Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gerakan nasional pariwisata

Wawancara tempo dengan ponco sutowo tentang industri pariwisata, perhotelan, dan pengembangan daerah wisata.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pontjo Sutowo, 42 tahun, mencuat namanya ketika duduk dalam Panitia Nasional Konperensi Nonblok ke10 September silam. Banyak yang kagum karena renovasi Balai Sidang dilakukannnya hanya dalam tempo kurang dari setahun. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan pemilik Hotel Hilton ini Selasa pekan silam tertunda keberangkatannya ke Yogya. Maka terbukalah peluang bagi Bina Bektiati dari TEMPO untuk mewawancarai dia. Petikannya: Industri pariwisata diharapkan tumbuh sebagai sumber penerimaan devisa yang bisa diandalkan. Bagaimana perkembangannya sampai sekarang? Rata-rata selama Pelita V ini jumlah turis meningkat sebesar 2 digit. Hari Minggu kemarin pemerintah menyambut wisatawan yang ke-3 juta pada tahun 92 ini. Berarti tahun 92 sudah melebihi 3 juta orang, padahal itu target akhir Pelita V. Secara umum pertumbuhan pariwisata memang baik. Hotel serta restoran menyedot separuh dari belanja dan waktu turis. Tapi ada beberapa indikasi yang menarik tahun 1992. Misalnya di Bali, tahun 1989 dan 1990 terjadi ''boom'', tahun 1991 jumlah kamar bertambah banyak, tapi tingkat hunian malah turun. Akhir 1991 kembali membaik. Sesudah Pemilu, pada paruh kedua tahun 1992, ada tingkat kemajuan yang menggembirakan. Pertamatama, menurut saya, karena kita siap. Kedua, kita baru saja menyelesaikan Pemilu yang terlaksana dengan baik, sedangkan stabilitas politik dalam negeri juga baik. Semua itu penting untuk pariwisata. Ketiga, dalam waktu yang sama terjadi keributan di Thailand. Turis, yang semula mau ke Thailand, datang ke Indonesia. Maka tingkat hunian hotel semester kedua (tahun 1992) di Bali menggembirakan. Lain halnya di Jakarta. Tahun ini hotel-hotel bintang 4 dan 5, tingkat kemajuannya cuma 3%. Mungkin ada kaitannya dengan investasi asing yang juga turun. Saya menganggap potensi pariwisata kita dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Bandingkan dengan Thailand yang menghasilkan dua kali lipat dan Singapura yang hampir dua kali lipat dibandingkan dengan Indonesia. Untuk perhotelan, share terhadap penghasilan sektor pariwisata untuk devisa sekitar 30% (dari 3 milyar dolar AS). Dan restoran kurang lebih sama. Sebenarnya sektor pariwisata meski sudah naik, masih mungkin berkembang. Menurut saya, pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar pada akhir Pelita IV. Tapi untuk mencapainya bukan pekerjaan mudah. Karena pariwisata harus melibatkan dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Harus ada suatu gerakan nasional untuk pariwisata. Gangguan keamanan atau huruhara di sini bisa mempengaruhi pariwisata. Perlakuan kita yang kurang sopan, di bandara atau di tempat-tempat wisata, pasti mempengaruhi. Jadi kalau semua ikut berusaha memajukan pariwisata, barulah sektor ini dapat terangkat. Apakah sektor perhotelan masih punya peluang untuk tumbuh? Dalam konteks pariwisata, kita harus mengenali beberapa kelompok: kelompok hotel, kelompok biro perjalanan, kelompok airline. Biarkanlah kelompokkelompok itu memecahkan masalahnya masing-masing, yang penting ada dialog antarkelompok. Dan masing-masing tahu bahwa kehidupannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kelompok lain. Dan kalau ini bisa diterapkan, maka fasilitasfasilitas yang kurangkurang itu bisa dengan sendirinya berkembang. Dengan contoh tadi, investasi hotel nggak usah kita pikirkan, pasti terjadi. Menurut Anda, apakah Visit Indonesia Year dan Visit ASEAN Year membawa dampak positif bagi pariwisata di Indonesia? Ya, sedikit banyak membantu memasyarakatkan pariwisata. Masyarakat kita lebih menyadari apa itu pariwisata, apa yang diharapkan, dan apa perannya dalam pariwisata. Dampaknya lumayanlah. Masyarakat lebih mempersiapkan diri untuk menyambut tamu secara lebih baik. Menurut Anda, di kawasan Asia Tenggara-Asia Timur, negara mana saingan Indonesia dalam merebut turis asing? Selain negara-negara ASEAN, saya kira Cina dapal berkembang menjadi saing an. Sekarang kita sedang me ngembangkan yang namanya Badan Komunikasi Pariwisata Indonesia (BKPI) yang mana hotel harus memberikan 2% dari turn overnya untuk membiayai promosi. Bandingkan dengan biaya promosi pariwisata Indonesia tahun 1992 yang 10 milyar rupiah dan Singapura yang senilai 100 milyar rupiah. Perlukah daerah wisata dikembangkan sebanyak-banyaknya? Saya kira salah persepsi seperti itu. Saya kira konsentrasi saja dulu. Maksud saya, Jakarta harus diperkuat . Tapi Batam Ujungpandang, dan Biak dikembangkan sebagai second destination. Namun Jakarta, Yogya, dan Bali tetap harus dikembangkan. Kita punya banyak objek turis yang bisa ditawarkan, tapi kita tetap saja kalah dari Singapura. Komentar Anda? Masalah pariwisata itu begini. Kalau kita perhatikan Singapura dari segi objek wisata yang ditawarkan, Indonesia bisa seribu kalinya Singapura. Nyatanya jumlah wisatawan asingnya dua kali lebih banyak daripada Indonesia. Jadi yang menentukan justru faktor prasarana, bukan objek wisata. Saya kira perlu airport bagus, telekomunikasi bagus. Kita sangat kurang telekomunikasi. Maka itulah yang harus kita perkuat. Informasi itu penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus