Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU sore, April 2008. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Emir Moeis, menghubungi Steffanie, karyawati Bank Century, untuk menyetorkan sejumlah uang. Steffanie kemudian mengambil fulus itu di Wisma Bakrie 2. Uang itu tersimpan dalam kardus dan ditutup rapi dengan lakban. Isinya? ”Gak sampai dua miliar,” jawab Emir tertawa.
Kisah Emir dengan uang dalam kardus itu muncul dalam dokumen bertajuk Transaksi Keuangan Mencurigakan Atas Nama ZEM. Naskah itu menyebutkan Emir menelepon Steffanie, account officer private banking Bank Century, pada pukul empat sore untuk menyetorkan dana Rp 10 miliar ke Bank Century. Dana itu rencananya akan disimpan di kantor pusat operasional Century di Senayan, Jakarta. Steffanie lalu menjelaskan bahwa ketika itu kas sudah tutup.
Steffanie kemudian meminta izin Dewi Tantular, Kepala Divisi Surat Berharga Century. Dewi—kini buron—adalah kakak perempuan direktur Century, Robert Tantular. Dewi menyetujui penitipan dana Emir dengan syarat keesokan harinya dijadikan deposito.
Setelah mendapat izin dari Dewi, Steffanie bersama tiga orang dari Century mengambil dana di Wisma Bakrie 2. Steffanie menerima dana yang tersimpan dalam dua kardus dan ditutup rapi dengan menggunakan lakban dari sekretaris Nirwan D. Bakrie, adik Aburizal Bakrie.
Emir, ditulis dalam dokumen itu, menghubungi Steffanie dan menjelaskan bahwa dana yang tersimpan dalam kardus itu Rp 5 miliar, bukan Rp 10 miliar. Dana itu lalu dibawa ke kantor pusat Senayan dan diserahkan ke kasir valas Century, Tjoeng I Tung, pada pukul 18.30 untuk disimpan dalam khazanah bank.
Besoknya, Steffanie kembali dihubungi Emir yang mengatakan bahwa uang tak jadi didepositokan karena akan digunakan untuk kepentingan lain. Uang itu diambil secara bertahap oleh tiga orang tanpa tanda terima. Sekitar Juli 2008, Emir kembali menghubungi Steffanie dan menyuruh mengambil lagi dana di Wisma Bakrie 2. Kejadian berulang, sama seperti cerita sebelumnya.
Emir tak menyangkal alur cerita dalam dokumen itu. Menurut dia, uang itu dipakai untuk keperluan membayar gaji karyawan, surveyor, serta kebutuhan lain dalam bisnis bersama Nirwan. Emir mengaku menjalankan bisnis batu bara di Kalimantan Timur bersama Nirwan. Mengapa uang dikirim dalam kardus berlakban? ”Iya dong, kalau tidak dilakban kan bisa diambil orang,” kata Emir terkekeh. Soal uang itu diinapkan di Century meski kas dinyatakan telah tutup, Emir menjawab enteng, ”Kan besoknya mau dibayar. Kalau dibawa ke rumah malah lebih repot,” kata dia. Karenanya, ”Saya taruh di deposit box.”
Menurut Emir, Nirwan bukan orang baru baginya. Orang tua, bahkan kakek dan nenek Emir dan Nirwan, sudah saling kenal. Ia pun beberapa kali bergandengan dengan Nirwan dalam bisnis batu bara. ”Saya lebih pedagang, bukan penambang.”
Emir juga membantah uang itu berhubungan dengan kasus Lapindo. Pada 2008, kasus Lapindo di DPR memang masih hangat. Februari 2008, tim pengawas penanganan dampak semburan lumpur Lapindo DPR yang dibentuk pada September 2007 menyatakan bahwa lumpur Lapindo merupakan peristiwa alam, bukan kesalahan manusia. Sebagian besar peserta Rapat Paripurna DPR pada 19 Februari 2008 menolak laporan tim. Rencana interpelasi terhadap pemerintah pun kembali disuarakan. Paripurna DPR pada September tahun lalu akhirnya memutuskan lumpur Lapindo sebagai fenomena alam.
Emir mengatakan tak mengurusi soal Lapindo karena kasus itu ditangani komisi yang berbeda. ”Saya kan di komisi keuangan,” ujarnya. ”Uang itu juga tak ada kaitan dengan kasus Bank Century atau apa pun.”
Yandi M.R., Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo