Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Gaya Magelang di Jatinangor

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FAJAR belum lagi datang ketika kesibukan membuncah di kampus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Pagi gelap Rabu pekan lalu, semua praja—sebutan mahasiswa sekolah tinggi kedinasan itu—telah bangun. Mereka membentuk barisan, lalu lari pagi dan bersenam bersama di kampus yang memiliki lahan 280 hektare ini. Setelah itu, mereka kembali ke "barak" masing-masing untuk mandi, salat subuh, dan sarapan. Tak ada yang diizinkan menguap atau berleha-leha. Semua bergerak di bawah komando peluit dan teriakan instruktur yang membahana.

Perkuliahan dimulai pukul 7.30 dan berakhir pukul 15.00. Selain bertatap muka dengan dosen, para praja juga berdiskusi kelompok. Di luar itu masih ada kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan hingga menjelang magrib. Ada yang bermain bola voli, sepak bola, olahraga panjat dinding, atau bermain drumband. Boleh dibilang, kesibukan praja STPDN dimulai sebelum matahari terbit dan berakhir menjelang tengah malam.

Menurut Djoehermansyah Djohan, dosen Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, yang lulus dari Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Bukit Tinggi, Sumatera Barat, STPDN mengadopsi sistem pendidikan di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah. "Sejak berubah dari APDN menjadi STPDN pada 1992, model pendidikannya memang sedikit banyak mengadopsi sistem pendidikan Akabri di Magelang," kata Djoehermansyah.

Diakui pula oleh Mayjen I.G.K. Manila, yang pernah menjadi Ketua STPDN (1995-1998), saat itu banyak pembina dari Akmil Magelang untuk mendidik mereka. Karena jumlah mahasiswanya banyak dan terkumpul dalam arena yang luas, perlu pula diatur cara mereka tidur, memakai seragam, dan seterusnya. "Maksudnya bagus, agar memiliki disiplin," tutur Manila kepada Muannas dari TEMPO.

Pola militeristik itu dijalankan oleh pasukan komando dan polisi praja—dua lembaga yang dijalankan oleh para mahasiswa sendiri—untuk memelihara disiplin semua praja. Meski secara tertulis polisi praja dilarang melakukan eksekusi hukuman (mereka hanya diizinkan menegur), dalam prakteknya mereka punya wewenang yang besar. Polisi praja menghukum sejumlah mahasiswa yang dianggap melanggar aturan. Ada praja yang disuruh push up di aspal, di bawah terik matahari yang membakar, ada juga yang disuruh berguling-guling.

Bukan itu saja. Jika para junior itu bertemu dengan seniornya, mereka harus memberi hormat ala militer. Kalau itu tak dilakukan, para junior itu kena damprat. Ujung-ujungnya kena hukuman, seperti disuruh push up atau jalan jongkok.

APDN, yang menjadi cikal bakal STPDN, berdiri pada 1 Maret 1956 di Malang, Jawa Timur. Tujuan pendirian lembaga pendidikan itu adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga aparatur pemerintah di tiap daerah. Seiring dengan bergulirnya waktu, APDN pun berbiak. Hingga 1970 telah berdiri sekitar 20 APDN yang tersebar di seluruh Indonesia, dari Banda Aceh sampai Jayapura. Pada 1992, berdasarkan Keputusan Presiden No. 42/1992, semua APDN digabung menjadi STPDN, yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Kata I.G.K. Manila, agar pegawai negeri yang dihasilkan memiliki wawasan nasional.

Dalam struktur kependidikan di STPDN, tutur Djohan, terdapat tiga kelembagaan yang langsung berada di bawah ketua atau direktur lembaga. Nama kerennya Tri Tunggal Terpusat Pendidikan STPDN. Ketiganya adalah lembaga pengajaran yang bertugas mengurus proses perkuliahan; pelatihan yang membawahkan masalah keterampilan semacam kursus komputer; dan pengasuhan yang membawahkan langsung kegiatan ekstrakurikuler seperti senat mahasiswa. Di STPDN senat mahasiswa ini dikenal dengan sebutan Wahana Bina Praja.

Wahana Bina Praja itu merupakan simulasi pemerintahan bagi para praja. Karena itu, modelnya meniru fungsi organisasi pemerintahan sesungguhnya. Di dalamnya ada gubernur, bupati, camat, dan lurah—lengkap dengan sekretariat masing-masing. Pasukan komando dan polisi praja juga berada di bawah Wahana Bina Praja. Di sinilah pelatihan ala kampus militer itu bermula, hingga akhirnya menewaskan seorang praja. Tapi Pembantu Ketua III STPDN, Baharudin Jalil, membantah bahwa model pendidikan di kampusnya bergaya militer. Menurut Jalil, "STPDN itu anti-kekerasan."

Nurdin Kalim, Bobby Gunawan (Jatinangor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus