Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika para ulama berkumpul, lazimnya mereka bersilaturahmi dan saling mendoakan. Ketika intelektual bertemu, jamaknya saling membagi ilmu. Tapi, suasana penuh rahmat itu tidak muncul di Hotel Mandarin Jakarta, Kamis pekan lalu. Mereka bertemu dalam suasana tegang dan saling tuding.
Dawam Rahardjo, mantan Rektor Universitas Islam Bekasi, dan Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, saling adu mulut. Pada kata penutupan diskusi bertema ”Menyikapi Perbedaan Pasca-Fatwa MUI” itu, Dawam menuding—telunjuknya benar-benar menuding—Amidhan sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbitnya fatwa yang, menurut dia, bisa menyebarkan teror di masyarakat.
Kata-kata pedas dan lantang itu membangkitkan Amidhan dari kursinya, dan segera balik menudingkan jari ke arah Dawam. Namun, teriakannya yang lantang tenggelam oleh suara Dawam yang sedang menguasai mikrofon. Suasana semakin ricuh ketika para pendukung tiap kubu berteriak layaknya di pasar malam. Ketika jarak Dawam-Amidhan semakin dekat dan berhadapan, panitia diskusi menengahi.
Diskusi itu mestinya mencari titik temu antara dua kelompok yang peduli atas lahirnya 11 fatwa MUI hasil Musyawarah Nasional MUI VII di Jakarta, dua pekan lalu (lihat tabel). Pihak pertama adalah Dawam dan Jaringan Islam Liberal sebagai penentang fatwa, di seberang lain Amidhan bersama MUI dan beberapa organisasi Islam lainnya.
Dan kini, masing-masing merapatkan barisan. Malamnya, seusai diskusi yang ricuh, kelompok penentang berkumpul sambil merayakan ulang tahun ke-65 mantan presiden Abdurrahman Wahid di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Sejumlah pimpinan organisasi dan tokoh lintas agama menyebut acara itu merayakan pluralisme. Hadir, antara lain, Dawam Rahardjo, Abdul Basith (Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia), Anand Krishna (pimpinan Yayasan Ashram Anand Krishna), Todung Mulya Lubis, dan Ulil Abshar Abdalla (Koordinator Jaringan Islam Liberal).
Tentu saja semua tokoh di Ciganjur itu mengecam fatwa MUI. Dawam, misalnya, kembali mempertanyakan fatwa yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan doa bersama. ”Pengertian pluralisme adalah mengakui perbedaan agama. Tapi, karena ini menimbulkan konflik, hendaknya dilakukan ta’aruf, saling-pemahaman. MUI perlu lebih banyak belajar karena mereka betul-betul tidak tahu apa yang dimaksud dengan pluralisme,” katanya disambut tepuk sorak sekitar 200 tamu.
Kubu lain menggelar unjuk suara. Seusai salat Jumat di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan, pimpinan sejumlah organisasi Islam penyokong fatwa secara bergiliran tampil dalam khotbah selama hampir dua jam. Mereka, antara lain, Husein Umar (Ketua Dewan Dakwah Indonesia), Ahmad Sumargono (Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia), Mashadi (Ketua Forum Umat Islam Indonesia), Kholil Ridwan (Wakil Ketua Komite Indonesia untuk Dunia Islam).
Husein Umar menantang para penyokong liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. ”Terbitnya fatwa MUI ini merupakan awal gerakan perlawanan. Kita datangi Todung Mulya Lubis, juga markas Jaringan Islam Liberal di Utankayu!” teriaknya disambut takbir seratusan pengunjung siang itu. Kholil Ridwan menambahkan, keberadaan kelompok penentang itu memperjelas perbedaan. ”Mereka itu golongan munafikin,” katanya.
Masalah-masalah dalam fatwa MUI yang dipertentangkan itu, antara lain, soal kawin beda agama, doa bersama yang dipandu pimpinan agama lain, masalah pluralisme, liberalisme, sekularisme, serta label sesat bagi Ahmadiyah. Kelompok penentang melihat MUI salah menerjemahkan makna pluralisme yang berarti kemajemukan, sementara masalah kawin beda agama bahkan tidak dilarang dalam Al-Quran. Mereka juga melihat MUI kebablasan, karena MUI tak berhak memberi label sesat atau tidak bagi Ahmadiyah.
Sedangkan bagi pendukung fatwa, berbagai persoalan yang diributkan itu sudah gamblang. Masalah-masalah yang bisa diperdebatkan hanyalah menyangkut muamalah (kemasyarakatan) sebagai ijtihad (inisiatif). Tapi, masalah usuluddin (agama) seperti ’aqidah (teologi) tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pertentangan kedua kelompok ini agaknya tak bakal mereda dalam pekan-pekan mendatang. Lihat saja, masing-masing saling hujat, emosional, cenderung menyeret karakter pribadi masing-masing. Ulil, misalnya, sempat menuding fatwa itu sebagai ”tolol”—meskipun belakangan ia menyatakan ia khilaf. Jika pemimpin umat sudah tak bisa lagi mengerem emosi, dikhawatirkan pergesekan antarkelompok umat tinggal menunggu waktu.
Di lain pihak, Ketua MUI Ma’ruf Amin menolak disebut sebagai penyebab gesekan antarkelompok—jika hal itu benar-benar terjadi. Sebab, dalam pengantar fatwa MUI sudah diingatkan agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan anarki. ”Kalaupun terjadi, kan ada polisi dan tentara yang bisa mengamankannya,” katanya enteng. Lagi pula, menurut dia, pembahasan fatwa itu—yang dibuat sebagai jawaban atas pertanyaan umat—berlangsung mulus karena semua ulama merujuk pada kitab-kitab yang sama.
Menurut Ma’ruf, soal pengharaman pluralisme, para ulama tidak mengartikannya sebagai kemajemukan. Mereka melihat paham ini mengarah pada pengertian bahwa semua agama dianggap sama. Sementara liberalisme merupakan paham yang mengedepankan akal bebas dibandingkan dengan nash, yaitu ayat Al-Quran dan hadis. Ketika akal bebas dihadapkan pada nash, kaum liberal mendahulukan akal dan menafikan nash. ”Cara berpikir seperti ini kan sesat,” katanya.
Para ulama pimpinan pondok pesantren di Jawa dan Madura yang tergabung dalam Lembaga Bahtsul Masa’il juga menggelar munadzarah (diskusi) di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Mereka menyesalkan sikap pemerintah yang menjadikan fatwa MUI sebagai satu-satunya pedoman dalam memutuskan persoalan agama. ”Padahal, banyak lembaga dan kelompok kajian agama yang secara rutin melakukan telaah atas perkembangan kehidupan beragama,” kata KH Muhibul Aman, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatul Ulum, Pasuruan, Jawa Timur. Tapi, dalam substansinya, mereka sependapat dengan fatwa MUI tersebut.
Sementara itu, kritik keras dilontarkan oleh Zuly Qodir, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. ”Dengan memberikan stempel sesat kepada suatu kelompok, MUI terlalu jauh masuk ke wilayah teologi, seolah menjadi wakil Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak dan mengetahui siapa yang sesat,” katanya. Ia melihat MUI dikuasai oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang radikal seperti K. Ma’ruf Amien (Rois Syuriah PBNU) dan Dr Dien Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah). ”Tapi, mereka tidak berani bicara atas nama NU atau Muhammadiyah,” ia menambahkan.
Agung Rulianto, Zed Abidien, Sunudyantoro (Surabaya), Dwijo U. Maksum (Kediri)
Fatwa MUI Hasil Munas VII
- Masalah perlindungan atas hak kekayaan intelektual (haki).
- Mengharamkan perdukunan dan peramalan.
- Mengharamkan mengamini doa bersama yang dipimpin oleh nonmuslim.
- Mengharamkan, dan menganggap tidak sah, perkawinan beda agama.
- Menyatakan hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antara orang beda agama.
- Kriteria masalah.
- Mengharamkan mengikuti paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama.
- Masalah pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum.
- Mengharamkan laki-laki menjadi makmum salat di mana perempuan menjadi imam.
- Menyatakan Ahmadiyah sebagai sesat dan menyesatkan.
- Membenarkan hukuman mati dalam tindak pidana tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo