Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kuliah sampai Mati

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wahyu Hidayat bukanlah korban pertama yang meninggal akibat kekerasan di kampus. Pada waktu-waktu sebelumnya, sudah banyak mahasiswa yang tewas, sebagian besar karena kekerasan ketika mengikuti ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) atau program-program sejenis—pada masa lampau dikenal sebagai program perpeloncoan. Pada era 1990-an hingga kini saja paling tidak sudah tujuh mahasiswa yang meninggal akibat kekerasan di kampus. Karena itu, bukan hal yang aneh jika ayah Wahyu, Syarif Hidayatullah, berharap anaknya merupakan korban terakhir. Berikut ini daftar mahasiswa yang meninggal akibat kekerasan.

Amirullah, 19 tahun, meninggal pada 24 Agustus 1995. Mahasiswa baru Jurusan Fisika Universitas Indonesia ini meninggal setelah mengikuti Orientasi Perguruan Tinggi. Pada hari pertama, Amirullah harus melakukan push-up gara-gara datang telat. Sehari kemudian, Amirullah sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pertamina. Tapi, di rumah sakit itu Amirullah hanya bertahan semalam dan meninggal. Pihak Universitas Indonesia membantah kematian Amirullah akibat Orientasi Perguruan Tinggi.

Setahun kemudian, Program Pembinaan Anggota Muda (PPAM), yang dilaksanakan Himpunan Mahasiswa Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), menelan korban. Zaki Tiffani Lazuardian meninggal setelah 12 hari mengikuti PPAM. Amir Hamzah, ayah korban, mengungkapkan bahwa anaknya tidak sakit. Tapi, sepulang dari PPAM, badan Zaki lemas tak bertenaga. Setelah dilarikan ke Rumah Sakit St. Boormeus, nyawa Zaki tak bisa diselamatkan. Diduga, Zaki kelelahan karena mengikuti kegiatan long march tujuh jam menuju kebun teh di Pengalengan, Jawa Barat. Mahasiswa semester II Jurusan Fisika ITB ini meninggal pada usia 19 tahun pada 8 Janurai 1996. Dua mahasiswa ITB yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Zaki dipecat.

Kematian Zaki tak membuat ospek jadi lebih manusiawi. Harapan Suryowati Hagus Darayanto untuk mendapatkan ilmu dan keterampilan di bidang mesin di Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) gagal. Tapi, kegagalan ini bukan karena Suryowati tak mampu melewati masa-masa kuliah dan ujian di Program D-3 Mesin ISTN. Suryowati gagal karena mendapatkan siksaan ketika mengikuti ospek pada 24 Agustus 1999. Bagian belakang kepalanya bonyok dan perut kirinya biru lebam. Menurut Siti Dara, ibu Suryo, anaknya meninggal kesakitan sambil menggigit jari bawahnya. Saat itu, Siti berharap Suryo menjadi korban terakhir ospek.

Tapi, harapan Siti tinggallah harapan. Korban terus berjatuhan. Pada 3 Maret 2000, Erie Rahman, 21 tahun, mahasiswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), tewas setelah dihukum oleh tujuh orang seniornya karena telat masuk kelas. Para pelaku sudah dihukum oleh Pengadilan Negeri Sumedang, tapi tak sampai masuk penjara. Mereka juga tidak dikeluarkan dari sekolah tinggi itu.

Setahun berselang, tepatnya 24 Agustus 2002, korban ospek kembali jatuh. Cecilia Puji Rahayu, 19 tahun, mahasiswi Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, meninggal setelah mengikuti Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus (Pekik). Berdasarkan keterangan Rumah Sakit Kariadi tempat Cecilia dirawat sebelum meninggal, Cecilia kemungkinan besar mengalami stres dan kelelahan setelah mengikuti acara yang berlangsung mulai pukul 05.00 sampai pukul 18.00 WIB.

Dua bulan kemudian, giliran E.M. Valley Nur menjadi korban. Mahasiswa Geologi Teknik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Padjadjaran, Bandung, itu tewas setelah mengikuti studi lapangan di Cileungsi, Bogor, pada 2 November 2002. Dalam kegiatan resmi yang diawasi oleh para dosen ini, Valley meninggal karena kelelahan. Setelah diperiksa dokter, ternyata Valley memiliki penyakit glukosa rendah. Dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui bahwa pihak penyelenggara ternyata hanya melakukan uji kesehatan secara administratif. Dengan cara itu, kondisi kesehatan peserta hanya didasarkan pada pengakuan mereka, bukan berdasarkan tes kesehatan secara langsung.

Juli Hantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus