Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru Itu Fungsinya Sesudah Nabi

Wawancara Tempo dengan Menteri P dan K yang baru Fuad Hassan, tentang masalah-masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia.

3 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FUAD Hassan menteri P&K yang baru, hingga akhir pekan lalu mengaku masih hanya memikirkan masalah-masalah luar negeri, misalnya tentang Kamboja. Selama menjadi kepala Penelitian dan Pengembangan di Departemen Luar Negeri, "Seingat saya, saya belum pernah menulis sebiji pun tentang pendidikan." Tak berarti bahwa lulusan SGA (Sekolah Guru Atas) yang kemudian jadi guru besar Fakultas Psikologi UI ini tak punya pandangan pendidikan. Berikut ini wawancara Bambang Bujono dari TEMPO dengan Fuad di rumahnya, Jumat malam lalu. Sebagai menteri P&K yang baru masalah-masalah apa di dunia pendidikan yang Anda anggap penting? Masalah pendidikan itu banyah ada beberapa yang harus dipikirkan dalam jangka panjang. Tujuan utama pendidikan itu menumbuhkan satu iklim yang kondusif untuk terbentuknya watak bangsa. Sekarang ini 'kan ada pembangunan ekonomi pembangunan teknologi. Itu semua materiil sifatnya. Sekarang, bagai mana agar semua kemajuan materiil itu tidak kehilangan dimensinya yang human. Bagaimana agar manusia tak menjadi sekadar seperti spare parts mesin. Jangan sampai cost kemajuan itu manusianya sendiri. Jelasnya bagaimana? Pelita demi Pelita itu 'kan boleh diibaratkan gerakan dari economics of needs ke economics of wants. Dari kebutuhan dasar ke keinginan yang bukan lagi dasar. Mula-mula yang dikejar sandang, pangan, papan. Sekarang, misalnya saya mau merokok, perlu korek, dan korek pun tak lagi sembarang korek. Kita sudah sampai tahap pilih-pilih. Padahal, wants itu tak ada habis-habisnya, tak ada batasnya. Ini berbahaya, karena akan ada spending, pembelanjaan, yang tidak perlu. Dan dunia usaha terlalu pintar memunculkan keinginan-keinginan baru. Lalu bagaimana hubungannya dengan dunia pendidikan? Begini. Kalau tadi saya katakan watak bangsa, maksudnya, pendidikan terutama adalah untuk membangun watak ini. Jangan sampai terjadi proses yang salah, hingga muncul pandangan bahwa universitas tempat memburu gelar, memburu status. Jangan sampai terjadi proses yang salah arah. Penerapannya, ya, dalam mata pelajaran. Saya kira, yang sudah dicanangkan Pak Nugroho tentang pendidikan humaniora itu sudah baik. Ibarat beliau merintis relnya, saya barangkali cuma meneruskan. Contoh penerapan dalam mata pelajaran itu? Di Fakultas Psikologi, misalnya, diajarkan filsafat antropologi, tinjauan tentang manusia. Kuliah ini berkaitan langsung dengan pembentukan kepribadian. Kita tidak menempuh satu teori saja, misalnya berdasarkan teori Pavlov, yang menganggap bahwa manusia hanya himpunan refleks. Kita juga tak menganut behaviourisme radikal, yang merasa bisa memprogram bayi jadi manusia apa saja. Ini sekadar contoh. Memang sulit menjabarkan tujuan jangka panjang ke dalam materi dan desain pendidikan. Tapi penerapan itu 'kan juga bergantung pada bagaimana guru mengajarkannya. Jadi .... Benar. Dengan demikian, guru memang sangat penting. Guru, dalam definisi nya yang benar, fungsinya adalah sesudah nabi. Dalam fungsi yang disebut mualim, orang yang menyampaikan ilmu. Dan ilmu adalah semua yang memperkaya hidup manusia. Bukan ilmu dalam arti science, tapi comprehensive knowledge. Tapi jangan melihat unsur pendidikan satu demi satu. Dulu, di zaman Belanda, kalau bicara soal pendidikan itu jelas karena tiga unsur - alat, guru, dan murid - dipandang sebagai satu paket. Biar gurunya jagoan tapi kalau tak ada laboratorium, guru tak dapat bergerak. Lalu di mana fungsi kurikulum? Semua kurikulum itu sama baiknya daripada tak ada kurikulum. Misalnya, metode belajar membaca. Mana lebih baik: metode huruf, metode bunyi, atau metode global? Toh, semuanya menjadikan orang bisa membaca. Jadi, maksud saya, eksperimen kurikulum suatu waktu harus menjamin kurikulum yang stabil dengan segala konsekuensinya: bahan stabil, sistem stabil, metode stabil. Jadi, harus ada satu kurikulum yang bisa dievaluasi: kalau seorang murid masuk ke sini, nanti keluarnya jadi apa. Tentu, penyesuaian juga ada, tapi tak perlu merombak. Bagaimana bisa mengubah kurikulum tanpa evaluasi. Dan bagaimana bisa mengevaluasi sebuah kurikulum kalau sebelum ada produknya sudah diganti dengan yang baru. Sesudah Perang,Jerman hanya melakukan sedikit perubahan kurikulum. Lalu apa orang Jerman bodoh? Stabilisasi kurikulum itu penting. Lalu bagaimana dengan peledakan anak-anak sekolah? Bukankah dalam penyusunan kurikulum faktor ini juga harus diperhitungkan? Wah, bukan cuma Indonesia yang menghadapi peledakan murid. Yang penting jangan ditimbulkan harapan bahwa semua murid harus duduk di universitas. Buat apa jadi sarjana kalau hanya mau jadi sopir taksi. Dan kejar-kejaran antara populasi dan daya tampung bukan cuma masalah pendidikan. Ada masalah jaringan jalan yang tak memadai, sementara jumlah kendaraan terus naik. Ada masalah telepon yang kurang, juga soal bis kota. Tapi orang tidak meributkannya. Pendidikan diributkan karena menyangkut orang hidup. Seorang anak yang tak diterima di sekolah tahun ini, tahun depan usianya sudah tambah satu tahun. Maka, mereka ribut. Pemecahannya? Untuk sementara saya kira peranan swasta diperlukan. Tapi itu kalau mereka terjun ke dalam dunia pendidikan dengan ikhlas. Kalau bermaksud komersial, ya, lain lagi akibatnya. Ada anggapan umum bahwa guru zaman dulu lebih bermutu daripada sekarang. Sebagai lulusan SGA, apa sebenarnya yang ditekankan dalam pendidikan guru waktu dulu Itu? Di SGA yang ditekankan ilmu mengajarnya: metode dan didaktiknya. Guru harus bisa mengalihkan bahan ilmu mengajar menjadi sikap. Ia harus tahu, misalnya, kecenderungan murid-muridnya satu per satu. Sekarang soal mahasiswa. Anda pernah bilang, kini hubungan dosen-mahasiswa tak akrab lagi. Ini dilarang, itu dilarang.... Yang penting sebenarnya memberikan peluang untuk pengembangan diri mahasiswa. Lingkungan akademis itu khusus karena punya disiplin sendiri. Kalau ketentuan-ketentuan itu dipenuhi, sebenarnya peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri banyak. Tapi itulah karena soal iklim mengejar materiil, karena kita sudah tidak dalam taraf eceonomics of needs tapi economics of wants. Ada kesan, kampus cuma dijadikan tempat memburu gelar. Guru tak lagi cukup puas bila siswa-siswanya jadi orang, tapi juga meresahkan soal gaji. Bukan, bukan mereka yang salah, tapi iklim itu tadi. Ini tak bisa ditanggulangi dengan hanya aparat pendidikan. Seluruhnya, seluruh masyarakat harus ikut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus