Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan mengatakan komisinya saat ini masih melakukan kajian mengenai wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada dikembalikan melalui proses di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPR masih mengkaji kelebihan dan kekurangan pilkada tidak langsung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pilkada oleh DPRD bagian yang sedang dikaji kekurangan dan kelebihannya," kata Ahmad saat dihubungi, Sabtu, 4 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad mengatakan, usulan itu akan dibahas secara holistik dan komprehensif. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi.
"Prinsipnya undang-undang yang disepakati bersama oleh Presiden dan DPR RI harus demokratis dan konstitusional," kata politikus Golkar ini.
Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, pilkada tidak langsung tak sesuai dengan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut prinsip otonomi daerah. Dia mengatakan sistem presidensial juga tidak mengenal lembaga legislatif memilih lembaga eksekutif.
Selain itu, kata Haykal, ide itu akan menghilangkan sistem checks and balances yang dibangun antara DPRD dan pemerintah daerah. Menghilangkan pilkada langsung sama saja menghilangkan legitimasi pemerintah daerah.
"Kalau dipilih DPRD, legitimasi dan representasi kepala daerah akan menurun," kata Haykal saat dihubungi Tempo, Ahad, 15 Desember 2024.
Menurut Haykal, mengevaluasi pilkada tidak harus mengubah sistem. Evaluasi harus menyasar pembenahan sistem, penegakan hukum dan perbaikan rekrutmen partai politik dalam menentukan calon kepala daerah.
"Momentumnya evaluasi bukan menggantikan sistemnya. Karena masyarakat ingin pilkada langsung," kata Haykal.
Senada dengan Haykal, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru memperbesar peluang politik transaksional. Di lain sisi, ujar Titi, perubahan sistem itu juga akan memperlemah hak dan kedaulatan warga untuk berpartisipasi.
Titi menuturkan, selama penegakan hukum masih lemah dan perilaku koruptif masih dibiarkan, apapun mekanisme pemilihannya pasti akan bermasalah. “Yang terjadi malah bisa makin mengokohkan oligarki dan hegemoni elite,” ujarnya.
Titi tidak menampik pemilihan gubernur oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Namun, kata dia, kepala daerah hasil pilihan DPRD hanya berbasis pada keputusan para elite partai. Sementara suara dan harapan masyarakat cenderung akan terabaikan.
Lagi pula, Titi mengatakan, pun dalam pemilihan langsung, keputusan pencalonan kerap berbeda dengan kehendak konstituen partai. Partai dalam hal ini menjadi penentu siapa yang akan diusung.
“Yang dilakukan harusnya reformasi partai politik yang berorientasi pada demokratisasi internal partai sembari terus memperbaiki regulasi pemilihan langsung yang ada saat ini,” kata Titi.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyinggung sistem pemilihan kepala daerah yang berbiaya mahal. Dia melempar wacana agar kepala daerah cukup dipilih oleh DPRD.
“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo dalam pidatonya di perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar, di Sentul, Bogor, pada Kamis malam, 12 Desember 2024.
Prabowo mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa menghemat triliunan rupiah. Anggaran tersebut, ujar dia, bisa dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. “Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, baik anggaran dari negara maupun dari masing-masing tokoh politik,” ujar dia.
Andi Adam Faturrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.