Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH tiga kali Ami mendaftar untuk mendapatkan kartu tanda penduduk di kantor Kelurahan Aren Jaya, Bekasi Timur, Jawa Barat. Semuanya gagal. Setiap kali hendak mencetak KTP elektronik itu, petugas memberitahukan bahwa nama perempuan 25 tahun tersebut tak terekam server data kependudukan Kementerian Dalam Negeri.
Jengkel karena di kelurahan selalu pulang dengan tangan hampa, Ami mendatangi kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bekasi pada Selasa pekan lalu. Dia datang pukul 10.00 dan harus antre lebih dari dua jam. "Mudah-mudahan di sini sukses," ujarnya.
Lagi-lagi Dinas pun tak ampuh mendatangkan KTP Ami. Ia hanya mendapat secarik surat keterangan bahwa ia telah merekam identitas yang ada di kartu keluarga, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, nama keluarga, serta pendidikan. Petugas Dinas Kependudukan tak memastikan kapan e-KTP itu bisa dicetak.
Ami tak sendirian. Di Bekasi, ada banyak orang yang antre dan berdesakan di kantor Dinas Kependudukan karena berulang kali gagal mencetak KTP di kelurahan masing-masing. Muhammad Armanuddin, misalnya, sudah dua kali merekam data untuk KTP, tapi datanya selalu tak ada di server.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menduga problem Ami dan Armanuddin terjadi karena petugas salah memasukkan data. "Mungkin karena petugas tak menjalankan prosedur dengan benar sehingga data penduduk itu tidak terekam di server pusat," ujarnya, Kamis pekan lalu.
Di daerah lain, menurut Zudan, masalah perekaman ini juga banyak cabangnya. Di Papua, koneksi Internet yang minim membuat pengiriman data dari server di kecamatan tak diserap server e-KTP di Kementerian Dalam Negeri karena jaringannya mati saat pengiriman. Walhasil, meski petugas memasukkan data dengan benar, perekaman itu menjadi mubazir. Di Papua, Zudan menyatakan, masih ada 1,5 juta penduduk dari 3,2 juta yang datanya belum tersimpan di server pusat.
Masalah lain adalah banyaknya data ganda. Penduduk yang menyangka harus mendaftar lagi ketika berpindah daerah tetap direkam petugas di tempat tinggal baru. Peranti perekaman tak otomatis mendeteksi data tersebut karena alamatnya berbeda meski nama pemohonnya sama. Walhasil, sistem penunggalan identitas di server pusat, yang disebut automated biometric identification system (ABIS), akan menolaknya.
Dengan segala problem minor dan mayor yang tumpang-tindih itu, toh pemerintah sudah merekam 175 juta dari 185 juta penduduk Indonesia yang wajib punya KTP. Sebanyak 4 juta sisa penduduk yang datanya belum terekam ada di luar negeri. Enam juta lainnya tersebar di Papua, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
KTP elektronik merupakan tahap pertama menuju nomor identitas tunggal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan- yang belakangan diubah menjadi Undang-Undang 24 Tahun 2013. Aturan itu mengharuskan penduduk Indonesia punya nomor induk kependudukan (NIK) sejak 2011.
Nomor induk yang tunggal itu akan menjadi dasar buat validasi berbagai dokumen kependudukan lain, seperti paspor dan surat izin mengemudi. "Ini juga akan menjadi dasar buat pelayanan publik lain, seperti kesehatan," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Gede Suratha.
Gede mencontohkan, dengan e-KTP, penduduk tetap akan mendapatkan layanan dasar karena datanya sudah terekam dan terkoneksi ke pelbagai kartu identitas, meski kartunya hilang. Jika KTP seorang penduduk raib dalam sebuah kecelakaan, ia tetap mendapatkan asuransi kesehatan karena rumah sakit sudah memiliki identitas orang tersebut. "Negara wajib mengurusnya," ujar Gede.
Demikianlah cita-cita e-KTP. Dengan teknologi sidik jari, identitas setiap orang akan terlacak secara presisi. Selain sidik jarinya, saat merekam data identitas, setiap penduduk direkam iris matanya, wajah, dan tanda tangan. Data biometrik ini, menurut Gede, berguna untuk verifikasi berbagai urusan, dari kriminal hingga mengajukan kredit di bank.
Server yang menyimpan data itu ada di tiap kecamatan yang menghimpun data dari kelurahan. Data dari kecamatan tersebut langsung terkoneksi ke server pusat di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Di server pusat ini, data tiap orang itu akan masuk ke daftar antrean untuk masuk ke sistem ABIS.
Di sini masalah baru muncul lagi, yakni ABIS tak bisa memproses data antrean itu karena pemerintah belum membeli lisensi baru untuk mengolahnya. Pengusutan perkara korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun ini membuat Komisi Pemberantasan Korupsi meminta prosesnya dihentikan sebelum jelas para pelaku yang mencuri uang proyek itu.
Pada 2011, ujar Gede, pemerintah membeli lisensi dari PT Biomorf Lone Indonesia untuk memproses 172 juta data penduduk di ABIS. Awal Oktober lalu, kuota itu terpenuhi sehingga pemerintah perlu membeli lisensi baru untuk merekam sisanya akibat pertambahan penduduk selama lima tahun. Saat ini ada sekitar 6 juta data penduduk yang belum bisa diproses ke sistem ABIS.
Menurut Gede, pembelian lisensi itu dilakukan bertahap karena proyek ini memakai data 2011, yang saat itu diperkirakan hanya ada 172 juta penduduk dewasa wajib punya KTP. Pemerintah sudah melelang pengadaan lisensi untuk 10 juta data. "Mudah-mudahan cukup sampai akhir 2017," ujarnya. Menurut Gede, lelang itu ditargetkan selesai pada akhir November.
Beres urusan lisensi, blangko juga langka karena pemerintah menghentikan pengadaannya akibat temuan korupsi dalam pengadaannya. Baru pada Maret lalu pemerintah menandatangani kontrak baru untuk pengadaan tujuh juta blangko. Masalahnya, karena pengadaan bertahap blangko tak bisa disebarkan secara serentak, banyak pemohon KTP di beberapa daerah yang pulang dengan tangan hampa meski sudah antre berjam-jam, bahkan menginap di kelurahan.
Di Bekasi, ada 120 ribu data yang siap dicetak. Namun, Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bekasi Nardi mengungkapkan, Kementerian Dalam Negeri hanya mengirim 10 ribu blangko tiap bulan. Karena itu, Nardi harus bersiasat supaya tidak terjadi antrean panjang dalam mengambil e-KTP. "Kami membuat terobosan dengan mengantar e-KTP yang sudah jadi ke rumah penduduk," ujarnya.
Cara Nardi ini menjawab pertanyaan Ami dan Armanuddin, yang kembali kecele karena tak mendapat KTP hari itu juga, padahal mereka sudah minta izin kantor mengurus pembaruan KTP yang sudah kedaluwarsa meskipun tetap tanpa kepastian. "Tunggu saja di rumah," ucao Nardi.
Gadi Makitan, Adi Warsono (bekasi)
1.001 Masalah E-KTP
BANYAK masalah dalam perekaman data kartu tanda penduduk elektronik: berlapis-lapis mesin penyimpanan data, akurasi perekaman, hingga pengusutan korupsi yang membuat pemerintah tak bisa melelang server.
Kecamatan
» Perekaman KTP elektronik:
Pasfoto, tanda tangan, sidik jari, iris mata
Masalah:
1.Petugas alpa menyimpan data.
2.Merekam data dua kali sehingga ABIS otomatis menolaknya.
3.Perekaman sidik jari tidak sempurna sehingga ABIS menolaknya.
Data
Masalah: Jaringan data mati; data tak terkirim ke server pusat
MQ
» Message queuing (MQ): antrean data—server di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Medan Merdeka Utara
» Status data: sent for enrollment
ABIS
Masalah: Pemerintah belum membeli lagi lisensi L-1 sehingga hampir 6 juta data belum diproses.
» Automated Biometric Identification System (ABIS): sistem manunggal data—server di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Medan Merdeka Utara
Ditolak
Penyebab:
1. Data ganda (misal: satu nama dua alamat)
2. Data dua kali masuk
3. Sidik jari tak bisa dideteksi
Diterima
----Status data: print ready record (PRR)
DRC
» Data Recovery System (DRC): backup data—server Batam
- Biodata
- Pasfoto
- Tanda tangan
- Sidik jari telunjuk kanan dan kiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo