Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Salt, Akhir Sebuah Trilogi

Sebuah tari solo tentang garam ditampilkan Eko Supriyanto di Salihara menutup rangkaian studinya terhadap Jailolo.

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKO Supriyanto berdiri membelakangi penonton. Panggung sangat minim cahaya. Samar-samar tampak tubuh Eko tanpa apa-apa. Kita melihat dari punggung sampai pantat Eko polos. Gerak-gerik minimalis ia eksplorasi di sekitar pundak. Tangan kanan-kirinya kemudian menyibak naik-turun. Ia seolah-olah bergerak tanpa bobot.

Bagian terakhir dari trilogi Jailolo ini diawali dengan sebuah karya bertolak dari pengalaman pribadi Eko saat menyelam bertemu dengan ikan-ikan ganas. Eko menarik perhatian dunia tari dengan serangkaian karya yang bertolak dari perairan Jailolo. Selama kurang-lebih lima tahun ia melakukan riset tari-tari tradisional Jailolo: Soya-soya, Cakalele, dan Baranggeng. Tapi ia ingin menyajikan karya yang tak sekadar menampilkan ulang bentuk tradisi itu.

Pertama, Cry Jailolo. Ia mengamati kekuatan kaki sehari-hari anak laki-laki Jailolo dapat dijadikan koreografi. Jadilah sebuah karya yang sepanjang pertunjukan, mereka mengentak bumi menimbulkan birama yang konstan. Para remaja laki-laki itu membuat variasi menyebar dan mengelompok bagaikan gerak formasi ikan mendekat dan menjauhi terumbu karang. Selama itu, kaki-kaki mereka mentul-mentul terus-menerus seperti per.

Karya ini sebuah physical dance yang tak lagi bisa disamakan dan dirujuk sebagai ekspresi asli tradisi Jailolo. Tak pelak karya ini disambut festival Eropa dan Australia. Menyusul kesuksesan Cry Jailolo, Eko kemudian melatih remaja perempuan Jailolo menciptakan Bala-bala. Bala-bala artinya bangkit. Karena itu, Eko mengolah tari tradisi yang memiliki unsur melompat setinggi-tingginya.

Lalu kini Eko sendiri yang tampil. Eko, yang sejak kecil digembleng silat di Magelang, Jawa Tengah, menyuguhkan pengalaman kebertubuhannya saat berbentur khazanah Jailolo. Bagian pertama lebih bisa disebut nomor yang hanya menampilkan bagian belakang tubuh. "Beberapa kali saya bertemu dengan barracuda. Saya harus tenang. Kalau tidak, bisa celaka" kata Eko. Menurut dia, penyelam Jailolo harus tahu sifat-sifat barracuda demi bisa menghindar.

Bagian kedua Jathilan. Selama intens menyelami kebertubuhan anak-anak laut Jailolo yang berbeda sekali dengan Jawa, Eko mengaku memori tubuhnya dari masa kanak-kanak seolah-olah "meledak". Malam itu, di Teater Salihara, Jakarta, ia mengunyah-ngunyah kembang mawar putih. Lidahnya menjulur-julur. Ia meringis seperti orang kerasukan. Eko menggali lagi kenangannya saat menjadi pemain jathilan celeng ketika berusia 12 tahun di Magelang. "Saya menjadi tokoh utama celeng. Tokohnya, selain makan mawar, makan tanah." Unsur musik dipenuhi tabuhan kendang yang dipadu dengan sound scape dan gesekan selo. Penata musik adalah Dimawan Krisnowo Aji, yang dikenal juga suka mengiringi jathilan.

Lalu mulailah bagian ketiga yang berhubungan dengan garam. Di panggung, penonton sudah melihat gunungan kecil dan sebaran serbuk putih seperti bedak. Eko menggunakan bahan magnesium sulfat untuk menyimbolkan garam. Dia berdiri dan kakinya menyibak "garam" membentuk garis-lurus bersilangan. Tapak kakinya menjadi sebuah tilas. Berdasarkan garis itu, ia melakukan perpindahan blocking. Terlihat koreografinya ini amat terstruktur. Menyamping kanan-kiri berdasarkan pola garis-garis magnesium sulfat.

Koreografi ini berbicara tentang kondisi di dalam air. Eko mengaku, saat menyelam di laut Jailolo, ia sering kehilangan orientasi. "Di dalam air mula-mula saya sering lost space. Tubuh Jawa saya betul-betul awalnya kehilangan balans." Karya ini bertolak sepenuhnya dari pengalaman empiris Eko. Meski dalam khazanah Jawa sesungguhnya banyak inspirasi reflektif mengenai esensi dasar laut, Eko tak menuju ke sana. Kisah Dewa Ruci, misalnya, yang menceritakan Bima yang pergi ke dasar laut mencari tirta perwita- air kehidupan- dan akhirnya bertemu dengan dirinya sendiri. "Ini berangkat dari pengalaman murni saya lost space saat diving," tuturnya.

Yang jadi soal, beberapa bagian seolah-olah memperagakan diri sendiri. Beberapa adegan seperti showing memamerkan tubuh- meski tentu itu tak dimaksudkan Eko. Sebagaimana Bala-bala, tingkat keluruhan tubuh yang dicapai Salt belum sekuat Cry Jailolo. Pada Cry Jailolo, kita disuguhi sebuah tontonan bagaimana tubuh sehari-hari yang jujur menyajikan sesuatu yang alamiah, "apa adanya", tidak diindah-indahkan, tapi berimplikasi kontemporer. "Cry Jailolo sanggup menimbulkan efek haru, sementara Salt tidak," ujar Nungki Kusumastuti, pengamat tari. Sebagai penutup sebuah trilogi, Salt memang belum menjadi sebuah klimaks.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus