Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Tumbal Ayam Kuning

Pembangunan taman wisata di borobudur maju selangkah, penduduk menerima pemindahan pasar dan terminal, semula penduduk menolak digusur dan menuntut uang ganti rugi dinaikkan. (nas)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOEDIARDJO merasa lega. "Satu tahap dalam pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur kini telah dilampaui," ujarnya Senin lalu kepada TEMPO. Ada alasan bekas menteri penerangan ini bersyukur. "Alhamdulillah, pasar dan terminal Borobudur telah dapat dipindahkan," kata Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan tersebut. Sabtu Kliwon 20 November lalu, Pem-Da Jawa Tengah secara resmi memindahkan pasar Borobudur. Hari itu ribuan penduduk bergembira mengarak sebatang beringin kecil yang diambil dari pasar lama dan ditanam di pasar baru, yang jaraknya sekitar 750 meter. Seorang dari empat kelompok pemain kuda lumping waktu itu kesurupan, konon "kemasukan" sang penunggu beringin di pasar lama. Pesannya: pemindahan pasar direstui asal disediakan tumbal (korban) seekor ayam berbulu kuning. Ayam kuning segera disediakan. Arak-arakan dan pemindahan pasar dinilai berhasil. Toh orang masih was-was menunggu "masa peralihan" 5 hari yang disediakan: apakah para pedagang serta penduduk akan bersedia pindah ke pasar dan pemukiman yang baru? Keraguan itu beralasan. Bukan cuma disebabkan kepercayaan bahwa memindahkari pasar erat hubungannya dengan berpindahnya rezeki. Tapi yang dianggap lebih mengkhawatirkan adalah, sebagian penduduk Borobudur selama ini keras menentang penggusuran pemukiman mereka guna Taman Wisata Candi Borobudur. Keraguan itu kini lenyap. Hari Minggu lalu yang merupakan hari "pasaran", pasar dan terminal di pemukiman yang baru ramai oleh pengunjung. Ini berarti penduduk menerimanya. Para pengunjung Borobudur yang menggunakan kendaraan umum kini harus turun di terminal. Sepuluh bis Damri yang di kacanya tertulis Wira-Wiri dan Shuttle Service mengangkut mereka ke candi. Kendaraan. pnadi masih diizinkan parkir di kaki candi. Namun jika Taman Wisata sudah berfungsi, cuma andong (delman) yang diperbolehkan mendekat ke candi. Sarana di pemukiman baru yang dibangun pemerintah cukup lengkap: Ada pasar, terminal, puskesmas, kantor pos, jalan raya, air minum dan listrik. Toh dengan segala fasilitas itu sebagian penduduk bersikeras menolak pindah, terutama penduduk Desa Kenayan yang dianggap termasuk zone kedua. Berdasar suatu studi, kawasan Borobudur dibagi tiga: zone pertama merupakan kawasan arkeologi dengan radius 200 meter dari candi. Yang kedua taman wisata dan zone ketiga daerah pemukiman pengganti. Luas seluruh tanah yang akan dikuasai PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan itu 85 hektar. Penduduk, yang sudah turun-temurun bnggal di kawasan itu semula menolak dipindahkan karena pernah mempunyai pengalaman pahit. Pada 1970 dan 1972 sebagian tanah mereka juga dibebaskan, "demi pembangunan Borobudur", dengan ganti rugi yang tbdak memadai. Ternyata di tanah itu kini berdiri sebuah restoran yang dikelola Hotel Ambarukmo. Masalahnya menjadi panjang tatkala enduduk meminta bantuan LBH Jakarta dan KSBH (Kelompok Studi Bantuan Hukum) Yogyakarta. Alasan penduduk yang tidak ingin digusur bukan menuntut uang ganti rugi dinaikkan. Tampaknya mereka tak ingin melepaskan ikatan dengan tanah warisan mereka. "Hidup kami sudah tenteram di Borobudur. Mengapa harus pindah?" ujar Setro Wikromo, 55 tahun, penduduk Desa Kenayan pada suatu diskusi yang diselenggarakan LBH di Jakarta Agustus lalu. Boediardjo, juga punya alasan kuat: candi Borobudur harus dilestarikan. Pada tahun 2000 nanti diperkirakan lebih dari dua juta wisatawan akan mengunjungi candi Budha terbesar di dunia itu. "Bayangkan jika tiap hari Borobudur dikunjungi lebih dari 5.000 wisatawan Lorong Candi akan penuh sesak. Borobudur yang dipugar mahal akan menerima beban yang terlalu berat," ujarnya dalam beberapa kesempatan. Dengan pembangunan Taman Wisata, arus wisatawan diharapkan bisa diatur hingga tak semua sekaligus memadati candi. "Pertentangan" antara penduduk yang menentang, yang jumlahnya makin menipis, dengan PT Taman Wlsata kini masih terus berlanjut. Namun hasil akhirnya--seperti banyak kasus penggusuran lainnya -- nampaknya sudh bisa diramalkan. Boediardjo sendiri, ingin menyelesaikan pembebasan tanah itu dengan sabar dan cara lunak. "Saya asli Borobudur. Saya tak ingin ada kekerasan di sini," ucapnya berulang kali. Namun ia menganggap pembangunan Taman Wisata tersebut tak bisa mundur. Ia percaya semua penduduk akhirnya akan setuju dipindahkan. "Mudah-mudahan yang menentang tidak akan keras-keras ganjalannya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus