Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lantai tiga gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, gelar perkara pada Jumat dua pekan lalu itu dilangsungkan secara mendadak. Siang itu, lima pemimpin komisi antikorupsi tiba-tiba mengundang satuan tugas perkara suap reklamasi Teluk Jakarta untuk kembali membahas nasib pencekalan bos Agung Sedayu, Sugianto Kusuma alias Aguan, dan anaknya, Richard Halim Kusuma. Hadir juga para deputi dan direktur di bidang penindakan serta penuntutan.
Menurut seorang peserta pertemuan, pimpinan KPK meminta dilakukan gelar perkara karena media hari itu ramai memberitakan pencabutan cekal Aguan. Pimpinan, kata dia, menduga media sudah mendapat bocoran hasil sementara gelar perkara pada Jumat pekan sebelumnya. Dihadiri empat pemimpin Komisi, minus Laode Muhammad Syarif yang tengah menghadiri APEC Anti-Corruption Summit di Lima, Peru, gelar perkara pada Jumat dua pekan lalu itu memutuskan mempertimbangkan pencabutan cekal Aguan.
Menurut sumber ini, pimpinan semakin gerah setelah mengetahui ada media yang memberitakan KPK sudah mencabut cekal Aguan karena ada intervensi seorang menteri. Tidak mau isu itu menjadi bola liar, dalam gelar perkara pada Jumat pekan lalu itu, pimpinan dan tim kasus reklamasi sepakat tidak mencabut cekal Aguan. Seusai rapat, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan cekal Aguan dan anaknya tidak dicabut.
Pelaksana harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati, tidak menyangkal ada dua gelar perkara yang membahas pencekalan Aguan. ”Hasilnya saya tidak tahu,” katanya. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan juga tidak membantah. ”Masih diperlukan atau tidak, itu juga mempertimbangkan kepentingan penyidik,” ujarnya.
KPK membahas nasib pencekalan Aguan dan anaknya setelah menerima permohonan pencabutan status itu dari pengacara keduanya, Kresna Wasedanto, pada 1 Agustus lalu. Menurut surat permohonan yang dikirim ke KPK, Aguan dan anaknya meminta cekalnya dicabut karena tidak bisa menjalankan aktivitas bisnis dan memenuhi undangan kolega di luar negeri. Alasan lain, mereka meminta pencabutan cekal karena masih berstatus saksi.
Kresna Wasedanto membenarkan mengirim surat permohonan itu kepada KPK. Tapi ia menolak menjelaskan alasan detail kliennya mengajukan permohonan pencabutan cekal yang diberlakukan sejak 1 April lalu itu. ”Sudah jelas Pak Aguan dan Pak Richard juga tidak ada kaitannya dalam kasus itu,” ucapnya.
Tiga pekan berselang, KPK merespons permohonan itu dengan mengadakan gelar perkara di lantai tiga ruang rapat pimpinan. Minus Laode, gelar perkara dihadiri empat pemimpin, tim satuan tugas kasus reklamasi, serta para direktur dan deputi terkait. Menurut seorang yang mengetahui rapat tersebut, gelar perkara dibuka dengan pemaparan tim satuan tugas mengenai dugaan keterlibatan Aguan dan anaknya dalam kasus tersebut.
Menurut sumber ini, tim dalam gelar perkara itu memaparkan hasil pemeriksaan saksi dan bukti elektronik yang mengarah ke dugaan keterlibatan Aguan dan anaknya dalam kasus reklamasi. Tim selanjutnya membagi peran keduanya dalam dua kasus. Kasus pertama berkaitan dengan suap yang menjerat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja. Peran Aguan dan Richard ini juga tertuang dalam dakwaan Ariesman dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro. Kamis pekan lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Ariesman dan Trinanda masing-masing tiga tahun dan dua tahun enam bulan penjara.
Peran Aguan dan Richard dalam kasus pertama ini, seperti terungkap dalam persidangan Ariesman, terjadi sepanjang Februari dan Maret 2016. Dalam kurun itu, Aguan dan Richard sedikitnya dua kali bertemu dengan Ariesman dan Sanusi di lantai empat pusat pertokoan Harco Glodok, Mangga Dua, Jakarta. Dalam kedua kesempatan itu, Aguan meminta Sanusi mempercepat rancangan peraturan daerah reklamasi yang tengah dibahas di DPRD Jakarta dan menghilangkan ketentuan 15 persen kontribusi tambahan.
Kasus kedua, menurut penegak hukum yang mengikuti gelar perkara pada Jumat dua pekan lalu itu, berkaitan dengan keterlibatannya dalam dugaan pemberian suap kepada pimpinan DPRD DKI Jakarta. Peran Aguan dan Richard ini juga tertuang dalam dakwaan Ariesman dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro.
Peran ini terungkap setelah sejumlah pemimpin DPRD DKI Jakarta bertemu dengan Aguan di rumahnya di Taman Golf Timur II/11-12, Pantai Indah Kapuk, Jakarta, pada pertengahan Desember tahun lalu. Mereka membahas percepatan raperda reklamasi. Mereka yang hadir antara lain Prasetyo Edi Marsudi (Ketua DPRD), Mohamad Taufik (Ketua Badan Legislasi Daerah), dan Muhammad Sangaji (Wakil Ketua DPRD sekaligus anggota Badan Legislasi). Belakangan, ada anggota DPRD yang mengaku kepada KPK ditawari dan ada juga yang menerima uang untuk memuluskan raperda.
Sebulan berselang, menurut seorang pejabat KPK, lembaganya mendeteksi empat kali penyerahan uang dari Aguan, sebagian diduga lewat anaknya, Richard Halim, kepada Prasetyo, di kantor Agung Sedayu. Komisi memiliki bukti elektronik penyerahan duit. Kata sandi penyerahan duit adalah ”mobil” dan ”onderdil”. Prasetyo membantah tudingan itu. ”Tidak benar tuduhan itu,” ucapnya. Pengacara Aguan dan Richard, Kresna Wasedanto, juga sudah membantah soal ini. ”Tidak benar itu,” ujarnya.
Dalam kasus kedua ini, penyidik mulai mendapatkan petunjuk terang setelah sejumlah anggota DPRD di Jakarta mengaku ditawari duit pimpinan fraksinya untuk memuluskan raperda reklamasi. Salah satunya pengakuan anggota DPRD Jakarta dari Fraksi Hanura, Muhamad Guntur, kepada penyidik pada 15 Juni lalu. Ia mengaku ditawari Rp 50 juta oleh pimpinan fraksinya, lalu menolaknya. Guntur juga memberikan kesaksian sejumlah koleganya di Hanura menerima duit itu. Kepada Tempo, Guntur membenarkan keterangannya ini. ”Sudah disampaikan ke KPK soal itu,” katanya.
Dalam gelar perkara itu, tim juga mengungkapkan alasan kenapa belum bisa menjerat Aguan dan anaknya. Menurut seorang penegak hukum di KPK yang lain, tim menyebutkan alasan belum ada bukti materiil menohok yang bisa menjerat keduanya. Kekurangan itu, misalnya, menyangkut bukti penerimaan duit yang diduga dari Aguan ke pimpinan DPRD dan tidak adanya bukti perintah langsung Aguan ke Ariesman. Ketika pimpinan menantang agar bukti itu dikumpulkan paling lambat sampai cekal Aguan dan Richard berakhir pada Oktober nanti, tim saat itu memilih angkat tangan.
Jaksa juga menganggap Aguan dan Richard bukan saksi kunci, terutama di persidangan Sanusi yang masih bergulir. Setelah meminta masukan jaksa dan tim satuan tugas, pimpinan KPK akhirnya sepakat mencabut cekal Aguan dan anaknya. Sepekan berselang, dalam gelar perkara dengan tim yang sama, pimpinan meralat keputusan itu.
Menurut seorang pejabat menengah di KPK, dalam gelar terakhir itu, dua pemimpin KPK meminta cekal Aguan tetap dicabut karena statusnya bukan saksi kunci dan selama ini kooperatif. Dua orang yang dimaksud adalah Alexander Marwata dan Saut Situmorang. Sedangkan Agus Rahardjo, Laode, dan Basaria Panjaitan meminta cekal tidak dicabut supaya tidak menimbulkan kegaduhan.
Basaria tidak membantah adanya perbedaan di kalangan internal pimpinan. Dia juga tidak menepis lembaganya memiliki bukti kuat untuk menjerat Aguan. ”Ini soal bukti, bukan karena tidak berani,” katanya. Adapun Alexander Marwata menjawab singkat soal itu. ”Perbedaan itu biasa, intinya pimpinan kompak,” ujarnya.
Anton Aprianto, Muhamad Rizki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo