Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Muhammad Rustamaji, mengatakan perlu adanya kajian mendalam dan diskusi publik untuk membedah revisi undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP sebelum disahkan. Ia meminta DPR dan pemerintah tidak terburu-buru meskipun ada target regulasi itu digedok akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan editor: Konflik Bersenjata Papua di Era Prabowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut dia, publik masih khawatir terhadap sejumlah regulasi baru dalam revisi KUHAP. Salah satu pasal yang disorot berkaitan dengan kewenangan polisi untuk bisa melakukan penangkapan langsung. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf a yakni penyidikan atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan, pelarangan meninggalkan tempat, hingga penggeledahan dan penahanan.
"Konsepnya itu yang disebut dengan tindakan polisional, ada upaya paksa. Padahal empat pilar penegakan hukum ada penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan penuntutan pidana. Revisi KUHAP memberikan kesempatan penahanan itu," ungkap Rustamaji saat diskusi publik di Wedangan Basuki, Kota Solo, Jawa Tengah, Senin malam, 7 April 2025.
Rustamaji menekankan kewenangan baru polisi terkait dengan penangkapan langsung dikhawatirkan berpotensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Padahal jika mengikuti KUHAP sebelumnya, polisi harus mengeluarkan surat penangkapan terlebih dahulu dan prosesnya mempunyai standar.
"Harus ada berita acara pemeriksaan. Sehingga jika keluar dari tujuannya, akan mencederai asas praduga tidak bersalah. Meskipun dalam pasal yang lain sudah ada ruang prapradilan.
Selain itu, revisi KUHAP membuat penyidik Polri menempati posisi baru karena disebutkan penyidik utama yang memberikan kewenangan yang besar pada kepolisian. "Penyidik Polri jadi koordinator penyidik-penyidik yang lain karena menjadi penyidik utama. Terutama penyidik PNS," ucapnya.
Menurut dia, masih ada waktu bagi DPR dan pemerintah untuk menggelar kajian-kajian dan diskusi publik untuk membendah revisi KUHAP sebelum disahkan. Meskipun waktunya mepet, ia mengingatkan agar pengesahan undang-undang itu tidak terburu-buru karena masih banyak yang dipertanyakan.
"Khususnya soal penyidik utama atau posisi penyidik PNS di bawah polisi harus dibedah lagi, juga soal penahanan. Yang namanya masyarakat khawatir dan curiga kan wajar."
Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS 2025 Muhammad Hafizh Fatihurriqi yang turut hadir dalam diskusi publik itu mengaku ada kekhawatiran dengan revisi KUHAP. Ia menyatakan dari kalangan mahasiswa akan ikut menyuarakan jika revisi KUHAP tersebut berpotensi merugikan masyarakat.
"Kami akan mencermati, dan ikut menyuarakan. Jangan sampai revisi ini merugikan masyarakat," ucap Hafizh.
Pilihan editor: Dedi Mulyadi Sebut Lucky Hakim Terancam Sanksi Skors 3 Bulan