Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Diplomasi tanpa Basa-basi

Jokowi ingin pertemuan bilateral dengan pemimpin negara lain membahas kemungkinan kerja sama, tidak abstrak. Tawaran Cina dinilai lebih nyata.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH setengah jam lebih, tapi pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama belum juga usai. Padahal agenda itu hanya dijadwalkan dua puluh menit. Jokowi juga telah ditunggu pertemuan bilateral lain pada sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik alias APEC di Beijing, Cina, Senin pekan lalu itu, yakni dengan Presiden Vietnam Truong Tan Sang.

Pertemuan Jokowi dan Obama di Hotel Westin, Beijing, membahas beragam hal, dari terorisme hingga wabah ebola. Jokowi dan sejumlah pejabat yang mendampingi serius memperhatikan setiap pernyataan, lalu mencatat poin-poin pentingnya. Tiba-tiba, menurut Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Obama mengatakan, "Finally, I have one last question."

Delegasi Indonesia bersiap mencatat. Obama, yang melalui masa kecilnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, melanjutkan, "Apa di Puncak masih ada ikan bakar?" Jokowi tergelak, begitu juga anggota delegasinya. Lalu Presiden Jokowi menjawab, "Tentu masih, banyak, dan bikin macet."

Obama barang kali berusaha mencairkan situasi. Sebab, menurut Andi, dalam pertemuan tertutup itu kedua negara belum mencapai kesepakatan. Jokowi mengatakan Amerika lebih banyak membahas isu global, seperti radikalisme, ekstremisme, juga keamanan kawasan. Adapun Indonesia dari awal menginginkan kerja sama ekonomi yang nyata.

Jokowi sejak berangkat mengatakan kunjungan pertamanya ke luar negeri sebagai presiden ini untuk mencari investor. "Saya dari awal straight to the point: mau kerja sama ekonomi di bidang infrastruktur seperti pelabuhan? Kamu bisa yang mana?" katanya. Obama, menurut dia, berjanji menindaklanjuti permintaan itu, tapi tidak memberi jawaban tegas. Hal itu berbeda dengan para pemimpin Cina, Jepang, dan Korea Selatan, yang juga bertemu dengan Jokowi di kota itu.

Penasihat Jokowi, Rizal Sukma, mengatakan sudah menduga bahwa Amerika tidak akan memberi penekanan lebih pada isu ekonomi. Menurut dia, gaya diplomasi negara itu dalam pertemuan-pertemuan bilateral memang seperti itu. Jokowi pun mengatakan maklum terhadap pendekatan ala Amerika Serikat yang tidak sesuai dengan keinginannya. "Masak, saya maksa? Kepentingan ekonomi setiap negara kan berbeda-beda," ujarnya. Ia menegaskan akan berfokus pada negara yang bersedia menjalin kerja sama nyata guna mewujudkan program prioritasnya, yaitu pembangunan infrastruktur, khususnya kelautan.

Bagaimanapun, Obama terus berusaha menunjukkan perhatiannya pada Indonesia. Ia berbicara dengan bahasa Indonesia jika berada di dekat Presiden Jokowi. Selama pertemuan, menurut Andi, Obama beberapa kali mengangguk sebelum penerjemah mengartikan pernyataan Jokowi, yang berbicara dalam bahasa Indonesia.

Sesekali Obama juga menanggapi pernyataan Jokowi dengan bahasa Indonesia. Andi Widjajanto mencontohkan, ketika Jokowi menjelaskan hubungan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia, Obama menjawab, "Biasanya memang begitu. Saya juga sama di Kongres. Susah."

Sebagai "pendatang baru", Jokowi cukup banyak bertemu dengan koleganya dari sejumlah negara. Berbeda dengan kepala negara lain yang umumnya "diplomatis", pengusaha mebel itu berbicara langsung ke persoalan. Hal itu terlihat pada pertemuannya dengan Presiden Cina Xi Jinping di Kantor Parlemen, Great Wall of People.

Dalam pertemuan itu, Jokowi menyampaikan pentingnya Bank Infrastruktur Asia. Ia juga mendorong agar kantor pusat bank itu berada di Jakarta, bukan Beijing. "Mereka tak menduga Jokowi akan berbicara soal bank pembangunan infrastruktur," kata Andi. Apalagi meminta kantor pusat bank yang 50 persen sahamnya dimiliki Cina berlokasi di Jakarta.

Andi menuturkan, delegasi Cina pendamping Presiden Xi Jinping yang tadinya duduk tertib di belakang tiba-tiba sibuk berkomunikasi. Para pejabat itu, termasuk Menteri Luar Negeri Wang Yi, bertukar catatan, berbisik-bisik, dan saling bertukar kode. "Bahkan ada yang memberi catatan langsung ke Presiden XI Jinping," ucap Andi.

Permintaan Jokowi yang mungkin dianggap berlebihan oleh para pejabat Cina sepertinya tak banyak mempengaruhi Xi Jinping. Ia tetap berbicara formal, dengan bahasa-bahasa diplomasi. Ia pun berusaha menunjukkan keramahan kepada Indonesia. Dalam pidato awal pertemuan bilateral, Xi sengaja mengucapkan peribahasa Indonesia. "Pepatah di Indonesia berbunyi jauh di mata dekat di hati. Indonesia-Cina terpisah samudra, tapi gelombang laut tak menghalangi kita. Dari Cheng Ho hingga Konferensi Asia-Afrika," kata Xi.

Xi kemudian meminta Jokowi duduk tepat di sebelah kirinya dalam jamuan makan malam untuk pembukaan KTT APEC. Saat berfoto bersama, lagi-lagi Xi meminta Jokowi berdiri di sebelahnya. "Kamu harus lihat simbolnya: itu pasti ada maksudnya," ujar Jokowi kepada pers Indonesia.

Cina menawarkan kerja sama pembangunan pelabuhan, infrastruktur kereta api, juga pembangkit listrik. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, menurut Jokowi, Cina menyodorkan tawaran kerja sama yang lebih nyata. Namun, ia mengatakan, Indonesia tidak akan lebih "pro-Cina" dibanding Amerika Serikat.

Rusia pun ternyata memberikan banyak tawaran bagi Indonesia. Dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Vladimir Putin, Jokowi mengaku ditawari banyak kerja sama ekonomi. Putin bahkan disebutnya menyatakan sektor-sektor yang mereka incar. "Putin berbicara panjang sekali. Pak Jokowi malah tidak bisa berbicara banyak," kata Andi.

Gaya diplomasi Putin pun sangat berbeda dengan Xi Jinping atau Obama. Menurut Andi Widjajanto dan Rizal Sukma, Putin berbicara dengan sangat tegas, tanpa jeda, kaku, tapi penuh dengan tawaran konkret. Menurut Andi dan Rizal, secara karakter, Jokowi paling nyaman berkomunikasi dengan Obama. Tapi, secara substansi, Xi Jinping-lah yang paling sesuai dengan keinginan Jokowi. "Kalau Putin, kami menyebutnya seperti senapan angin, langsung dan tanpa jeda," ucap Andi.

Jokowi memerlukan beberapa pekan untuk menyiapkan materi berbagai pertemuan itu. Andi Widjajanto dan Rizal Sukma sejak masa transisi bahkan telah menyiapkan substansi pidato serta agenda yang akan dibawa. Menurut Andi, Tim Transisi pimpinan Rini Soemarno ketika itu beberapa kali berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri. Setelah Retno Marsudi ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri, tanggung jawab menyiapkan materi diserahkan ke Kementerian Luar Negeri.

Materi awal pidato disiapkan Kementerian Luar Negeri. Bahan "kasar" disampaikan kepada Jokowi, yang kemudian membahasnya bersama Menteri Retno Marsudi, Rizal Sukma, dan Andi Widjajanto. Jokowi beberapa kali merevisi dan mengoreksi materi, karena pidato yang disiapkan dinilainya terlalu mengambang. Revisi dan koreksi pidato masih dilakukan sehari sebelum Jokowi berpidato pada sesi retreat KTT APEC. Para pembantunya begadang hingga pukul dua dalam keperluan ini.

Menurut Rizal, Jokowi kadang-kadang menyiapkan pidato sendiri. Di antaranya ketika ia diundang para pemimpin perusahaan-perusahaan internasional dalam acara APEC CEO Forum. Dengan bahasa Inggris sederhana, Presiden Jokowi memaparkan berbagai kesempatan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. "It is your opportunity," katanya beberapa kali.

Nanda Teresia (Beijing)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus