DI Mataram, bukan tekstil soalnya. Tapi penyelundupan sapi dari
Bali ke Lombok yang jadi perhatian. Sebab dicemaskan
perekonomian sapi di pulau itu akan menjadi rusak. Harga seekor
sapi Bali yang diselundupkan ditambah ongkos, akan jadi cuma
setengah dari harga binatang itu di Lombok. Tapi Kepala Dinas
Peternakan Daerah Tingkat I Nusatenggara Barat, drh. M. Marcana
tidak bersedia mengungkapkan masalah tersebut, walaupun tidak
juga menyangkal adanya penyeiundupan lokal itu. "Kami masih
menyelidikinya", kata pejabat itu kepada TEMPO, Pebruari yang
lalu.
Pembantu TEMPO yang sempat meninjau lokasi penyelundupan itu
--daerah Sekotong yang menghadap langsung ke Pulau Bali dan Nusa
Penida -- menilai bahwa persoalan itu sudah berjalan agak lama.
Telah empat-lima tahun terakhir ini, dan sudah mencapai angka
300 ekor. Menurut pihak Kepolisian Sektor Gerung, Lombok Barat,
penyelundupan tersebut baru diketahui sekitar akhir Januari yang
lalu ketika petugas-petugas Dinas Peternakan Kabupaten Lombok
Barat melakukan vaksinasi di Sekotong. Segera terlihat sapi-sapi
Bali yang sudah menjadi milik peternak. Mereka segera melaporkan
hal itu pada Kepalanya, ir. Lalu Wijaya. Esoknya pejabat-pejabat
Dinas, dibantu pihak Kepolisian melakukan pemeriksaan di
tempat. Dari hasil penggerebegan sempat ditangkap 5 ekor sapi
yang diselundupkan bersama penyelundupnya, NS. Si penyelundup
dan selundupannya ditahan. Tapi kemudian kelima binatang
tersebut dibunuh dan dibakar. Sedangkan NS masih terus diusut
dan dikenakan wajib lapor ke Pos Polisi Sektor Gerung.
Boyong Sapi
Sumber TEMPO di Mataram mengatakan penyelundupan itu dilakukan
dengan memakai perahu bermotor. Dari Lombok mereka membawa beras
dan kayu, dan dari Bali mereka boyong sapi-sapi -- ketimbang
perahu-perahu tersebut berlayar kosong. Petugas Dinas tidak
begitu gusah menandai sapi Bali. Pada telinga hewan itu ada
bekas guntingan sedikit yang menunjukkan di pulau asalnya mereka
sudah disuntik.
Mengingat perkiraan masa penyelundupan yang sudah begitu lama,
dikhawatirkan sapi Bali itu bisa menyebar sampai ke Pulau
Sumbawa. Di sana ada sapi-sapi bantuan Presiden Suharto untuk
Sumbawa, yang pada saat ini berjumlah 1326 ekor.
Sudah lebih 10 tahun Bali jadi daerah tertutup untuk sapi. Tidak
boleh masuk dan tidak boleh ke luar. Ekspor sama sekali
dihentikan. Daerah-daerah tidak lagi mendatangkan sapi untuk
pembibitan dari pulau tersebut. Di sana sedang berjangkit
penyakit yang terkenal ganasnya, yaitu penyakit AE (mulut dan
kuku) serta penyakit jemberana, yang sampai sekarang masih belum
ditemukan obatnya karena merupakan penyakit baru. Saat ini sapi
Lombok memang belum terjangkit penyakit demikian. Tapi kabarnya
itu tidak berarti bahwa penyakit itu tak akan bisa timbul
sewaktu-waktu -- singkatnya penyakit tersebut masih belum
menemukan iklim untuk kambuh. Daerah Sekotong terkenal dengan
potensi sapinya. Pernah pada kesempatan vaksinasi, tidak kurang
dari 3 ribu sapi dibawa pemiliknya untuk disuntik. Ketakutan
akan kejangkitan penyakit makin beralasan bila diingat, vaksin
untuk kedua jenis penyakit di atas harus didatangkan dari Jepang
atau Australia.
Hingga sekarang belum terlihat adanya usaha penanganan serius
terhadap masalah ini. Soalnya wewenang siapa: Kabupaten, karena
lokasinya di situ ataukah Pemerintah Tingkat I untuk memudahkan
koordinasi gerakan. Sebenarnya Dinas Peternakan Kabupaten ada
niat untuk mengambil sikap tegas, membunuh seluruh sapi yang
berasal dari pulau tetangganya itu. Tapi dari mana uang untuk
membayar ganti rugi pemilik, karena mereka umumnya pemegang
kedua, atau ketiga malah kebmpat. Uang yang sebanyak itu tak
mungkin ditanggung Dinas tingkat kabupaten itu.
Tak Setetespun
Untuk pemasukan daerah, ekspor sapi dari Lombok memegang peranan
yang penting, biarpun tidak samnai taraf menentukan. Namun
ekspor ini sudah menurun sejak tahun lalu, seperti dikatakan
drh. M. Marcana kepada TEMPO. Untuk tahun 1975 yang lalu, target
ekspor adalah 9 ribu ekor, tapi yang terjangkau baru 4 ribu.
Sedangkan untuk kerbau, dari target yang 10 ribu, baru bisa
terlaksana 3 ribu. Pemerosotan, menurut Kepala Dinas Peternakan
Daerah Tingkat I Nusatenggara Barat itu adalah karena "terlalu
berat saingan dari luar negeri, terutama dari Australia, yang
sekarang juga mengekspor sapinya ke Hongkong. "Untunglah hal
negatif ini diimbangi oleh kenaikan ekspor antar pulau. Pada
1975 ekspor sapi interinsuler ini mencatat 1173 ekor dan kerbau
4806.
Nah beberapa kalangan menakutkan ekspor lokal ini akan menurun
pula bila masalah penyelundupan yang jadi pokok masalah di atas
terungkap secara luas. Daerah-daerah lain bakal tidak akan
berani membeli sapi Lombok lagi, begitu juga importir di negara
sana. Ada yang menyarankan supaya diambil tindakan kilat,
mumpung sang penyakit belum timbul. Tapi, apa daya, saat ini tak
satu tetes pun vaksin untuk kedua penyakit itu tersedia di
Dinas-Dinas Peternakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini