INILAH perhelatan yang sarat dengan suasana Jawa. Setiap seseorang bicara, terdengar salam, "Rahayu...." Alunan tembang Jawa, mocopatan, mewarnai Munas Ke-5 Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK) yang dilaksanakan di Wisma Hastorenggo Kaliurang, Yogyakarta, Senin sampai Kamis pekan lalu. Ada suasana tenang dan khusyuk di sini. "Dibandingkan dengan munas organisasi yang lain, barangkali munas kali ini lebih tenang. Gejolak hampir tak pernah muncul," kata Soedjonowoyo, salah seorang ketua panitia Munas. Pada awalnya, Munas yang dihadiri 400-an peserta dari 190 aliran kepercayaan, dan dibuka Menko Kesra Soepardjo Rustam itu, memang mengisyaratkan ketenangan tersebut. Pertanggungjawaban pengurus pusat yang disampaikan Ketua Umun HPK Zahid Hussein, misalnya, diterima oleh sidang pleno Munas secara aklamasi. "Tradisi kami adalah mikul dhuwur mendhem jero. Kami menghargai apa yang baik yang dilakukan Ketua Umum, dan membuang prasangka serta perasaan tak enak," kata Ketua HPK Jawa Tengah Tulus Kusumo Budoyo pada TEMPO. Sampai di sini, tampaknya Zahid, 64 tahun, Kepala Biro Proyek-Proyek Bantuan Presiden Sekretariat Negara, dan sudah dua periode memimpin HPK (sejak 1979) akan terpilih kembali untuk ketiga kalinya. Ia sendiri tampaknya tak menolak untuk dipilih kembali. "Sebenarnya saya sudah capek. Tapi, kalau Munas menghendaki saya lagi, apa boleh buat," katanya. Namun, dalam musyawarah para penghayat kepercayaan, apa yang terlihat nyata ternyata belum tentu merupakan fakta yang sebenarnya. Penerimaan pertanggungjawaban itu ternyata tak serta-merta melicinkan jalan Zahid menuju tangga ketua. Seyogyanya, Munas cuma berlangsung Senin sampai Rabu pekan lalu. Di hari terakhir, Rabu sore, tujuh formatur untuk menyusun pengurus baru telah terpilih. Ternyata, sesudah tim formatur bersidang tiga jam lebih, sampai pukul 20.00 WIB Rabu malam itu, pengurus tak juga tersusun. Tulus Kusumo Budoyo, yang saat itu jadi pimpinan sidang pleno, lalu mengajak hadirin berdoa agar formatur bisa secepatnya menyelesaikan tugas. Ada yang tampil memimpin upacara doa itu. Terdengar, "Honocoroko dotosowolo podojoyonyo mogobotongo...." Seorang peserta berbisik kepada TEMPO, doa itu biasanya digunakan sebagai perlambang ada perbedaan pendapat. Sidang diskors menunggu formatur bersidang. Lalu peserta bergantian melagukan tembang Jawa. Rupanya, rapat formatur berjalan teramat alot. Sampai tengah malam, belum juga mufakat tercapai. Akhirnya, terpaksa Munas itu diperpanjang sampai keesokan harinya. Kamis pagi, para peserta sidang pleno akhirnya menyetujui permintaan formatur, agar mereka diberi waktu satu bulan untuk menyusun pengurus baru. "Munas ini belum selesai, tapi diskors satu bulan," kata Tulus. Maka, pada 21 Januari yang akan datang, Munas itu akan dilanjutkan di Jakarta, dan saat itu diharapkan susunan pengurus sudah terbentuk, dan ketika itu pula seluruh keputusan lainnya akan diumumkan. Berbagai sumber di Munas itu mengungkapkan, konflik terjadi dalam memilih Ketua Umum HPK. Banyak keluhan yang menyatakan bahwa pengurus yang lalu kurang berhasil mendekati pemerintah. Maka, muncullah surat Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mengakibatkan penganut pengikut HPK tak bisa lagi menikah di kantor Catatan Sipil, seperti sebelumnya (lihat Mau Kawin Dipersulit?). Yang lain, soal KTP. Sampai sekarang, pemerintah tak membenarkan para penghayat (sebutan untuk pengikut aliran kepercayaan) untuk mengisi "kepercayaan" dalam kolom agama di kartu tanda penduduk. "Saya sendiri pernah mendapat kesulitan dalam soal itu. Dalam kolom agama di KTP saya ditulis Islam. Lalu setelah saya menjelaskan begini dan begitu, akhirnya selesai. Di kolom itu ditulis tanda strip (-)," kata Arymurthy, 67 tahun, bekas Direktur Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen Kebudayaan Departemen P dan K, kepada TEMPO. Tapi, bagi banyak anggota HPK, tanda strip di KTP itu -- atau soal perkawinan dan banyak lagi yang lainnya itu -- malah dirasakan sebagai ketidakadilan. Itu terungkap jelas ketika di hari kedua Munas tampil Menteri Penerangan Harmoko dan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono untuk memberikan pengarahan. Dalam acara tanya-jawab, keluhan tentang ini bermunculan dari floor. "Penghayat dianggap WNI minus," kata seorang hadirin. Sebagai indikasi, ia menunjuk contoh: strip di KTP, soal perkawinan tadi, janji atau sumpah jabatan bagi penghayat yang pegawai pemerintah belum diakui, belum ada makam khusus bagi kaum penghayat, dan sebagainya. "Jangan merasa diminuskan, karena yang berhak memberi nilai minus atau plus pada kita hanya Tuhan. Jadi, jangan gelisah," kata Sukarton. Lalu Jaksa Agung mengajak anggota HPK agar mendahulukan kepentingan nasional. Janganlah mempersoalkan hal-hal yang seremonial, yang akhirnya mengorbankan kepentingan yang besar itu. Yang penting, kata Sukarton, pemerintah tetap mengakui eksistensi aliran kepercayaan. Di Munas itu terdengar juga bisik-bisik, yang menuding Ketua Umum HPK yang lama terlalu condong ke Islam. Zahid Hussein memang beragama Islam, malah ia sudah pernah pergi naik haji. Maka, ada yang menyebutkan, ia sering konflik dengan Arymurthy, Ketua I HPK, yang sama-sama berasal dari paguyuban Sumarah. Arymurthy mengaku secara pribadi tak ada soal dengan Zahid. "Gagalnya Munas itu bukan karena ada perpecahan antara saya dan dia, tapi karena tak dicapai persesuaian di sana," katanya. Kemudian, menjawab pertanyaan, sarjana ekonomi UI, mengatakan bahwa hadirin memang tak menyetujui manajemen yang dijalankan Zahid Hussein selama ini. Tak jelas betul apa yang dimaksudnya. Katanya, "Mungkin yang mereka rasakan, pebinaan oleh pimpinan selama ini kurang." Dan itu berakibat eksistensi HPK belakangan kurang terasa. Untuk menunjukkan eksistensi itu ia susun konsep pancagatra, yang meliputi berbagai problem yang kini dipersoalkan, seperti perkawinan, KTP, atau janji/sumpah jabatan. Tahun lalu konsep itu sudah ia serahkan ke pengurus pusat HPK. "Mereka tak menanggapi, ya sudah," ujarnya. Arymurthy absen di Munas Kaliurang itu karena alasan pribadi. "Ciri khas HPK itu spiritual. Nah, sekarang itu dipakai atau nggak. Kalau nggak, buat apa saya hadir," cuma itu katanya. Menurut sumber TEMPO, sidang formatur yang tertunda itu disebabkan masih ada formatur yang tetap mempertahankan Zahid Hussein untuk kembali memimpin HPK. "Misalnya dari Yogya dan Sumatera Utara," ujar sumber itu. Sementara itu, yang lain menginginkan jabatan itu untuk Permadi, kini Direktur Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen P dan K. Ada pula yang mendukung nama lain, seperti putra bekas Irjenbang mendiang Sudjono Hoemardani, Djoko Moersito, yang kini memimpin paguyuban Panca Jaya. Maka, buntu jadinya. Dalam penjelasan resmi dari Tulus selaku pimpinan sidang, tertunda-tundanya sidang formatur karena formatur masih kekurangan bahan tentang data para calon pengurus. "Di masa datang HPK menghadapi tantangan yang cukup berat, maka diperlukan tokoh yang lebih andal," katanya. Di samping itu, menurut dia, bagi para calon yang akan ditampilkan, masih akan dimintakan persetujuan pemerintah. Malah Sanyoto, Ketua HPK NTB, secara terus terang mengatakan, sebaiknya Ketua Umum HPK diserahkan saja pada Presiden Soeharto. "Saya rasa Presiden cukup arif untuk menentukan siapa ketua kami," ujarnya. Amran Nasution, Aries Margono, Syafiq Basri Assegaf, dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini