SEKITAR seribu buruh 4 perusahaan pukat harimau milik PMA Jepang
di Sorong, Irian Jaya, kini tak was-was lagi engan hari esok
mereka. Usaha kapal pukat harimau memang resmi dilarang mulai 1
Januari 1983 di seluruh perairan Indonesia. Tapi khusus bagi
daerah Irian Jaya masih boleh dioperasikan sejenis pukat harimau
yang sudah dipermak, dan biasa disebut pukat Amerika atau pukat
udang.
Keputusan itu dicapai pada pertemuan Tim Penghapusan Kapal Trawl
dengan Presiden Soeharto di Bina Graha Pertengahan November.
"Penggantian Trawl dengan pukat udang itu hanya untuk Irian
Jaya," kata Menteri Sek-Neg Sudharmono sehabis pertemuan. "Itu
berdasarkan pertimbangan nelayan kecil tak terlalu banyak di
daerah ini, di samping terdapat penanaman modal asing yang harus
memperoleh alat pengganti."
Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring trawl telah
dikembangkan di negeri kita sejak tahun 1960, terutama untuk
menangkap udang. Akibat cara kerja alat ini yang juga menyikat
isi laut lainnya, seperti ikan dan penyu, tak urung berbenturan
dengan rezeki kaum nelayan tradisional. Ini menimbulkan
keresahan. Tambahan pula, dari satu kilo udang, ke dalam jaring
itu terbawa delapan kilo ikan. Nah. Ikan itu terbawa mati dan
sering dibuang begitu saja kembali ke laut. Polusi.
Hingga datang harinya di tahun 1976 pemerintah mengambil langkah
untuk membatasi dan menertibkan pemakaian pukat harimau.
"Walaupun ada usaha pengaturannya, operasi kapal trawl itu
ternyata sulit dikendalikan," kata Dirjen Perikanan, Laksamana
Muda (pens) Abdu Rachman.
Berbicara di depan anggota Komisi IV DPR-RI akhir November,
bekas Panglima Opstar itu yang baru 9 bulan ini menjabat Dirjen
Perikanan -- mengungkapkan tahap pelarangan pukat harimau
berdasarkanKep-Pres No. 39/1980. Yaitu, untuk Jawa-Bali meliputi
jumlah 635 buah, pelaksanaannya mulai 1 Oktober 1980. Tahap
kedua, untuk Sumatera 1.234 buah berlaku mulai 1 Januari 1981.
Dan tahap ketiga untuk daerah lainnya sejumlah 1.431 harus
menjadi seribu saja pada 1 Juli 1981.
Kemudian diatur dengan Instruksi Presiden No 11/1982, maka pada
akhir tahun ini semua kapal pukat harimau harus hapus sama
sekali dari perairan Nusantara.
Mungkin terasa ganjil juga, sementara ada keinginan pemerintah
merangsang peningkatan ekspor komoditi nonmigas, pada saat yang
sama sarana penangkapan udang dilarang. Akibatnya tentu saja
ada. Misalnya di tahun 1979, sebelum resmi pelarangan itu,
produksi udang nasional meliputi 43.435 ton dan sekitar 80% atau
34.743 ton diekspor. Tahun berikutnya, menurut data Biro Pusat
Statistik, ekspor udang turun menjadi 31.934 ton, sedang pada
1981 turun lagi menjadi 25.906 ton.
Untuk mengejar ketekoran itu pihak Dit- en Perikanan sedang
menggalakkan usaha pembudidayaan udang di tambak, untuk berbagai
daerah: seperti di Ja-Bar, Ja-Teng, Ja-Tim, Bali dan NTT, Aceh
dan Sum-Ut, Sul-Sel dan Kal-Tim. Seluruhnya meliputi 10.000 ha.
Di samping kekhususan untuk Irian Jaya, alat tangkap udang yang
diperkenankan berupa alat bukan trawl, seperti jaring trammel,
jaring klitik dan pukat dogol. Alat-alat ini ukurannya lebih
kecil dari pukat harimau. Namun masih sempat menimbulkan
sengketa juga.
Itu terjadi 27 September. Sekitar 40 penduduk Muko muko, pantai
barat Bengkulu, dengan sebuah kapal motor menyerbu 3 kapal KIK
asal Sibolga. Bersenjatakan golok mereka memaksa nakoda dan awak
ketiga kapal yang sedang menangkap ikan itu merapat ke pantai.
Esoknya terjadi lagi terhadap 5 kapal asal Sibolga. Ke-8 kapal
itu kemudian disita oleh Pengadilan Negeri Arga Makmur,
Bengkulu, dan para nakodanya dijatuhi hukuman kurungan 6 hari,
sedang 32 awak kapalnya dikurung selama 3 hari.
Peristiwa itu membuat jengkel Kepala BNI 1946 Cabang Sibolga,
karena ka pal-kapal yang bernilai Rp 13 juta sebuah, merupakan
kredit KIK bagi para ne layan di Sibolga, dengan maksud meng
gantikan usaha trawl. Ada 120 nelayan Sibolga yang kebagian
kredit KIK dar bank itu.
Pukat dogol (Danish seine) adalah jaring berbentuk kantungan
untuk menangkap ikan dasar dan udang. Kalau dioperasikan, si
dogol ini diikat dengan 2 tali penarik yang panjang pada jaring
kantung. "Dogol dltarik dengan tangan, bukan dengan kapal
seperti halnya pukat harimau," kata Yusman Said Sianturi, Kepala
Dinas Perikanan Tapanuli Selatan dan Kotamadya Sibolga kepada
Bersihar Lubis dari TEMPO.
Trauma terhadap pukat harimau agaknya masih panjang. Dan bukan
mustahil para nelayan yang memakai pukat dogol akan terkena
musibah yang sama scperti yang timbul di Bengkulu.
Akan halnya pukat Amerika, alat itu semula penemuan Prancis,
tapi rupanya menjadi beken di Amerika karena Prancis sendiri tak
berselera memakainya. Bentuknya sama dengan pukat harimau.
Bedanya terletak pada perabot tambahan semacam kerangkeng
berpintu (lihat gambar), hingga memungkinkan harta laut yang
nonudang bisa diselamatkan.
Menurut penelitian Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi yang
dipimpin Menteri Ris-Tek B.J. Habibie, hasil tangkapan di luar
udang bisa dikurangi sampai 50%. Hikmah lainnya adalah, "alat
tambahan itu akan kita produksi di dalam negeri," kata Dir-Jen
Abdu Rachman, seraya mengungkapkan instruksi presiden agar hasil
sampingan yang ikut terjaring oleh pukat udang itu, diseralkan
kepada perusahaan negara. "Dan perusahaan negara harus
mengurusnya untuk kepentingan masyarakat," tambahnya.
Bagaimana niat mulia itu dilaksanakan, tentu masih perlu
ditunggu hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini