BAYANGKANLAH empat "Naro" berbaris memasuki halaman menuju Gedung DPR/MPR, Senayan. Mereka bukan mau mengadu kepada wakil-wakil rakyat, tetapi merekalah yang hari itu dilantik menjadi wakil rakyat. Itulah pemandangan yang terlihat, seandainya memang empat "Naro", termasuk Haji John Naro, Kamis pekan ini datang bersamaan. Mungkin ini pertama kali dalam sejarah badan legislatif Indonesia, empat orang sekeluarga menjadi wakil rakyat mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Dari empat bersaudara itu tentulah tokoh utamanya Dr. Haji John Naro, S.H. Ketua Umum PPP ini menjadi anggota DPR mewakili daerah pemilihan DKI Jakarta. Bagi Naro, pentas wakil rakyat ini bukan barang baru. Pada 1967 ia duduk di DPRGR mewakili KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). Di masa pemilu pertama Orde Baru, 1971, Naro duduk di lembaga legislatif mewakili Parmusi. Yang kedua, Hussein Naro, anggota DPR mewakili daerah pemilihan Jawa Barat. Ini Naro Yunior, lahir 21 Oktobcr 1962, anggota wakil rakyat termuda. Hussein hampir rampung kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya, Jakarta. Wakil Ketua Umum Generasi Muda Persatuan (GMP) ini akan memimpin sidang DPR/MPR, setidak-tidaknya dalam dua hari setelah pelantikan. Ia belakangan ini disebut-sebut sebagai penjabat ketua umum organisasi di bawah PPP itu, karena Ketua Umum GMP Buang S.H., usianya telah lewat 40 tahun. Lalu ada Nyonya Djailinar Utomo, 51 tahun, Ketua Wanita Persatuan. Ia adik kandung John Naro. Menurut H. Zakarsih Nur, Wakil Sekien DPP PPP, terpilihnya Djailinar Oetomo karena "PPP ingin menambah porsi wanita dalam lembaga DPR." Bahwa wanita itu kemudian adik sang ketua umum, bahwa ia mewakili daerah pemilihan Sumatera Barat, kebetulan belaka. Terakhir, Ir. Eddy Wibowo, 47 tahun, Ketua Departemen DPP PPP. Alumnus ITB ini cukup sebagai anggota MPR saja, mewakili daerah pemilihan DKI Jakarta. Eddy, lagi-lagi, cuma "kebetulan" adik kandung Naro. Tapi bagaimana semua "kebetulan" itu terjadi? Sulit memperoleh jawabannya. Wartawan TEMPO Priyono Bandot Sumbogo mencoba menemui Naro -- yang John -- di rumahnya yang megah, luas, dan ditata apik di kompleks perumahan pejabat tinggi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pekan lalu. Setelah ia mengisi daftar tamu, seorang petugas -- kemudian diketahui ia adalah sopir sekaligus ajudan Hussein -- menawarkan aturan main. "Saya bisa mengatur wawancara dengan Hussein asal disediakan bayaran US$ 3.000 untuk satu jam. Minimal Anda harus mewawancarainya dua jam," katanya. Apakah harga US$ 6.000 itu termasuk "harga" untuk Naro? "Tidak, hanya untuk Hussein. Untuk Bapak, tentu lebih besar daripada Hussein," jawabnya. Ini bukan bercanda gaya ajudan, sungguh. Hussein sendiri ketika dipergoki langsung di Graha Wisata, Cibubur, Sabtu malam pekan lalu, menegaskan soal uang itu juga "Pokoknya, sediain dulu tiga ribu dolar untuk satu jam. Minimal dua jam. Uangnya buat kas GMP." katanya. Malam itu, GMP mengadakan acara Konsultasi Anggota, dan Hussein sudah menjalankan tugasnya sebagai Penjabat Ketua Umum GMP. Sikap Hussein menghadapi pers bukan cara baru. Dua tahun lalu, ketika TEMPO akan mewawancarai Naro, Ketua Umum DPP ini minta imbalan US$ 1.000 per jam. Uang itu, katanya, untuk mengisi kas partai. Ketika tawaran itu diterima TEMPO, orang partai yang ditugasi menerima uang itu menolak. Alasannya, perlu konsultasi dengan Naro. Jadi, tampaknya ini memang cara Naro menghindar dari pers. Alhamdulillah, tak semua "Naro" menolak diinterviu. Nyonya Djailinar Oetomo, ibu dua anak, itu misalnya. Ia menjelaskan, duduknya di DPR bukan karena sang kakak. "Saya ditunjuk lewat pemilihan di wilayah, bukan karena saya adik Naro. Begitu pula pada Eddy," kata Nyonya Oetomo. Dan memang hanya itu yang diwawancarakan Nyonya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini