PERJALANAN untuk menemui wakil rakyat ternyata bisa seperti perang gerilya. Sekitar 70 petani dari Desa Ciramagirang dan Cigunungherang, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, harus berjalan kaki selama enam jam melintasi hutan dan jalan setapak. Bahkan, penduduk Cigunungherang perlu berperahu dulu melintasi Sungai Citarum. Sesampai di Warung Jeruk, Purwakarta, Selasa dini hari pekan lalu, mereka harus bersembunyi dalam hutan bambu, baru bisa melanjutkan perjalanan. Long march itu harus tetap menerabas hutan bambu, konon, karena mobil polisi kerap lewat di jalan besar. Tak heran, sebagian petani lanjut usia dan satu-satunya wanita yang ikut pingsan karena kecapekan di tengah jalan. Rombongan terpencar di tengah jalan, sehingga hanya 43 petani beserta seorang mahasiswa yang bisa naik bis umum dari Cilalawi, Purwakarta, sampai ke gedung DPR/MPR di Jakarta. Di sana, para petani dengan sandal jepit belepotan tanah itu mendengarkan ucapan wakil rakyat dari F-KP dengan terkantuk-kantuk. Tidak puas dengan tanggapan FKP, 20-an mahasiswa yang mengantar (sebagian sudah menunggu di gedung DPR), mengajak mereka mengadu lagi ke F-PDI sambil menanti petani lainnya. Rombongan yang lain rupanya ditahan aparat keamanan di Pur- wakarta. Ini kedua kalinya mereka tertahan. Pada 20 Desember lalu, mereka dicegat aparat pemda, polisi, dan kodim di rumah makan Kartika Sari, Cianjur, dalam perjalanan ke DPR. Niat petani ke DPR -- walau sebelumnya sudah diperingatkan Bupati Cianjur -- adalah untuk mengadukan nasib tanah garapan seluas 350 hektare yang sudah mereka olah sejak 1944. Menurut para petani, pada 1967, diadakan pengukuran oleh petugas Kantor Dinas Luar Tingkat I Ipeda Sukabumi, dan status tanah itu dinyatakan tanah negara bebas. Tanah lalu, diredistribusikan kepada masyarakat dengan harga Rp 600 per hektare. Dua tahun kemudian, keluar surat girik. Pada 1977, ada pertemuan dengan Tripika Kecamatan Cikalong Kulon, membahas permohonan rakyat agar dijadikan hak milik, tapi tak ada hasil. Tiba-tiba pada 1983 pihak Perhutani Unit III Jawa Barat mengklaim tanah tersebut berdasarkan peta yang dimilikinya. Rakyat menolak. Sejak itu, Perhutani kerap menebang tanaman milik 403 petani yang terdiri dari kebun karet, kopi, buah-buahan, dan persawahan. Para petani yang mulai putus asa melayangkan surat pengaduan ke Pemda Cianjur, DPRD, dan Ketua DPR/MPR. Tapi, Bupati Cianjur malah memerintahkan agar mereka meninggalkan lahannya, dilanjutkan dengan surat perintah dari Perhutani, dan konon juga pembakaran kebun rakyat. Tindakan Perhutani ini berbuntut: empat petani diadili dengan tuduhan merusak persemaian Perhutani. Salah seorang di antaranya, Bujil, sudah divonis enam bulan, tapi kini diadili kembali. Beberapa penduduk juga terancam tindakan serupa -- sampai-sampai, konon, karena ketakutan, seorang menggantung diri. Menurut Kepala Humas Pemda Cianjur Djohan Ar Lesmana, tanah itu sah milik Perhutani dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda 7 Juli 1927. Pembayaran redistribusi dulu hanya untuk penggarapan tanah, bukan syarat untuk kepemilikan. Karena merupakan kawasan miliknya, Perhutani memanfaatkannya dengan program kehutanan sosial: petani masih boleh menggarap, asalkan tanaman sesuai dengan program itu. Komandan Kodim 0608 Cianjur Letkol. Irwan S. Sinring membantah bahwa aparatnya menghalangi niat masyarakat untuk mengadu ke DPR. "Itu kan hak warga negara, asalkan tidak ada orang lain di belakangnya," katanya. Diah Purnomowati dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini