Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nama Barisan Serbaguna (Banser) menjadi perhatian publik baru-baru ini. Hal itu setelah pendakwah Miftah Maulana memberi seragam Banser untuk Sunhaji, seorang penjual es teh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Iya, beliau (Sunhaji) memang mendapat seragam sebagai anggota kehormatan Banser,” kata Miftah di Pondok Pesantren Ora Aji, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, Rabu sore 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan pemberian seragam Banser untuk Sunhaji itu, kata Miftah, karena warga asal Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, selama ini rutin mendatangi pengajian-pengajian yang dijaga Banser.
“Jadi beliau (Sunhaji) ini memang suka dengan baju Banser, jadi biar juga tambah guyub dengan teman-teman Banser,” ujar Miftah.
Lantas bagaimana sejarah dan berdirinya Banser?
Melansir laman nu.or.id, Banser Nahdlatul Ulama (NU) adalah barisan pemuda yang dikenal dengan penampilannya, mulai dari pakaian, sepatu, topi, hingga atribut-atribut lainnya, yang mirip dengan pasukan militer.
Menurut catatan dalam Ensiklopedia NU, Banser berdiri pada 1962 atau 32 tahun setelah pendirian Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), organisasi pemuda NU yang berdiri pada 1930.
Namun, menurut sumber lain, Banser diyakini sudah ada jauh sebelum 1960-an. Dalam Kongres Ke-2 pada 1937 di Malang, Jawa Timur, GP Ansor, atau ANU (Ansor Nahdlatul Ulama) namanya saat itu, mengembangkan sebuah organisasi gerakan kepanduan yang disebut Barisan Ansor Nahdlatul Ulama (BANU).
Keberadaan BANU memperoleh lampu hijau dengan adanya pengakuan NU pada Muktamar Ke-14 di Magelang, Jawa Tengah.
Pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, NU bahkan mengesahkan AD/ART BANU, seragam, mars resmi Al-Iqdam, atribut-atribut, serta yang paling penting diperbolehkannya mereka memainkan terompet dan genderang.
BANU inilah yang kemudian disebut-sebut menjadi cikal-bakal Banser NU yang dikenal sekarang.
Pendirian BANU merupakan respons terhadap kemunculan organisasi-organisasi kepanduan saat itu. Sifatnya yang menitikberatkan pada aspek kebangsaan dan pembelaan Tanah Air juga memperlihatkan respons nasionalistis NU. Jika ANU adalah organisasi pemuda, maka BANU adalah organisasi kepanduan.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, banyak anggota GP Ansor umumnya dan Banser khususnya yang direkrut dalam pelatihan militer. Laskar Hizbullah yang kemudian dikenal sebagai salah satu laskar penting dalam perang kemerdekaan diisi oleh banyak anggota GP Ansor dan Banser. Periode Jepang ini diyakini turut membentuk watak paramiliter sekaligus watak nasionalistis dari Banser.
Sekarang Banser banyak berperan dalam penjagaan, pengaturan, dan pengamanan acara-acara yang digelar oleh NU dan organisasi-organisasi afiliasinya. Namun, peran ini tidak hanya terbatas di kalangan NU, mereka juga sering kali terlibat dalam penjagaan, pengaturan, dan pengamanan acara-acara keagamaan dan sosial di luar yang digelar NU.
Sebagai bagian dari NU, Banser selalu menyatakan eksistensinya sebagai pembela dan benteng ulama, tetapi di pihak lain, mereka juga selalu dengan tegas menyatakan komitmen nasionalismenya untuk selalu mempertahankan NKRI. Hal ini tercermin dari komitmen mereka untuk membantu siapa pun, tanpa mengenal perbedaan agama, suku, maupun golongan.
Belakangan ini, Banser banyak memainkan peran sebagai relawan dalam berbagai bencana, baik bencana alam seperti banjir, gempa, letusan gunung berapi, maupun bencana yang diakibatkan oleh konflik sosial. Mereka memainkan peran yang mirip dengan dan mendekati peran Search And Rescue (SAR).
Menurut survei, pada akhir 1990-an, anggota Banser berjumlah sekitar 500.000. Namun, para pengurus Banser sendiri meyakini bahwa anggota mereka berjumlah tiga jutaan di seluruh Indonesia.
Pribadi Wicaksono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.