"DI mana kau O.B.?" Hampir semua orang penting perkebunan
(terutama di PTP) di Sumatera Utara bertanya begitu. Dan
tercenung. Nyaris tak percaya kalau kolega mereka yang populer
dengan panggilan "013" itu pada Kamis sore pekan lalu dinyatakan
hilang bersama pesawat jenis Piper Aztec yang berkode PA 23-250
PK-PNP.
Onggong Baringin (OB) Siahaan, 51 tahun, adalah Dir-Ut PTP III
yang berkantor di Medan. Bersama 4 stafnya, Direktur Produksi
Masduki, 52 tahun, Kepala Biro Khusus dan Jasa I.M. Gultom, 52
tahun, dan staf ahli pengembangan di PTP III Ir. P. Suyasto, 33
tahun, pada tengah hari 25 November terbang ke Aek Nabara, 400
km dari Medan. Di Sumut (nama desa), Kabupaten Labuhan Batu,
mereka meninjau Proek Perkebunan Inti Rakyat Pangan (Pir-Pang).
Proyek yang dibiayai PTP III itu dikelola O.B. Siahaan sejak
tahun 1979.
Hari itu juga, puku 18.00, dari airstrip Aek Nabara mereka
terbang kembali ke Medan. Masih setengah perjalanan di udara,
pesawat kecil tadi diguyur hujan lebat. Cuaca pekat. Lama
terbang Aek Nabara-Medan biasanya 45 menit.
Kontak teakhir yang diterima petugas tower Polonia Medan dari
pilot Imam Supardio pada pukul 18.13. "Sekarang saya sedang
berada di ketinggian 4.500 kaki", katanya. Petugas di Polonia
menanya Imam di atas mana dia terbang. "Di atas Tanjung Morawa.
Tapi mungkin . . ." Tiba-tiba, suara monitor itu hilang. Dan
selanjutnya tak ada kode minta pertolongan dari pilot Imam
Supardjo.
"Pesawat kecil itu sebenarnya dilarang terbang di atas pukul
18.00," kata humas PTP III, Banggas Hutapea, 43 tahun. Piper
Aztec (berbaling-baling 2) adalah milik bersama PTP II, PTP III,
PTP IV dan PTP VI -- yang semuanya berkantor di Medan. Buatan
Amerika Serikat, pesawat itu dibeli pada tahun 1974. Kecepatan
terbangnya maksimal 160 mil (257,6 km) per jam. Kapal terbang
tersebut sering dipakai untuk menyemprot tembakau, baru sekali
ganti mesin di Singapura. Dengan mesin baru yang sekarang ini
sudah dipakai untuk terbang 1.900 jam.
Kepala Biro Operasi Kodau I yang merangkap sebagai Koordinator
SAR, Let-Kol Penerbang Gatot P., 38 tahun, mengatakan, pesawat
Piper Aztec tersebut tak punya radar. "Pesawat yang tak punya
radar menyulitkan pilot menentukan posisi terbannya," tambah
Gatot yang bertubuh jangkung itu kepada Monaris- Simangunsong
dari TEMPO 28 November. Katanya, rekaman percakapan antara pilot
dengan petugas tower tak banyak menolong. Sebutan di atas
Tanjung Morawa, "tapi mungkin . . . " memang aba-aba yang
membingungkan.
Karena tubuhnya kecil, pesawat itu mudah diguncang angin.
Benarkah kecepatan angin pada waktu itu 18 knot per jam "Itu
surat kabar yang nulis. Angin memang kencang sejak seminggu
ini," kata Sugeng Suharsono, Kepala Dinas Meteorologi di Medan.
Meski ia punya alat meramal cuaca, Sugeng tak berani menyebutkan
berapa sebenarnya angka kecepatan angin ketika pesawat itu
"hanyut".
Usaha pencarian masih dilakukan secata terpadu Tim terdiri dari
SAR Darat, Laut dan Udara. Ada pula 2 kapal disuruh mengintip di
perairan Selat Melaka. Ikut pula 30 anggota ORARI. Masyarakat di
4 kabupaten (Langkat, Simalungun, Karo, Deli Serdang)
dimintamencari-cari di hutan (yang dikategorikan lebat) di
daerah mereka. "Operasi Sisir" juga diadakan, dengan
mempersempit pencarian di kawasan hutan Sibolangit, Deli
Serdang.
Dan hasilnya? "Posisi yang positif belum kita ketahui," kata
Let-Kol Gatot, namun berkat info yang diterima dari penduduk,
diduga kuat pesawat itu jatuh di kawasan hutan lebat Uruk Ciger,
Kabupaten Langkat. Ke wilayah itulah, mulai 30 November
pencarian difokuskan.
Lenyapnya Piper Aztec milik PTP itu mengingatkan orang pada
peristiwa yang sama pada September 1970. Berpenumpang 6 orang,
setelah lepas landas dari Polonia melintasi Bukit Barisan
pesawat kecil itu hilang sebelum tiba di Meulaboh, Kabupaten
Aceh Barat. Di antara penumpangnya, duduk jutawan Teuku Banta
Ali pemilik Fa. Aceh Kongsi. Pada tahun 1979 kerangka seluruh
penumpang, di antaranya almarhum pilot Dewanto ditemukan pencari
rotan di tengah hutan perbatasan Sum-Ut Aceh.
Kini, rumah O.B. Siahaan di Jalan Suryo 9 Medan penuh sanak
famili. Di antaranya, Men-Ko Polkam M. Panggabean. Istri Siahaan
adalah adik Istri Panggabean, yang juga berfamili dekat dengan
keluarga almarhum Maylen D.I. Panjaitan.
Siahaan, ayah 5 anak dan mertua penyanyi Nur Afni Octavia, di
Medan sering dipanggil sebagai "Bapak Pir-Pang dan Pir-Bun".
O.B. adalah orang pertama yang menangani 14 ribu hektar Proyek
Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (Pir-Bun) dan 1.050 hektar
Proyek Derkebunan Inti Rakyat Pangan (Pir-Pang).
Dua tahun lalu (1980) Menteri Pertanian Prof. Soedarsono meminta
pada semua PNP dan PTP di Indonesia mengembangkan pola Pir-Pang
dan Pir-Bun seperti dilakukan di PTP III untuk usaha
ekstensifikasi pangan dan perkebunan. PTP 111 bergerak dalam
bidang karet dan kelapa sawit (lihat:Ek-Bis: Karet) nyaris
dilikwidasi.
Setelah pada tahun 1972 O.B. masuk ke sana sebagai Dir-Ut,
perkebunan (perseroan) ini berhasil diselamatkan dari
kebangkrutan. Pernah. sebagai salah seorang pelopor
menasionalisasi perkebunan asing, pada tahun 1968 O.B. menjabat
Kepala Kantor Pemasaran Bersama PN/PTP Sum-Ut/Aceh. Dia juga
pernah sebagai Kepala Perwakilan PN/PTP di Eropa yang berpos di
Jerman Barat. O.B. mulai berkecimpung di perkebunan pada tahun
1955.
Hilangnya pesawat yang ditumpangi O.B. Siahaan dan stafnya itu
berbuntut dengan dibatalkannya acara jubeleum di Wisma Kartini
Medan pada malam 27 November lalu. Acara yang disponsori Kantor
Inspeksi PN/PTP Wilayah I itu adalah untuk memberi penghargaan
kepada karyawan perkebunan yang sudah berjasa lebih 25 tahun.
Di antara 97 orang yang diberi penghargaan adalah O.B. Siahaan.
Kepadanya sudah disediakan sebentuk cicin emas 12 gram dan uang
Rp 2,7 juta. Acara baru akan dipastikan Sabtu malam 4 Desember
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini