SERANGAN Umum 1 Maret 1949 terhadap Yogyakarta kembali dibicarakan. Gagasan siapakah serangan yang dipimpin Letkol. Soeharto yang kini Presiden RI itu? Pertanyaan ini muncul lagi Selasa pekan lalu, ketika Jenderal (Purn) A.H. Nasution, 71 tahun, memperkenalkan buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 2A. Dalam buku yang dimaksudkannya sebagai penyempurnaan terhadap jilid 2 sebelumnya itu, bekas KSAD dan Ketua MPRS yang produktif menulis itu mengemukakan fakta baru serangan itu tak lepas dari instruksi rahasia Panglima Divisi III, Kol. Bambang Soegeng, yang memerintahkan Letkol. Soeharto "untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibu Kota", antara 25 Februari dan 1 Maret 1949. Ketika itu Yogyakarta, yang menjadi ibu kota RI, diduduki oleh pasukan Belanda -- terkenal dengan Agresi Militer Belanda II. Brigade X pimpinan Letkol. Soeharto beberapa kali menyerang kota, dan berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Peristiwa ini disiarkan oleh radio AURI di Gunungkidul dan ditangkap stasiun radio luar negeri, hingga terdengar oleh perwakilan RI di PBB. Dengan edisi baru itu, Nasution bermaksud menjelaskan duduk soalnya. Itu sebabnya ia memuat pula beberapa dokumen penting. Selain instruksi Bambang Soegeng, juga ada laporan Jenderal S.H. Spoor, Panglima Besar Tentara Kerajaan Belanda waktu itu. "Debat" tentang siapa pemilik gagasan melancarkan serangan umum itu bermula pada 1985, ketika bekas Wali Kota Yogyakarta, Mr. K.P.H. Soedarisman Poerwokoesoemo, mempersoalkannya. Katanya, inisiatif serangan dan komando penyerangan jelas dari Pak Harto. Tapi yang belum jelas, itu gagasan siapa. Mungkin gagasan Pak Harto, yang ketika itu Komandan Wehrkreise III/Brigade X, mungkin Bambang Soegeng yang atasan Letkol. Soeharto, mungkin pula Nasution yang ketika itu Panglima Komando Jawa. Juga mungkin ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Belakangan Presiden Soeharto, melalui Asisten Menteri/Sekretaris Negara Urusan Media Massa, G. Dwipayana, menjelaskan bahwa serangan umum itu inisiatifnya. "Tanyakan saja kepada yang bersangkutan, yang masih hidup, apakah pernah memberi komando Serangan Umum 1 Maret atau tidak," katanya ketika itu. Dalam buku Nasution itu juga dimuat wawancara Sri Sultan HB IX dengan BBC London. Yaitu bahwa Sri Sultan mengirim kurir kepada Panglima Besar Sudirman, "meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilnya." Komandan gerilya itu ialah Pak Harto. Dalam biografi Tahta untuk Rakyat, disebutkan pula bahwa Sri Sultan segera memanggil Pak Harto. Dan dalam pertemuan pada 13 Februari 1949, Sri Sultan "menanyakan kesanggupan Letkol. Soeharto untuk mempersiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu". Laporan Jenderal Spoor bahkan mencurigai bahwa serangan umum itu dikomando dari dalam Keraton Yogyakarta. Rupanya, lantaran munculnya beberapa versi mengenai pemilik ide dan pengambil inisiatif serangan umum itu, Nasution lantas menyempurnakan bukunya. Lebih-lebih setelah Sekolah Staf dan Komando TNI-AD menerbitkan buku Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya, pada 1989. Buku ini diserahkan secara resmi oleh Danjen Seskoad, Mayjen. Faisal Tanjung, kepada Presiden Soeharto 6 Maret 1989. Dari buku itulah Nasution mengutip instruksi Bambang Soegeng. Yang penting dari buku ini ialah: gagasan Soeharto dan Sri Sultan untuk segera melancarkan serangan umum sejalan dengan perintah Bambang Soegeng kepada Letkol. Moh. Bachroen, Letkol. Sarbini, dan Letkol. Soeharto, masing-masing Komandan Wehrkreise I, II, dan III. Mereka diperintahkan menyerang Belanda secara serentak, "yang dapat menarik perhatian dunia luar, untuk menyatakan kebohongan keterangan Belanda". Bambang Soegeng pula yang pertama mengemukakan perlunya melawan propaganda Belanda, yang mengatakan seolah-olah perjuangan RI sudah lumpuh. Perintah itu disusul dengan instruksi rahasia untuk menyerang Yogya secara besar-besaran. Tapi, menurut Nasution, secara militer serangan umum itu -- yang di zaman ia menjabat KSAD tidak pernah diperingati -- tidak begitu penting. Sebab, pada saat yang hampir bersamaan, tahap ofensif itu juga dilancarkan di wilayah Divisi I (Jawa Timur), menyusul Divisi II (Jawa Tengah), lantas Divisi IV (Jawa Barat). Beberapa pertempuran cukup terkenal terjadi, misalnya, di Solo atau Mojokerto. Tapi, dari segi politik, serangan umum itu sangat penting, karena berhasil mempengaruhi jalannya perdebatan di Dewan Keamanan PBB. Selain serangan tersebut disiarkan radio, juga dikawatkan oleh tiga perwira komisi PBB, yang ketika itu kebetulan berada di Yogya. "Merekalah yang memelopori dihentikannya agresi Belanda," kata Nasution. Pendapat Letjen. (Purn.) Sutopo Juwono, bekas Kepala Bakin yang pada serangan umum 1 Maret itu menjabat kepala seksi intelijen Pak Harto, menarik. Dilihat dari asas perang, kata Dirut Astek ini, wajar bila Pak Harto menyatakan serangan umum itu inisiatifnya, meskipun hal itu juga tak lepas dari koordinasi militer. "Jadi, berdasarkan levelnya, masing-masing mempunyai peranan," ujarnya. Artinya, Panglima Besar Sudirman dan wakilnya, A.H. Nasution, serta Bambang Soegeng sangat berperan -- meski terbatas berupa instruksi. Begitu pula Sri Sultan sebagai pemimpin sipil yang mempunyai karisma di kalangan masyarakat. Tapi Nasution sendiri, dalam bukunya itu, secara obyektif beberapa kali menegaskan peranan Soeharto sebagai pengambil inisiatif operasional. Ia menulis bahwa Letkol. Soeharto "mengambil keputusan untuk menyerang Kota Yogya tanggal 1 Maret" dan mengambil "inisiatif operasional untuk melakukan serangan". Nasution juga mengutip isi surat Panglima Besar Sudirman kepadanya, yang menyatakan kepuasannya terhadap keadaan Yogya setelah serangan umum. Sudirman menyebut Soeharto sebagai "bunga pertempuran". Budiman S. Hartoyo, Budiono Darsono, dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini