Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dosen Universitas Mulawarman: Penghapusan Presidential Threshold Berpotensi Tingkatkan Partisipasi Pemilih

Herdiansyah Hamzah mengatakan, penghapusan Presidential Threshold 20 persen akan membuka partisipasi pemilih yang lebih masif

5 Januari 2025 | 14.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang putusan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 undang-undang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Januari 2025. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan, penghapusan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) 20 persen akan membuka partisipasi pemilih yang lebih masif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasannya, penghapusan ambang batas ini membuka ruang setiap partai politik mengusung calon dalam pemilihan presiden. Sehingga berpotensi memunculkan calon alternatif yang lahir dari kalangan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Putusan MK akan memberikan dampak munculnya calon alternatif dari rahim rakyat. Mereka itu punya kapasitas. Jadi, akan memberikan ruang bertumbuhnya partisipasi masif di tengah masyarakat kita," kata Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) ini saat dihubungi, Ahad, 5 Januari 2025.

Selama ini, kata Herdiansyah, alasan pemilih tidak berpartisipasi karena tidak ada calon alternatif. Syarat pencalonan presiden sebelumnya dengan ambang batas minimal 20 persen kursi DPR, menutup akses calon alternatif itu. 

Menurut Herdiansyah, oligarki sengaja memanfaatkan ambang batas 20 persen untuk menutup akses adanya calon alternatif. Tujuannya supaya oligarki bisa terus melanggengkan kekuasaan.

"Mereka menutup akses pintu ruang bagi calon alternatif lain karena mereka mengendalikan. Jadi oligarki menutup pintu bagi orang-orang lain untuk pemilihan umum," kata Herdiansyah. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan, penghapusan ambang batas pencalonan presiden sudah pasti memunculkan calon alternatif. Sebab, setiap partai peserta pemilu akan memiliki hak sama untuk mengusung calon presiden. 

"Sehingga jumlah calon akan menjadi lebih banyak," kata Haykal saat dihubungi, Ahad, 5 Januari 2025.

Namun, Haykal mengatakan, banyaknya calon tidak selamanya sejalan denagn kenaikan partisipasi pemilih. Sebab, kenaikan partisipasi pemilih terjadi karena berbagai faktor. Di antaranya, mempertimbangkan kinerja partai politik, sosok yang berlaga, dan program yang ditawarkan.

Meski begitu, Haykal mengatakan, banyaknya calon akan menambah antusiasme masyarakat untuk menggali lebih dalam informasi mengenai pemilu. Hal itu, kata Haykal, menjadi modal awal untuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Pada Pilpres 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu 2024 di atas 81 persen. Rinciannya sebanyak 164.227.475 pemilih.

Adapun Mahkamah Konstitusi mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase Presidential Threshold.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat Presidential Threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.

Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.

"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.

Meskipun Presidential Threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, MK meminta tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.

Hal itu dengan mengacu pada Indonesia sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system).

Meski menekankan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai hak konstitusional semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, MK berharap dalam revisi UU Pemilu kelak, pembentuk undang-undang dapat mengatur supaya tidak muncul pasangan calon dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

 

Adil Al Hasan berkontribusi dalam tulisan ini.


PIlihan Editor: Peneliti ICW Kena Doxing, YLBHI: Kami Khawatir Ini Bagian dari Operasi Pembungkaman

Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus