Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA orang taruna (mahasiswa) berjalan dengan tegap. Seragam warna cokelat yang menempel ketat di badan dan derap sepatu kulit warna hitam yang beradu dengan lantai mengundang decak kagum para gadis. Dan saat berpapasan dengan seorang dosen, mereka memberi hormat ala militer. Telapak tangan kanan disilangkan di atas pelipis. Badan dalam sikap sempurna.
Jangan keliru. Ini bukan adegan di sekolah militer, melainkan di Sekolah Tinggi Ilmu Maritim (Stimar) AMI, Pulomas, Jakarta Timur. Kesan militeristik memang tak terlalu kentara di kampus yang mendidik calon pelaut itu. Tak ada penjagaan khusus di tiga pintu gerbangnya. Setiap tamu bebas keluar-masuk gedung yang didominasi warna ungu itu.
Maklum, kampus AMI memang berada dalam satu kompleks dengan ASMI, akademi sekretaris yang sebagian besar siswanya perempuan. Satu-satunya kesan militeristik yang tampak hanya seragam warna cokelat dengan tanda pangkat di pundak dan sepatu kulit warna hitam yang dipakai setiap taruna. Tanda pangkat di pundak menunjukkan tahun perkuliahan taruna. Satu garis berarti tingkat pertama, demikian seterusnya.
AMI adalah satu dari sekian banyak sekolah yang melakukan pendekatan gaya militer dalam pembinaan mahasiswa baru. Sebagian besar sekolah kedinasan mengadopsi gaya pembinaan seperti itu. Menurut Pembantu Ketua I AMI, Soeroso, 59 tahun, sebelum dilantik, calon taruna harus menjalani penggemblengan moral, mental, dan fisik. Programnya tak main-main. Selama empat hari para calon taruna digojlok di Batalion Marinir Pertahanan Pangkalan II, Jakarta Utara.
Kenapa memilih marinir? "Marinir punya standar pelatihan dan fasilitas sempurna," kata Soeroso.
Lulus dari gemblengan tentara tak membuat calon taruna santai. Program pengenalan sistem pendidikan tinggi (PSPT) harus dijalani selama empat pekan di kampus. Di sini para pembina—gabungan dosen dan taruna senior—memperkenalkan sistem lembaga sekolah, kurikulum, peraturan, serta fasilitas yang dimiliki. Setelah itu mereka baru dilantik menjadi taruna. "Kami tidak mengenal istilah plonco, yang ada pembinaan kekeluargaan," ujar Pembantu II AMI, Wargiyanto Nidi, 48 tahun.
Pendidikan ala militer, kata Soeroso, dipakai di sekolah-sekolah maritim sejak awal 1960-an, bersamaan dengan peristiwa Trikora (perebutan Irian Barat). Para calon pelaut dididik secara militer di Akademi Ilmu Pelayaran (AIP), karena mereka akan diterjunkan ke medan perang. Dalam perjalanannya, model pembinaan seperti itu ditiru habis-habisan oleh sekolah maritim, baik negeri maupun swasta, yang muncul belakangan.
Sesungguhnya, apa tujuan pembinaan gaya militer di sekolah sipil? Soeroso mengungkapkan, pendidikan ala militer diperlukan karena lapangan pekerjaan bidang maritim sangat membutuhkan ketepatan waktu. "Pendidikan ala tentara untuk membentuk sikap disiplin. Ini bukan tujuan, hanya sarana menuju sukses," tuturnya.
Namun program pembinaan seperti itu membuka celah terjadinya aksi kekerasan—bahkan bisa fatal seperti yang menimpa Wahyu Hidayat, praja (mahasiswa) STPDN Jatinangor, Sumedang, Rabu dua pekan silam. Dari ratusan mahasiswa, tentu ada yang nakal. Mencari-cari kesempatan untuk berbuat iseng kepada adik kelasnya. Seperti diakui Soeroso, aksi pemukulan masih saja terjadi. Tapi, kalau ketahuan bisa berabe. Hukumannya berat, skorsing atau dipecat. Aksi main hakim sendiri bisa dikurangi karena semua karyawan AMI diberi tugas mengawasi. "Kalau ada kesempatan, yang punya jiwa jelek ya memukul. Misalnya di tempat sepi, gelap, atau di WC," katanya.
Meski tidak memasukkan program pendidikan militer dalam kurikulumnya, hukuman model tentara masih diberlakukan di AMI. Kalau ada taruna yang merokok di lingkungan kampus atau tidak mengenakan seragam, mereka langsung mendapat hukuman fisik. "Push up seratus kali. Tapi disesuaikan dengan kondisi taruna. Kalau tidak kuat, berhenti," kata Ahmad Yulianto, 21 tahun, mahasiswa AMI semester V.
Hukuman lebih berat diberikan kepada taruna yang terlambat apel bulanan. Mereka dihukum jalan jongkok dari pintu gerbang menuju kampus sejauh sekitar 100 meter. Tapi tak semua taruna boleh menghukum. "Hanya anggota dewan taruna yang boleh," ujar Chani Firmansyah, 21 tahun, rekan sekelas Ahmad.
Perguruan sipil lainnya yang juga menerapkan gaya militer adalah Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta. Sekolah kedinasan di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan itu mengadopsi sistem pembinaan disiplin militer karena dianggap paling sesuai. "Metode (kedisplinan) yang paling tepat saat ini adalah militer," kata Kepala STP, Wahyono Hadiparmono.
Tetapi rambu-rambu harus ada agar program tidak berbelok menjadi kekerasan. Para siswa dibekali buku sistem pembinaan sikap dan kepribadian taruna. Buku yang berisi 14 pasal peraturan itu menjadi pegangan selama menjalani pendidikan ketarunaan.
Pendidikan ala militer diawali dengan latihan fisik sembilan hari di Resimen Induk Kodam Jaya, Condet, Jakarta Timur. Mereka dilatih dasar-dasar bela negara. Setelah itu, mereka kembali ke kampus untuk mengikuti program pengenalan lingkungan kampus selama tujuh hari. Baru setelah itu resmi menjadi taruna.
Latihan fisik yang berat tidak membuat siswa merasa tertekan. Sunardi, taruna STP tingkat III berusia 21 tahun, mengaku beruntung bisa mengikuti program pendidikan itu. Baginya, latihan fisik sangat berguna untuk melaksanakan tugas lapangan. "Waktu turun ke lapangan tidak pernah mengenal waktu. Hampir 24 jam," katanya.
Sekolah Menengah Umum (SMU) Taruna Nusantara Magelang punya cara sendiri dalam mendidik tarunanya. Tapi pada prinsipnya tak jauh berbeda dengan dua sekolah tersebut. Lokasi sekolah berasrama itu bersebelahan dengan Akademi Militer (Akmil). Kedisiplinan yang diterapkan pun kurang lebih sama dengan Akmil. Tapi SMU Taruna Nusantara melarang keras aksi perpeloncoan. Yang ada hanya masa orientasi siswa (MOS) selama tiga hari.
Kepala SMU Taruna Nusantara Brigjen TNI Bambang Pradjuritno mengungkapkan, setelah masa orientasi, para siswa harus mengikuti kurikulum khusus kedisiplinan selama tiga bulan di sela-sela kegiatan akademis. Para siswa senior yang ikut mendampingi adalah murid pilihan. Mereka juga didampingi pamong, sehingga pengawasannya ketat. Dengan model seperti ini, aksi kekerasan bisa dikikis.
Sapto Yunus, Mustafa Ismail (TNR), Syaiful Amin (Magelang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo