Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HWAN Lie Hoa namanya. Dia adalah jenderal dinasti Tang yang memimpin ratusan ribu anggota pasukan memerangi Souw Po Tong di kawasan Tartar Barat. Souw Po Tong merupakan musuh besar kesatria Tang termasyhur, Sie Jin Kwie, yang telah mangkat. Hwan, yang merupakan menantu Sie Jin Kwie, ibarat perpanjangan tangan bapak mertuanya untuk melawan Souw Po Tong.
Memerankan Hwan Lie Hoa, aktris Teater Koma, Tuti Hartati, patut dipuji. Ia sigap dan tangkas. Energinya tak mengendur sepanjang empat jam pertunjukan. Tatkala terjadi pertempuran sengit melawan Souw Po Tong yang dibantu para siluman, karakter Hwan Lie Hoa terlihat. Sebaliknya, peran Idries Pulungan sebagai Souw Po Tong tidak terlalu menonjol.
Begitulah inti cerita pertunjukan Teater Koma berjudul Sie Jin Kwie, Melawan Siluman Barat. Seri Sie Jin Kwie sebelumnya pernah dimainkan Teater Koma, yakni Sie Jin Kwie (2010), Sie Jin Kwie Kena Fitnah (2011), dan Sie Jin Kwie di Negeri Sihir (2012).
Sie Jin Kwie, Melawan Siluman Barat berbeda dengan tiga lakon sebelumnya. Yang paling mencolok tentu karena tak ada tokoh Sie Jin Kwie. Tokoh itu telah menemui ajal dalam lakon terakhirnya. Sebagai pengganti, muncul Hwan Lie Hoa dan Souw Po Tong sebagai dua tokoh sentral dalam pementasan.
Sama seperti dalam pementasan-pementasan sebelumnya, set lakon kali ini juga digarap dengan serius hingga menyerupai panggung Opera Cina. Properti serba memanjakan mata. Para pemainnya- dengan bahasa tubuh dan cara bertutur yang komikal- mengenakan busana kekaisaran lengkap dengan pedang, kapak, atau tombak. Sebagaimana biasa, Nano Riantiarno mendemonstrasikan keahliannya menggarap adegan kolosal. Meski puluhan pemain tumplek-blek di panggung, tidak ada kesan crowded atau berantakan. Malah itu menjadi kekuatan tonil Teater Koma. Barisan belasan serdadu yang kerap melintas berderap di tengah adegan sangat mengasyikkan.
Tapi, jika dibandingkan dengan lakon Sie Jin Kwie sebelumnya, di pementasan ini hampir tak ada adegan spesial. Karena temanya perang melawan siluman, sejak awal sesungguhnya kita mengharapkan adegan laga yang "ajaib-ajaib". Siluman dengan berbagai ilmu silatnya yang aneh-aneh muncul. Siluman dengan senjata-senjata yang lucu-lucu serta ganjil-ganjil silih berganti maju ke muka seperti bila Ki Anom Suroto atau Manteb Soedharsono dalam pewayangan memunculkan aneka raksasanya. Lalu, di situ, Nano dengan total menyuguhkan trik-trik panggung yang tak terduga. Aneka jurus sulap digeber. Aneka jurus akrobatik, dari yang gelantungan sampai bermain api, disuguhkan. Sebuah perayaan dunia siluman.
Memang boneka-boneka siluman yang besar-besar dimunculkan, tapi itu hanya menjadi aksesori belaka. Perkelahian masih kebanyakan dikemas dalam tarian. Kecuali adegan dua orang yang kerap bersalto di panggung. Mereka adalah atlet wushu dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta, yang diundang ikut pementasan. Sementara itu, ada adegan yang diiringi lagu dan gerakan maju-mundur aktornya seperti dipaksa-paksakan supaya terlihat lucu.
Kisah ini sesungguhnya juga merupakan kisah keperkasaan jenderal-jenderal perempuan. Ini edisi perang para perempuan. Hwan Lie Hoa memiliki empat jenderal wanita. Mereka bahu-membahu menyerang pasukan Souw Po Tong. Souw Po Tong pada akhirnya dihukum mati. Tapi bobot adegan kematiannya sama dengan adegan-adegan sebelumnya. Tidak terasa sebagai sebuah adegan khusus tersendiri.
Nano Riantiarno cukup berhasil menjaga tempo sehingga kita tak mengantuk. Di tengah pementasan, dua kali Nano menampilkan pertunjukan wayang berwarna yang diciptakan Tavip asal Bandung. Ini siasat Nano. Pertunjukan wayang menampilkan adegan-adegan yang sulit direalisasi di panggung. Hwan Lie Hoa, misalnya, memiliki jenderal yang bisa terbang bernama Cin Han. Akan menarik, misalnya, bila adegan-adegan terbang itu dikonkretkan di panggung, entah bagaimana caranya. Misalnya aktor dikerek atau apa. Tapi tentu itu susah, makin makan biaya, dan Nano memilih hal tersebut diwayangkan saja. Juga adegan Souw Po Tong dikerangkeng ditenggelamkan ke dasar laut.
Visual wayang Tavip dengan bayang-bayang gambar aneka warna, lapis-melapisi, membesar-mengecil memang jempol. Apalagi Budi Ros, sang dalang, demikian sableng. Biasanya, dalam pertunjukan teater apa pun, sindiran-sindiran menyangkut kejadian aktual jatuhnya klise, lebay, dibuat-buat, garing, dan dikritis-kritiskan. Namun cara membawakan Budi Ros yang "sinting" mampu membuat sindiran-sindiran ini segar minta ampun. Misalnya, tatkala serdadu-serdadu Hwan Lie Hoa tiba-tiba menceritakan Setya Novanto yang kerap tertangkap kamera ketika sedang mengantuk, atau ketika mereka merasani masifnya iklan Meikarta di Cikarang, Jawa Barat. Penonton pun tak kuasa menahan tawa. Ha-ha-ha....
Prihandoko, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo