Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAP plasik hitam lumayan tebal itu beredar dari tangan ke tangan di ruang rapat kantor majalah Tempo, Jakarta, Selasa pekan lalu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Emir Moeis tengah menunjukkan bukti tabungan dan investasinya di Bank Century sejak 2004. ”Mudah-mudahan setelah ini saya tidak ditulis-tulis lagi,” katanya.
Ditemani rekan satu partainya Firman Jaya Daeli, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berkunjung. Dia menjelaskan duduk perkara rekening giro valas miliknya di Bank Century. Soalnya, dalam dokumen Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang bocor ke wartawan dua pekan lalu, Emir disebut-sebut menerima dana valas secara tidak sah.
Tempo mula-mula membaca saduran laporan PPATK itu di akun Facebook milik seorang wanita bernama Nuky Andria. Data transaksi yang konon adalah laporan PPATK kepada Panitia Khusus Hak Angket Bank Century itu mencatat ada setoran tunai berkali-kali ke rekening ZEM—singkatan dari Zedrick Emir Moeis—di Bank Century selama 2007-2008.
Lazimnya, jika nasabah ingin menyetor tunai ke rekening miliknya di bank, ia pasti menyerahkan fisik uang yang hendak ditabung. Dalam kasus Emir tidak demikian. Semua uang yang masuk ke rekening Emir berasal dari kas valas Bank Century sendiri. Inilah yang mencurigakan.
Sepanjang 2007 hingga November 2008 aliran dana yang mencurigakan ini mencapai US$ 337.092. Itu belum termasuk penyerahan tunai US$ 217.400 yang tidak tercatat di pembukuan Century periode 2008.
Siang itu Emir bercerita telah menjadi nasabah Century sejak 2004. Selain mempunyai rekening giro valas, dia juga memiliki giro rupiah, tabungan rupiah, dan deposito rupiah yang lumayan besar: Rp 2,25 miliar.
Sebagai nasabah private banking, dia sering dilayani oleh account officer bernama Steffanie. Untuk semua transaksi setoran, penarikan, bahkan kalau mau membayar tagihan, Emir cuma perlu menelepon. Steffanie melakukan semuanya untuk dia. ”Enaknya di situ,” katanya. Pelayanan yang bagus inilah alasan utama Emir menjadi nasabah Century. ”Yang nawarin Steffanie. Tapi saya tanya juga ke Bank Indonesia. Katanya aman. Ya, saya percaya,” kata Emir.
Sosok Steffanie tak jelas betul. Menurut Emir, Steffanie tidak muda lagi, tahun ini usianya genap 63 tahun. Dua pekan lalu Tempo menghubunginya via telepon genggam, dan ia mengakui mengurus transaksi Emir di Century sejak 2004. ”Namanya juga private banking, yang lain juga begitu,” katanya (lihat ”Aliran Dana di Akun Facebook”, Tempo, 15-21 Februari 2010).
Tapi setelah itu dia sulit dihubungi. Pekan lalu sekali lagi dia menjawab telepon, namun buru-buru memutus hubungan. ”Ada meeting,” katanya. Suaranya renyah—tak terdengar seperti suara wanita usia lanjut.
EMIR gerah mengapa PPATK hanya mencatat dana yang masuk ke rekeningnya. ”Padahal saya kan juga memasukkan dana ke sana,” katanya. Dia mengaku berinvestasi di promissory notes dalam dolar Amerika sejak 2006. Pada 2007 dia pernah menaruh hingga US$ 420 ribu. ”Bunganya lumayan, satu persen per bulan. Kalau saya masukin seratus ribu dolar, dapat seribu tiap bulan,” katanya.
Fotokopi sertifikat promissory notes itulah yang ditunjukkan Emir di ruang rapat majalah ini. Ada beberapa, rata-rata bernilai US$ 100 ribu, atas nama Zedrick Emir Moeis. ”Ini bukti penyetorannya. Jadi nggak bodong kan?” katanya.
Tak ada yang salah dengan promissory notes. Pengamat perbankan Mirza Adityaswara mengatakan, bank boleh menjual promissory notes. Dan karena merupakan surat pengakuan utang jangka pendek, ini tak perlu dilaporkan ke Badan Pengawas Pasar Modal. Lazimnya surat pengakuan utang dibayarkan saat jatuh tempo. Meski demikian, menurut Mirza, model pembayaran lain bisa saja terjadi. ”Ya, tergantung yang diperjanjikan,” katanya.
Dalam kasus Emir, setoran tunai tanpa fisik yang dia sebut bunga promissory notes itu terasa ganjil. Biasanya bunga investasi dibayarkan tanggal tertentu setiap bulan. Rekening giro valas Emir dalam sebulan bisa menerima hingga enam kali setoran. Paling sedikit tiga kali, dan tanggal penerimaannya acak alias tak berpola.
Pengakuan Emir bahwa setoran ke rekeningnya merupakan pembayaran bunga satu persen per bulan dari investasinya pun tidak tergambar dalam catatan transaksi yang dilaporkan PPATK. Katakanlah pada 2007 investasi Emir US$ 420 ribu. Harusnya untuk itu dia mendapatkan bunga US$ 4.200 per bulan. Nyatanya setoran tunai tanpa disertai penyerahan fisik bank notes ke rekening Emir per bulan selama 2007 bervariasi. Bahkan pada bulan Maret total setoran mencapai US$ 71.500 dalam empat kali transaksi. Mengenai ini Emir berkilah, setoran besar terjadi karena dia menarik sebagian investasinya—argumen yang sulit diterima mengingat mestinya setoran itu justru mengecil.
Sayang, Direktur Utama Bank Mutiara Maryono tak mau banyak berkomentar. Usai menemui anggota Panitia Khusus di kantornya, Selasa pekan lalu, Maryono mengatakan tak banyak tahu kasus Emir. ”Saya belum melihat berkasnya,” katanya.
Tapi seorang bekas karyawan Century menegaskan bank itu tidak pernah mengeluarkan promissory notes. ”Itu bukan produk kami,” katanya. ”Bisa jadi ini mainan Robert, sama seperti Antaboga.” Kalau merujuk sertifikat yang ditunjukkan Emir, promissory notes itu memang sama sekali tidak punya kaitan dengan Bank Century. Pada kop tertulis CIC Investment Corporation. Ini perusahaan investasi yang di atas kertas berkantor di British Virgin Island.
Nama CIC juga dipakai sebagai nama bank milik Robert Tantular sebelum dilebur bersama Pikko dan Danpac menjadi Century. Tempo menanyakan hal ini kepada Robert, yang kini mendekam di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung, melalui pengacaranya Bambang Hartono. Ia membantah. ”Dia bilang nggak pernah tahu soal promissory notes milik Emir,” kata Bambang.
SUMBER di Bank Mutiara curiga, valas yang disetor Dewi Tantular ke rekening Emir berasal dari US$ 18 juta yang dicuri dari rekening Boedi Sampoerna. ”Itu sudah diketahui lama, dan sudah dilaporkan ke polisi,” katanya.
Kecurigaan ini cocok dengan cerita Kepala Satuan Kerja Audit Internal Century, Susana Coa. Selama ini Robert Tantular mengaku meminjam uang Boedi US$ 18 juta untuk mengganti kerugian valas Century yang menjadi tanggung jawab Dewi. Di hadapan Panitia Khusus Century pada Januari lalu, Susana mengatakan itu fraud.
Susana mulai mengendus kejahatan yang dilakukan Dewi itu sejak Januari 2008. Setiap kali dia mengecek akun valas Century pada beberapa tanggal berbeda dalam sebulan, selalu ada catatan tentang valas yang dikirim ke Singapura. ”Tapi waktu itu Ibu Dewi bilang memang benar kok ada yang ditransfer,” kata Susana.
Baru setelah manajemen Century berganti, fraud yang dilakukan Dewi terkuak. Pada suatu hari mendadak Susana dipanggil Erwin Prasetio, Direktur Operasional dan Teknologi. ”Saya masuk ke ruangan Pak Erwin, sudah ada yang bernama TIT,” katanya. Di situlah dia diberi tahu bahwa temuan dia dulu benar. TIT adalah inisial dari Tjoeng I Tung, Kepala Bagian Valas Bank Century. Menurut laporan PPATK, Tjoeng-lah yang membuat slip setoran jika Dewi hendak menyetor dolar ke rekening giro valas milik Emir. Dia pula yang membuat surat pengantar jika Dewi mau mencairkan sejumlah bank notes untuk Emir.
Dewi, yang konon sudah melarikan diri ke Singapura, tak bisa dimintai konfirmasi. Mengaku tak mengenal Dewi, Emir menegaskan apa pun yang dilakukan Dewi itu bukan tanggung jawab dia. ”Mungkin benar dia menggelapkan uang untuk membayar saya,” kata Emir. ”Sebagai nasabah, proses di dalam kan saya nggak tahu.”
Kini Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri transaksi mencurigakan itu. ”Kami sedang melakukan verifikasi,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Johan Budi S.P. Menurut dia, KPK telah menerima dokumen lengkap seluruh transaksi yang diperiksa PPATK. ”Poin-poinnya dalam proses pemeriksaan,” katanya.
Dalam konferensi pers di gedung DPR, Senin pekan lalu, politikus PDIP yang juga Wakil Ketua Panitia Khusus Century, Gayus Lumbuun, menegaskan bahwa Emir justru korban kejahatan perbankan di Century. Menurut dia, sebagai nasabah Emir harus dibedakan dengan orang yang menerima uang haram dari Bank Century. Kata Gayus, ”Kalau banknya bermasalah, apa nasabahnya juga lantas bermasalah?”
Philipus Parera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo