Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Probo Darono Yakti, dosen program studi Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) mengafirmasi pernyataan Ganjar Pranowo dalam debat capres lalu yang menyebut bahwa mekanisme pengambilan keputusan ASEAN bersifat rumit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat dihubungi Tempo melalui WhatsApp pada Selasa, 9 Januari 2024, Probo menyebut bahwa kerumitan mekanisme tersebut disebabkan karena ada konsensus yang menjadikan ASEAN lambat dalam mengambil keputusan cenderung lambat terhadap isu yang krusial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Nah ini, dalam hal ini ada beberapa poin menarik yang disampaikan oleh Ganjar Pranowo, bahwa selama ini ASEAN mekanismenya terlalu rumit, betul, karena di ASEAN ada ASEAN Way. Dalam salah satu poin ASEAN Way, ada konsensus, yang menyebabkan ASEAN cenderung lambat dalam mengambil keputusan yang krusial, seperti isu Rohingya dan Laut Cina Selatan,” ujar Probo Darono Yakti.
Selain itu, Probo juga menambahkan bahwa pengubahan mekanisme pengambilan keputusan yang diajukan oleh capres paslon nomor urut 3, yakni Ganjar Pranowo tidaklah mudah. Sebab, masih menurut Probo, karena pengubahan mekanisme tersebut perlu proses yang lebih panjang, misalnya drafting ASEAN Charter, belum lagi ditambah tidak semua negara maju terhadap perubahan tersebut, kendati Indonesia memegang predikat sebagai negara pemimpin ASEAN.
Sementara itu, dalam mengatasi konflik Laut Cina Selatan, menurut Probo Darono Yakti, ASEAN saja sudah cukup dan tentunya bergantung dengan presiden yang terpilih nantinya. Selain itu, menurut Probo, berkaitan dengan upaya resolusi konflik Laut China Selatan, sebenarnya bisa ditempuh tidak hanya melalui ASEAN, melainkan dapat juga ditempuh dengan melibatkan organisasi bersifat multilateral, seperti PBB dan Dewan Keamanan.
Konflik Laut Cina Selatan Tidak Sederhana
Menurut Probo Darono Yakti, salah satu cara untuk mengatasi permasalahan konflik Laut Cina Selatan, yakni membutuhkan solidaritas yang cukup kuat antar negara-negara yang menjadi anggota ASEAN.
Sementara itu, cara yang ditempuh Tiongkok untuk mengamankan pengaruh mereka di Laut Cina Selatan bersifat bilateral, yakni membangun hubungan dengan negara-negara di ASEAN yang menjadi claimant state, atau negara yang memiliki kepentingan dalam aspek perairan.
“Yang ditempuh oleh Tiongkok adalah bilateralisme, jadi kembali ke bagaimana Tiongkok membangun hubungan dengan negara di ASEAN yang menjadi claimant state, sedangkan Indonesia posisinya masih cukup lemah. Itu yang perlu diingatkan lagi, ASEAN memang bukan claimant state, tetapi ASEAN memiliki satu intensi untuk mengamankan negara-negara lain, agar kepentingannya tidak diganggu oleh kepentingan Tiongkok di Laut Cina Selatan,” ujar Probo.
Namun demikian, menurut Probo, ketiga capres dari masing-masing pasangan calon sudah menunjukkan untuk mengarahkan kebijakan luar negerinya seperti yang dijelaskan oleh Probo sebelumnya. Kendati demikian, menurut Probo, mekanisme yang kemarin digagas, tidak semudah itu untuk diubah.
“Selebihnya, menurut saya gagasan yang diutarakan oleh capres dari masing-masing paslon pada debat edisi lalu, sifatnya normatif. Mungkin gagasan yang muncul kemarin perlu dieksplorasi dan dielaborasi lebih lanjut, melalui kampanye yang dilakukan oleh masing-masing paslon,” kata dia.