menjaga penampilan (dan tentu saja wibawanya) di Balai Desa Kuwawur. Ya, inilah kepala desa yang merangkap pedagang sayuran. "Dwifungsi" itu dilakoninya sejak 1988. Apa salahnya?
Jelas tak ada yang salah. Yang janggal cuma ini: Sukisno tak bergaji seperti pegawai negeri, juga tak diberi tanah bengkokyang biasa menjadi kompensasi bagi kepala desa. "Ini benar-benar pengabdian untuk negara. Saya tidak mendapat kompensasi apa pun dari jabatan ini," ujar lelaki 32 tahun yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu.
Sekitar 35 persen dari 9.872 kepala desa atau lurah di Jawa Tengah sudah bertahun-tahun mengalami nasib serupa. Setelah purnatugas, mereka juga tidak mendapat uang pensiun, pesangon, ataupun santunan kematian. Untuk menutupi kebutuhan hidup yang menumpuk, banyak kepala desa dan perangkat desa di Kecamatan Sukolilo yang nyambi bekerja sebagai tukang batu, jualan tape keliling, tukang ojek, dan lainnya. Bahkan Sumanto, Kepala Desa Sumber Soka, tanpa malu mengakui biasa berutang kepada tetangganya, terutama selama menghadapi bulan Besar, saat banyak warga menggelar hajat pernikahan. "Kami ini selain ujung tombak juga ujung tombok (tekor)," ujarnya sambil tertawa berderai.
Agar para kepala desa tidak terus tombok, Kepala Desa Kedung Winong, Sukolilo, Sudir Santosa, mendirikan Persatuan Perangkat Desa (Pradja) se-Jawa Tengah di Solo, Kamis pekan lalu. Anggotanya terdiri dari para kepala desa dan perangkat desa.
Setelah capek mengadu ke parlemen daerah tanpa hasil, wadah ini didirikan untuk memperjuangkan hak-hak minimal perangkat desa, seperti mendapatkan tanah bengkok. Syukur-syukur bisa meraih gaji sesuai dengan standar pendidikan, dengan golongan pangkat dan jabatan layaknya pegawai negeri sipil. Sebab, selama ini mereka toh diharuskan mengenakan seragam dan logo Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) untuk acara-acara tertentu. "Jika perangkat desa lulus SMA, ya, gajinya setara IIA sehingga bisa bekerja optimal," kata sarjana hukum dari Universitas Tujuh Belas Agustus, Semarang, yang ditunjuk memimpin Pradja itu.
Sebagai program kerja awal, enam bulan ke depan Pradja akan mengadakan negosiasi dengan pemerintah daerah. Kalau usul tak diterima? "Kami akan menanggalkan seragam dan logo Korpri," ujarnya agak mengancam.
Sayang, tak semua kepala desa seide dengan Sudir. Karsono Pudjo Ahmadi, yang sudah 15 tahun menjadi Kepala Desa Ngargotirto di tepi Waduk Kedungombo, tak yakin benar jika ada kades (kepala desa) atau pamong tak bergaji atau tak mendapat tanah bengkok. Ia menduga, kalau ada pamong yang tidak punya bengkok, mungkin sudah dijual karena tidak mau mengerjakannya.
Ny. Sri Daru Wahyuningsih, 52 tahun, punya pandangan serupa. Baginya, menjadi Kepala Desa Plumbon, Mojolaban, Sukoharjo, bukan cuma soal jenang (penghasilan) tapi juga jeneng (nama baik). Jeneng itulah yang menuntut kades harus berperan dan menyediakan 24 jam waktunya bagi warga. "Kalau dihitung materi semata, ya, sulit. Apalagi jadi kades tak mendapat pesangon atau pensiun," ucapnya.
Karena itu, keduanya melihat pembentukan Pradja tak lepas dari kepentingan politik jangka pendek. Apalagi, pada saat deklarasi, yang hadir justru Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang juga aktivis PDI Perjuangan, bukan Menteri Dalam Negeri.
Tentu Sudir menepis kecurigaan semacam itu. Selain kepada Menteri Jacob, jauh-jauh hari undangan juga dilayangkan ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koordinator Polkam Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya, hingga hari "H", Menteri Dalam Negeri tak memberi respons. Sementara itu, Yudhoyono menjanjikan bertemu Pradja pada 25 Januari, menurut Sudir. "Kami netral dan independen kok," Sudir meyakinkan.
Lebih independen lagi jika kelak (kalau perjuangan itu berhasil) yang menggaji mereka bukan partai tertentu, melainkan pemerintah.
Sudrajat, Anas Syahirul, dan Imron Rosyid (Solo), Bandelan Amarudin (Kudus)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo