PRATIWI Pujilestari Soedarmono Doktor Pratiwi P. Soedarmono, 35 tahun, telah mengambil keputusan. Sekalipun terpilih sebagai anggota MPR, "Saya tidak akan menghilangkan status saya sebagai ilmuwan," kata calon antariksawati ini. Perkara membagi waktu bukan masalah. Sebab, bekerja di majelis rakyat itu sifatnya hanya temporal. Yang penting, "Saya sudah merelakan diri untuk terjun ke lembaga yang saya anggap baru. Ini merupakan pengalaman yang amat berharga," katanya. Apalagi kaum wanita dapat dikatakan masih sedikit yang terjun ke lembaga itu. Jadi, "Saya bangga juga," katanya terus terang. "Tapi masalahnya saya harus bisa mempertanggungjawabkan kepercayaan itu." Ia menganggap tugasnya sebagai anggota MPR nanti adalah "ikut mengisi pembangunan melalui medan legislatif". Sejauh pengamatannya, fungsi MPR selama ini memang masih ada kekurangan. "Yah, kita ini 'kan masih dalam proses," kata doktor rekayasa genetika dari Universitas Osaka, Jepang, itu. Usia Republik masih tergolong baru. Nah, dalam proses itu sudah sewajarnya ada gelombang yang tidak diharapkan. Kalau toh sepanjang perjalanan proses itu ada beberapa benturan, "Di sinilah letaknya sebuah perjuangan untuk mencari titik temu. Yang penting tujuannya tetap satu. Yakni untuk kepentingan negara, bukan golongan atau kepentingan pribadi." Djoko Moersito Hoemardhani Djoko Moersito Hoemardhani, 40 tahun, terpilih sebagai anggota DPR dari Golkar di daerah pemilihan Ja-Teng. "Barangkali karena mereka melihat saya mampu dan pantas dipercaya," tuturnya pekan lalu. Hobinya naik gunung akan tetap dipeliharanya meski ia nanti sibuk sebagai wakil rakyat. Soalnya, itu bukan sekadar olah raga, tetapi juga sebagai kegiatan spiritualnya. "Mencari keheningan untuk menyatu dengan alam, agar semakin cinta kepada kebesaran-Nya," tutur Djoko, yang sangat menggemari wayang dan pengagum tokoh Pendawa Lima. Dengan begitu, ayah enam anak ini merasa bisa mengasah ajaran-ajaran olah batin dan kejawen yang diturunkan eyangnya orangtuanya, dan pengalamannya sendiri. Dalam konteks ini, ia berkomentar. "Menjadi wakil rakyat, artinya memperoleh kepercayaan lahir batin," tutur putra kedua Almarhum Soedjono Hoemardhani ini. Djoko termasuk salah seorang pendiri Hipmi di tahun 1972. Usaha bisnisnya antara lain dalam bidang tesktil (PT Kanisatex), katering (PT Tata Catering), dan perumahan (PT Purna Jaya). Ia juga aktif di Kadin. Ia juga turut memprakarsai pembentukan FKPPI di tahun 1978. Sejak 1984 hingga sekarang ia menduduki jabatan ketua umum organisasi putra-putri purnawirawan ABRI itu. Ia pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat tahun 1970-1972. Dari sana ia membawa pulang dua ijazah di bidang komputer dan administrasi bisnis. Sebagai anggota DPR yang baru, Djoko sudah menyiapkan rumusan tugasnya. Yaitu meningkatkan pembangunan di desa dan di kota untuk mengurangi tingkat pengangguran. Caranya?. "Yang diperlukan adalah memberikan keterampilan, semangat, dan menanamkan etos kerja," tuturnya. Mohamad Kharis Suhud Rambutnya yang tipis sudah memutih. Berkaca mata tebal, berwarna putih. Tampak tegap perawakannya. Berat 72 kg dan tinggi 164 cm. Itulah Letjen (Pur.) Mohamad Kharis Suhud, 62 tahun, yang paling santer disebut bakal menduduki kursi Ketua DPR/MPR RI periode 1987-1992, menggantikan Amirmachmud. Berpenampilan tenang, Kharis Suhud, semasa menjabat Wakil Ketua DPR RI periode 1982-1987, mengejutkan banyak kalangan. Ia, misalnya, dianggap berhasil melawan tekanan parlemen Eropa yang menyebut Indonesia diperintah rezim militer. Dan adalah juga Kharis Suhud yang menolak keras pembentukan parlemen ASEAN beberapa waktu lalu. Semua itu bisa disebut sebagai gaya dan konsekuensi kehidupan ayah empat anak itu. Ia memang gigih dan banyak memberikan perhatian ke berbagai hal. Ini tentu tidak lepas dari latar belakangnya. Ayahnya meninggal di tangan PKI, 1948. Ibunya meninggal ketika ia berumur 4 tahun. Ia mula-mula dididik di pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Madiun, Jawa Timur. Belum tamat SMA, Kharis harus terjun dalam kancah perjuangan dengan pangkat sersan. Hingga akhirnya beroleh tiga bintang emas. Pendek kata, "Semangat juang saya memang sepenuhnya hanya untuk mengabdi negara," katanya kepada TEMPO. Karena itu, untuk masa bakti DPR/MPR RI lima tahun mendatang, sebagai pimpinan Dewan, Kharis hanya melihat pada kepentingan negara. Ia memang tidak pernah memandang-mandang tugas. Suatu jabatan, betapapun tingginya, tetap dianggapnya hanya sebuah perangkat. Ia tetap low profile. Rendah hati. Dan ia tak ingin cari penyakit. "Sebab, pekerjaan kita banyak," katanya. Megawati dan Taufik Kiemas Sedikit bicara banyak senyum. Begitulah penampilan Megawati hari-hari belakangan ini. Mega, 40 tahun, 1 Oktober ini dilantik sebagai anggota DPR/MPR periode 1987-1992, mewakili PDI dari Ja-Teng. Ketika namanya dipanggil agar memperkenalkan diri di depan sekitar 60 anggota DPR/MPR dari PDI hasil pemilu lalu dalam pembukaan Pekan Orientasi Anggota DPR/MPR di Hotel Kartika Chandra Minggu malam silam, Mega tampak agak malu-malu berdiri di depan corong. Tapi begitu bangkit, protesnya pun meluncur. "Nama saya, kalau pakai nyonya: Megawati Taufik Kiemas," ujarnya, sambil tersenyum. Soerjadi, Ketua Umum PDI, yang memanggil tanpa menyebut nama sang suami, tergelak, juga hadirin yang lain. "Nama panjang saya Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri," ujar anak kedua Bung Karno-Fatmawati, yang lahir di Yogyakarta di tengah suasana revolusi kemerdekaan itu. Kalau ditanya suku, tutur Mega di depan calon sejawatnya di DPR itu, dia sering bingung. "Mau ngaku Jawa, nanti ada yang marah. Mau ngaku Sumatera juga ndak enak, Bali apalagi," tuturnya, masih sambil senyum-senyum. "Makanya, saya selalu memproklamasikan diri sebagai contoh paling baik produksi Republik Indonesia." Suaranya kalem. Sang suami, Muhamad Taufik Kiemas, 43 tahun, tertawa tergelak di deretan kursi belakang. Pasangan Taufik-Mega ini agaknya merupakan satu-satunya pasangan suami-istri yang sama-sama menjabat anggota DPR periode 1987-1992 ini. Satu fraksi, tentu. Satu komisi? "Ah, tidak. Saya kepingin ke komisi I atau II. Mega suka di komisi IV, yang menangani soal pertanian, perkebunan, dan perikanan," kata Muhamad Taufik Kiemas, yang terpilih sebagai anggota Dewan dari daerah pemilihan Sumatera Selatan. Baik Taufik maupun Mega baru sekali ini duduk di bangku legislatif. Tiga orang putra pasangan Taufik-Mega kini telah remaja. Si sulung Riski Pratama sudah 18 tahun, Prananda, 16 tahun, dan si bungsu Puan Maharani telah 14 tahun. "Anak-anak tak keberatan ayah dan ibunya di DPR, asal malam Minggu dan malam Senin kami bersama mereka," kata Taufik. Sebagai bukti pertama, Taufik dan Mega, Minggu siang lalu, mengajak anak-anaknya pergi. Ke mana? "Ah, dekat saja. Ke rumah neneknya di Menteng," kata sang ayah, yang pengusaha pompa bensin ini. Usahanya bisa disambi? "Untuk sementara, saya lepas tangan, saya serahkan kepada adik-adik," kata Kiemas. Taufik dan Mega belum bersedia ngomong banyak tentang ke-DPR-an. Apalagi soal ide untuk RUU. Kecuali untuk pendidikan. "Saya kira, perlu UU Pokok Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Formal maupun nonformal," ujar Taufik. Harris Ali Moerfi Agak pemalu dan jika berbicara suaranya pelan. Itulah Harris Ali Moerfi, 28 tahun, yang terpilih sebagai anggota MPR periode lima tahun mendatang. Sebelumnya, Harris pernah ditawari duduk di DPR. "Tapi saya pikir, kalau duduk di DPR, kerja sebagai pegawai negeri bisa terganggu," tutur dosen tetap di Fakultas Teknik UI ini. "Maka, saya pilih MPR saja. Enak waktunya." Nama Harris tak bisa dipisahkan dari ayahnya, bekas Menteri Penerangan dan Wakil Ketua DPA Almarhum Ali Moertopo. "Tapi saya berorganisasi bukan karena Bapak, melainkan ajakan teman-teman," tutur Harris. Ia memang pernah diajak Aulia Rahman -- eks ketua KNPI, untuk giat di DPP KNPI. "Tapi nggak boleh sama Bapak," ujarnya. Dilarang berorganisasi? "Bukan. Yang tidak boleh kalau langsung ke tingkat pusat, DPP," ujarnya. Ia mengutip ucapan almarhum ayahnya: "Kalau kamu mau jadi pemimpin yang lengkap, harus mulai dari bawah. Biar tahu di bawah seperti apa. Bapak juga dulu begitu." Maka, Harris memulai bergabung dengan KNPI dan FKPPI wilayah, sebelum memegang jabatan bendahara umum ad interim FKPPI, Ketua Departemen Wisata Pemuda DPP KNPI dan Bendahara Golkar Jakarta Timur kini. Pilihannya sudah mantap pada Golkar. "Saya 'kan keluarga ABRI," kata Harris memberi alasan. Sebagai wakil Golkar nanti, dia bermaksud mengoreksi bilamana perlu. Tak perlu jadi oposan dulu. "Kritik 'kan tidak hanya datang dari oposan. Teman baik pun bisa," ujarnya. Menurut Harris, kekuasaan legislatif atau eksekutif sama imbangnya. "Cuma di eksekutif lebih banyak ahli di bidangnya. Banyak profesor, doktor, pokoknya banyak orang hebat." Roekmini Koesoemo Astoeti Kelihatannya ada sesuatu yang "tidak biasa" pada wanita energetik yang kini menjadi satu-satunya wanita dalam F-ABRI ini. Sejak 4 tahun lalu, Kolonel Pol Dra. Roekmini Koesoemo Astoeti, 49 tahun, tinggal sendirian di perumahan DPR/MPR di Jakarta. Ia memang telah menjadi anggota DPR sejak 1982. Masih sendirian? "Suami dan empat anak saya tinggal di Yogyakarta," tuturnya. Maklum, sang suami, Soedjono, tak bisa meninggalkan tugas mengajar di UGM. Terpaksa Roekmini menengok suami dan anak tiap akhir pekan, menumpang kereta api Senja Utama. "Saya bisa begini karena pengertian suami saya," ujarnya. Karena itu, Roekmini betul-betul berterima kasih pada suaminya, yang rela ditinggal. Karena berlainan profesi, Roekmini dan suaminya hampir tak pernah seatap, sejak 1965. Waktu Roekmini bertugas di Yogya, suaminya bekerja di Pekalongan. Suami mengajar di Yogya, Roekmini dinas di Semarang. Roekmini kembali ke Yogya, eh sang suami belajar ke Australia. "Tapi kami sekeluarga bahagia saja, kok," ujarnya. Anak tertua, 21 tahun, kuliah di Fakultas Psikologi UGM, sementara anak terkecil, t4 tahun, duduk di kelas II SMP. Senang duduk di DPR? "Saya melaksanakan tugas," kata Roekmini. Lepas dari Jurusan Psikologi Fakultas Pedagogik UGM, Roekmini memilih menjadi Polwan. "Tempat saya di situ, karena dekat dengan masyarakat," ujarnya. Meski sudah berpangkat perwira menengah, Roekmini masih senang naik kendaraan umum. Selama di DPR, dia tidak mengambil jatah mobilnya. "Cukup naik Bajaj atau taksi saja," katanya. Salful Sulun "Saya tidak terlalu kaget terpilih menjadi anggota Dewan," kata Mayjen Saiful Sulun, 50 tahun. Dan ia sudah siap. Tugas di DPR memang bukan hal baru. Pada periode 1977-1982, ayah satu anak ini pernah bertugas di Komisi II, IV, dan V DPR selama tiga tahun lebih tiga bulan, sebelum dipindahkan ke Staf Kekaryaan TNI AD. Sejak itu, kariernya terus menanjak. Lulusan AMN tahun 1960 itu berturut-turut memegang jabatan sebagai asisten intel Kowilhan I Sumatera-Kalimantan Barat (1982). Lalu menjadi Kasdam Palembang (1983), Kasdam Brawijaya, dan terakhir menjadi Pangdam Brawijaya (1985). Di berbagai pos itu sejumlah peristiwa penting dapat diselesaikannya dengan baik. Misalnya peristiwa Kapasan, September tahun lalu. Dengan bijaksana ia mengajak masyarakat Surabaya agar mampu menahan diri. Sehingga kerusuhan rasial yang nyaris meletus bisa dipadamkan. Penampilan Saiful di mana-mana selalu sederhana. Begitu pula dalam urusan makanan. Ia tak terlalu memilih-milih. Tempe, tahu, dan sayur asem adalah makanan kegemarannya, di samping rujak cingur. Ia juga dikenal hemat dan berkesan hati-hati dalam memberikan berbagai tanggapan. Saiful bisa memahami bila ada suara-suara sumbang tentang eksistensi DPR. Namun, di matanya sejauh ini DPR sudah berusaha keras menyuarakan aspirasi masyarakat. "Bahwa masih ada yang tidak puas, wajar saja. Sebab, kalau rakyat puas, itu artinya masyarakat tidak dinamis dan melempem," ujar Saiful, yang asli dari Minangkabau itu. Tuti Indra Malaon Banyak yang kaget ketika tahu nama Tuti Indra Malaon tercantum dalam daftar anggota MPR. Jadilah Pemeran Utama Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 1986 dalam film Ibunda itu peraih Piala Citra pertama yang masuk Senayan. Tuti sendiri terkejut. Ia tak tahu siapa yang memilih, mencalonkan, atau mengusulkan dia. "Saya tak pernah melakukan usaha apa-apa yang berhubungan dengan politik," ujar pengajar tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Bahasa Inggris ini. Sampai sekarang pun ia tak tahu banyak. "Baru dua minggu yang lalu saya diberi tahu orang Setneg ada SK untuk saya," tutur Tuti. Namun, Surat Keputusan Presiden itu baru diterimanya Jumat pekan lalu. Maka, ia -- yang masih terheran-heran atas penunjukan ini -- belum sempat memikirkan apa apa. "Jangan tanya soal program, saya belum tahu apa yang akan saya lakukan," ujar istri Almarhum Indra Malaon,seorang hakim Pengadilan Negeri Bogor yang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas beberapa tahun yang silam. Pudjiastuti -- nama aslinya -- sejak 1968 sudah bergabung dengan Teater Populer asuhan Teguh Karya. Kemudian ia terjun ke dunia film sejak 1971. Ia juga aktif di bidang jurnalistik. Kini ia aktif sebagai redaktur majalah Matra yang mengasuh beberapa rubrik, di antaranya WaqDancara dan Arsitektur. Nurcholish Madjid Nurcholish, 48 tahun, mengaku sangat terkejut ditunjuk sebagai anggota MPR. "Saya ini masih amatiran dalam soal politik," katanya. Maka, penghormatan itu dirasakannya sebagai tugas yang berat sekali. Betapa tidak. Selama ini Nurcholish lebih banyak bertindak sebagai pengamat politik. Bukan aktor. Sementara itu, "Sekarang saya harus beralih dari seorang pengamat menjadi seorang pelaku politik." Oleh sebab itu, sebagai "pembawa gerbong" dari golongan budayawan, Nurcholish tak ingin bertindak grusa-grusu (tergesa-gesa). Sebelum menyusuri lika-liku rel panjang di lembaga legislatif, Deputi IPSK-LIPI ini ingin ngobrol-ngobrol dulu dengan rekannya para budayawan. Dalam sebuah team qork, katanya, "'Kan tidak mungkin kita bicara sendirian, gagah-gagahan kayak Rambo. Nanti bisa diketawain orang." Nurcholish yakin, kegiatannya di MPR tidak akan menyita waktunya. "Saya kira tuntutan waktu di MPR tidak terlalu banyak, kecuali waktu Sidang Umum MPR Maret nanti." Buat dia, ini penting, karena dunia politik bukan yang utama baginya. "Saya masih ingin berperan di dunia pengetahuan. Keilmuan itulah dunia saya yang utama," katanya. Menurut dia, masih banyak yang harus digiring memasuki dunia pengetahuan di Indonesia ini. "Dunia politik telah terlalu banyak peminatnya." Karena itu, Nurcholish merencanakan untuk menggunakan uang honornya di MPR nanti untuk menunjang pengembangan dunia keilmuannya. "Uang itu akan saya pakai untuk membeli buku-buku yang penting dari luar negeri," ujarnya. Fatimah Ahmad Bila berbicara ia tampak garang. Jauh berbeda dengan penampilan fisiknya yang gemulai. Itulah Fatimah Ahmad, 48 tahun, wakil PDI dari Sumatera Utara. Dalam pemilu lalu, ia muncul di podium bagai macan betina. Suaranya berapi-api. Ia memang seorang Juru kampanye yang populer. Para pendukungnya tahan berjamjam mendengarkan uraian Fatimah. Karena kelantangannya itu pula ada selentingan, ia dicalonkan untuk menduduki kursi pimpinan di Fraksi PDI. Buat Fatimah, lembaga legislatif merupaan wadah perjuangan. "Bukan secara fisik, api perjuangan untuk menggodok sejumlah aspirasi, tuntutan, dan problem yang hidup dalam masyarakat," kata Fatimah, yang hingga kini masih single ini. Hal utama yang akan disorotinya setelah duduk di keanggotaan dewan adalah masalah Undang-undang Pokok Pendidikan (UPP). "UPP perlu sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, akan lebih mempertegas sasaran pendidikan di negeri kita," katanya bersemangat. Masalah lain yang patut disoroti saat ini dalam tubuh DPR adalah pelaksanaan demokrasi. "Masyarakat sangat mendambakan realisasi paham demokrasi, terutama di daerah pedesaan dan pelosok-pelosok sana," kata anak kedua dari sembilan bersaudara kelahiran Pematangsiantar itu. Namun, ia mengingatkan, demokrasi yang dituju bukanlah yang mengarah ke liberalisme tapi demokrasi Pancasila. Menurut dia, tak ada masalah serius yang akan dihadapi dalam sidang umum mendatang. "Penerimaan asas Pancasila merupakan bukti kongkret," kata Fatimah, lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara tahun 1986. Dengan diterimanya asas Pancasila, sirnalah konflik-konflik dasar yang tumbuh karena keragaman pemikiran dan konsep ideologis dari beberapa anggota atau fraksi. Mayjen (Pur.) Soeharto Mayjen (Pur.) Soeharto bukanlah orang baru di DPR. Kalau 1 Oktober ini ia dilantik sebagai anggota DPR, itu berarti untuk ketiga kalinya ia akan duduk di kursi dewan itu. Yang berubah, ayah dua anak berusia 63 tahun ini tak lagi duduk di Fraksi ABRI, nanti. Ia hijrah ke Fraksi Karya Pembangunan. Bahkan namanya santer disebut sebagai calon ketua fraksi terbesar itu. "Saya juga dengar kabar burung itu, tapi secara resmi saya belum diberi tahu," katanya kalem. Sebelum masuk DPR, mayjen yang pensiun pada 1979 ini sudah kenyang makan asam-garam di lapangan. Ia pernah menjadi panglima Kodam di Kalimantan Barat pada 1967-1969. "Saya panglima pertama di sana," kata Soeharto. Dari Kal-Bar ia masuk Seskoad dan terus ditarik ke Mabes ABRI sebagai Asisten Teritorial (Aster). Balik lagi ke lapangan, sebagai wakil panglima Ko wilhan III di Banjarmasin. "Nah, dari sana saya masuk DPR," ujarnya. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pada pengamatannya, DPR mengalami peningkatan, baik kualitas anggota maupun tata kerjanya. Selain itu, "Kita sekarang sudah satu asas, jadi lebih mudah," kata Soeharto lagi. Dalam hal tata kerja, misalnya, "Dulu orang ke daerah mencari kasus untuk dipakai gebuk-gebukan di Dewan." Sekarang sudah jauh berkurang. "Orang lebih suka bicara soal masalah dan pemecahannya," katanya serius. Ada hal penting lain yang diamatinya yang akan terjadi dalam masa jabatan DPR lima tahun mendatang. Yaitu, "Masa peralihan dari angkatan 45." Masa regenerasi itu merupakan masa-masa penting dan memerlukan pengamanan. "Agar peralihannya sesuai dengan Pancasila," ujar Soeharto lagi. Pengamanan yang dimaksudnya tak selalu erat kaitannya dengan strategi memilih calon pemimpin. "Kalau kita konsentrasi ke sana, program yang lain bisa buyar," katanya lagi. Program yang lain itu, antara lain, persiapan menjelang masa tinggal landas lima tahun mendatang. Soal pemimpin, kata Soeharto, sebaiknya dibiarkan secara alamiah. "Nantinya akan muncul orang berbobot dan berkualitas sebagai pemimpin."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini