Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa DPR Merevisi Undang-Undang Strategis Menjelang Purnatugas

DPR merevisi undang-undang yang tidak memiliki urgensi untuk diamendemen. Dinilai abai karena tidak melibatkan masyarakat.

21 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Unjuk rasa wartawan menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran di depan Gedung Balai Kota Malang, Malang, Jawa Timur, 17 Mei 2024. ANTARA/Irfan Sumanjaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR merevisi sejumlah undang-undang yang dinilai strategis.

  • Masifnya revisi undang-undang yang dinilai strategis seakan-akan menjadi upaya untuk memastikan proses peralihan kekuasaan berjalan lancar.

  • Upaya merevisi undang-undang yang dinilai strategis itu merupakan autocratic legalism.

Dewan Perwakilan Rakyat merevisi sejumlah undang-undang yang dinilai strategis. Dalam sepekan, DPR telah membahas dan menyetujui revisi terhadap sejumlah undang-undang, seperti revisi Undang-Undang Kementerian Negara dan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk dibawa ke rapat paripurna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DPR juga berencana membahas revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Guspardi Gaus, membenarkan rencana pembahasan revisi Undang-Undang Kepolisian. 

Dia mengatakan salah satu pasal yang akan dibahas adalah perpanjangan batas usia pensiun anggota Polri dari 58 tahun menjadi 60 tahun. “Kemudian polisi dengan jabatan fungsional sama dengan dosen sampai 65 tahun, mungkin itu akan jadi bagian yang direvisi,” ujar Guspardi kepada Tempo, Senin, 20 Mei 2024. 

Legislator Partai Amanat Nasional tersebut tak menjawab lugas ihwal siapa pihak yang mengusulkan revisi Undang-Undang Kepolisian menjelang berakhirnya masa jabatan DPR. Guspardi hanya mengatakan revisi dilakukan demi memenuhi kebutuhan agar sesuai dengan kondisi dan dinamika politik. Pun, rencana revisi Undang-Undang Kepolisian merupakan inisiatif dari anggota parlemen. “Rencananya memang jadi hak inisiatif DPR,” ujar anggota Komisi Bidang Pemerintahan DPR tersebut. Setelah resmi menjadi usulan inisiatif DPR, selanjutnya DPR menunggu surat presiden (surpes) perihal penunjukan wakil pemerintah untuk bersama membahas RUU tersebut.

Petugas kepolisian berusaha menghentikan pengendara sepeda motor yang melanggar lalu lintas di Jalan Layang Non-Tol Casablanca, Jakarta, 20 Mei 2024. TEMPO/Subekti.

Seorang legislator di Baleg DPR tak menampik pernyataan Guspardi. Dia mengatakan revisi Undang-Undang Kepolisian merupakan usulan anggota DPR. Dia menyebutkan usulan ini ditengarai disampaikan pertama kali oleh kalangan politikus Partai Gerindra. “Saat reses, Ketua menginformasikan akan ada pembahasan soal revisi Undang-Undang Kepolisian,” kata legislator ini. Ketua yang dimaksudkan adalah Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas yang juga merupakan politikus Partai Gerindra di DPR.

Supratman Andi Agtas belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo ihwal usulan revisi Undang-Undang Kepolisian ini. Pesan berupa pertanyaan sekaligus permintaan konfirmasi yang dikirim melalui nomor telepon WhatsApp-nya hingga semalam hanya menunjukkan notifikasi terkirim.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan revisi terhadap Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI dilakukan guna menyelaraskan aturan batas masa pensiun serta usia jabatan fungsional anggota Polri dan TNI agar serupa dengan kejaksaan.

Sufmi Dasco yang juga Wakil Ketua DPR itu menjelaskan revisi terhadap dua undang-undang tersebut sejatinya telah digaungkan sejak dua tahun lalu atau saat DPR merevisi dan mengesahkan Undang-Undang tentang Kejaksaan. “Situasi dan kondisi karena kemarin pemilu, kami tunda dulu. Agar (batas usia pensiun di antara) penegak hukum sama, kemudian dilakukan revisi,” katanya.

Saat dihubungi untuk dimintai penegasan, Sufmi Dasco belum menjawab pesan permintaan konfirmasi Tempo ihwal awal mula usulan revisi ini dari partainya. Pesan yang dikirim ke nomor teleponnya tersebut menunjukkan notifikasi terkirim saja.

Langkah DPR yang menggeber dengan merevisi sejumlah undang-undang menjelang lima bulan berakhir masa jabatan menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama pegiat demokrasi. Revisi terhadap undang-undang strategis saat masa transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin ke Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai sarat kepentingan politis dan kepentingan segelintir elite.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan alih-alih mengegolkan undang-undang yang pro-masyarakat dalam program legislasi nasional atau prolegnas, DPR cenderung menindaklanjuti revisi undang-undang yang tidak memiliki urgensi untuk diubah. Misalnya, revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Kementerian Negara, serta revisi Undang-Undang Kepolisian ataupun Undang-Undang TNI.

Menurut pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas ini, tindakan DPR merevisi sejumlah undang-undang yang dinilai strategis pada akhir masa jabatan merupakan hal yang naif bila disebut tak sarat akan kepentingan politik. “Bahkan maksud dan tujuan revisi ini tidak dijelaskan secara jelas apa kepentingannya,” ujar Feri. Dia mencurigai revisi terhadap sejumlah undang-undang menjadi transaksi politik yang bakal mendegradasi demokrasi.

Apalagi, Feri melanjutkan, revisi misalnya terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebelumnya justru ditolak oleh pemerintah karena dianggap berpotensi mengintervensi hakim konstitusi dan mengkooptasi kredibilitas Mahkamah. DPR juga mengagendakan pembahasan revisi terhadap Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI, yang dinilai berpotensi mengkooptasi dua institusi tersebut. “Konklusinya, revisi ini adalah alat sandera guna memuluskan jalannya pemerintahan yang akan datang,” ujar Feri.

Senin pekan lalu, Komisi III DPR menggelar rapat mendadak dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Mereka melanjutkan pembahasan revisi keempat terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kedua pihak itu lantas menyepakati untuk membawa pembahasan ke rapat paripurna DPR.

Tiga hari berselang, Badan Legislasi DPR menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi usul inisiatif DPR. Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, dalam muatan revisi tersebut, telah diputuskan melalui musyawarah mufakat ihwal penghapusan penjelasan pada Pasal 10 dan perubahan pada Pasal 15 Undang-Undang Kementerian Negara. Pasal 15 tidak lagi mengatur ihwal jumlah kementerian yang ditetapkan sebanyak 34 kementerian.

Supratman Andi Agtas pun mengatakan bersyukur karena sembilan fraksi di Baleg DPR menyetujui draf revisi Undang-Undang Kementerian, yang salah satu pasalnya terkait dengan pembatasan jumlah kementerian sebanyak 34 dihapus. Adapun satu fraksi, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, memberikan persetujuan dengan catatan. Menurut Supratman, aturan ihwal jumlah kementerian direvisi dalam rangka memperkuat sistem presidensial. “Siapa pun presidennya tidak boleh dikunci dengan angka menyangkut jumlah kementerian ataupun nomenklatur kementeriannya,” ujar dia.

Prajurit TNI AL menyapa peserta mudik gratis di Dermaga Mako Kolinlamil, Jakarta Utara, 5 April 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna

Penggunaan Instrumen Hukum demi Kekuasaan

Menanggapi hal tersebut, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebutkan minimnya capaian legislasi. Semestinya DPR mengutamakan revisi terhadap undang-undang yang menjadi prioritas dan kebutuhan hukum masyarakat. Dia menyebutkan, misalnya, Undang-Undang tentang Perampasan Aset, Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, ataupun Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat. Sebab, dari 47 rancangan undang-undang (RUU) prioritas untuk 2024, baru dua yang disahkan DPR, yaitu RUU tentang Daerah Khusus Jakarta dan RUU tentang Desa. 

Lucius juga menilai pengesahan sejumlah RUU sarat akan kepentingan politik yang melatarbelakanginya. Hal tersebut makin kentara terlihat manakala DPR abai terhadap aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. DPR dianggap tak melibatkan masyarakat dalam perencanaan, penyusunan, ataupun pengesahannya. 

Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah mengatakan upaya merevisi sejumlah undang-undang yang dinilai strategis itu merupakan gejala autocratic legalism legalisme otokratik, yaitu penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan kekuasaan. Menurut dia, praktik ini telah dilakukan DPR dan pemerintah manakala merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Undang-Undang Cipta Kerja. “Hasilnya, undang-undang dibuat untuk mengakomodasi kepentingan kekuasaan. Diksi menguatkan adalah dalih,” kata Herdiansyah.

Menurut pengajar di Universitas Mulawarman itu, masifnya revisi terhadap undang-undang yang dinilai strategis tersebut seakan-akan menjadi upaya untuk memastikan proses peralihan kekuasaan dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan baru berjalan mulus tanpa adanya resistansi dari lembaga lain. Jika berdalih untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat, kata dia, DPR semestinya mengebut pembahasan RUU lain di prolegnas, misalnya RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Adat.

Adapun dalam prosesnya, pembahasan RUU Perampasan Aset disebut-sebut mandek di DPR meski presiden telah mengirim warkat kepada DPR pada 4 Mei 2023. Saat itu, anggota Komisi Bidang Hukum DPR, Arsul Sani, mengatakan DPR akan membahas RUU Perampasan Aset melalui beberapa mekanisme, dari rapat pimpinan hingga rapat di Badan Musyawarah. Arsul mengatakan proses tersebut cukup memakan waktu karena fraksi pun akan meminta masukan dari pelbagai kalangan guna memenuhi partisipasi publik.

Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto dan Wakil Ketua Habiburohman belum merespons pesan pertanyaan Tempo ihwal kelanjutan pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR. Pesan yang dikirim melalui nomor telepon WhatsApp hanya menunjukkan notifikasi terkirim.

Dalam dokumen agenda rapat Baleg DPR yang diperoleh Tempo untuk agenda masa sidang V, tak ditemukan adanya agenda untuk membahas RUU Perampasan Aset, Masyarakat Adat, ataupun Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang masuk dalam prolegnas DPR. Agenda masa sidang V yang dimulai sejak 14 Mei hingga 11 Juli di antaranya hanya membahas agenda penyusunan RUU Kementerian Negara, Kepolisian, TNI, ataupun Keimigrasian dan lainnya. Pada masa sidang tersebut, Baleg juga mengagendakan harmonisasi terhadap RUU Penyiaran, RUU Kabupaten/Kota, RUU Pelayaran, dan RUU Kepariwisataan. 

Achmad Baidowi mengatakan belum mengetahui agenda rapat dalam masa sidang ke V DPR pada tahun ini, termasuk membahas RUU prioritas lainnya, seperti RUU Perampasan Aset, Masyarakat Adat, ataupun Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. “Saya tanyakan ke sekretariat dulu,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Defara Dhanya Paramitha berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus